Aime Jacquet dan Piala Dunia Bagi Prancis

Backpass

by redaksi

Aime Jacquet dan Piala Dunia Bagi Prancis

Pada 27 November 1941, Aime Jacquet dilahirkan ke dunia. Ia lahir di daerah komune Sail-sous-Couzan, sebuah komune di daerah Loire, Prancis. Tapi siapa sangka, meski lahir dari daerah komune, ia adalah malaikat bagi timnas Prancis dengan trofi Piala Dunia yang ia raih pada 1998 silam.

Sebagai pemain, Jacquet menghabiskan hampir seluruh karier sepakbolanya di St. Etienne. Berposisi sebagai gelandang bertahan, total ia menghabiskan masa 13 tahun di St. Etienne sejak 1960 sampai 1973. Selama 13 tahun itu, ia mencatatkan 192 penampilan dan mencetak 23 gol.

Selama di St. Etienne pula, ia sukses merengkuh lima gelar Ligue 1 (1963/1964, 1966/1967, 1967/1968, 1968/1969, 1969/1970), dua gelar Coupe de France (1967/1968 dan 1969/1970), serta tiga kali gelar Trophee des champions (Piala Super Prancis) (1967, 1968, dan 1969). Masa-masa di St. Etienne ini, sebelum ia pindah ke Lyon pada 1973 dan mengakhiri karier sebagai pemain di Lyon pada 1976, adalah masa-masa yang membentuk mentalnya sebagai pemenang.

Selepas kariernya sebagai pemain, dengan catatan hanya dua kali membela timnas pada 1968, ia langsung meneruskan karier sebagai pelatih. Sejak 1976 sampai 1980, ia memulai karier kepelatihannya dengan melatih Olympique Lyon. Empat tahun tanpa gelar bersama Lyon, ia pun hijrah ke Girondins de Bordeaux. Bersama Bordeuax, ia meraih sukses sebagai pelatih klub.

Total enam trofi sukses ia daratkan ke tim yang sekarang bermarkas di Nouveau Stade de Bordeaux ini. Tiga gelar Ligue 1 (1983/1984, 1984/1985, 1986/1987), dua gelar Coupe de France (1985/1986, 1986/1987), dan satu gelar Trophee des champions (1987) menjadi catatan yang ia toreh bersama Bordeaux.

Hubungannya dengan Bordeaux pun berakhir setelah ia berselisih paham dengan presiden klub pada 1989. Tapi ia memutuskan tidak mundur dengan tetap mengasah kemampuan melatihnya dengan menangani Montpellier dan Nancy. Pada 1993, setelah Prancis dinyatakan gagal masuk ke Piala Dunia 1994 karena ulah David Ginola, Jacquet dipilih menjadi pelatih timnas Prancis.

Dari Keraguan Menuju Trofi

Jacquet mulai memimpin timnya pada gelaran Piala Eropa 1996 di Inggris. Ia sempat mengangkat Eric Cantona menjadi kapten. Pemain yang sedang bersinar bersama Manchester United itu diproyeksikan oleh Jacquet untuk menjadi pemimpin Prancis dalam gelaran Piala Eropa 1996 dan Piala Dunia 1998. Cantona pun ketika itu mulai kembali tampil baik bersama Manchester United.

Namun insiden tendangan kungfu Cantona kepada Simon Matthews, suporter Crystal Palace pada Januari 1995, membuat ia harus absen selama setahun dari sepakbola internasional. Jacquet bingung. Ia harus segera menentukan tim untuk pergi ke Inggris pada 1996. Akhirnya ia membuat keputusan yang cukup berani. Ia mengesampingkan nama-nama senior macam Jean-Pierre Papin, Cantona, dan David Ginola.

Sebagai gantinya ia membawa darah baru seperti Zinedine Zidane, yang melakukan debut manis pada 1994 silam bersama timnas Prancis, dan menjadikan Zidane sebagai pusat permainan. Pada Piala Eropa 1996, hal ini tidak membuahkan hasil karena pada akhirnya Prancis harus takluk di babak semifinal oleh Republik Ceko. Dalam beberapa laga uji tanding jelang Piala Dunia pun, Prancis tidak meraih hasil positif.

Inilah yang membuat publik dipenuhi keraguan. Meski begitu, Jacquet tak bergeming. Pola 4-2-1-3 yang kerap ia gunakan membuat ia sanggup menciptakan tim Prancis yang begitu kuat dan sulit untuk dikalahkan. Piala Dunia 1998 menjadi puncak prestasi Jacquet sebagai pelatih setelah ia mampu membawa Les Bleus menjadi juara usai mengalahkan Brasil dengan skor 3-0.

Setelah sukses mengantarkan Prancis menjadi juara, Jacquet mundur sebagai pelatih timnas dan menjabat sebagai direktur teknik sampai 2006. Setelah itu ia pun pensiun dari dunia kepelatihan.

foto: fifa.com

(sf)

Komentar