Sepakbola adalah Olahraga Banci?

Sains

by Dex Glenniza Pilihan

Dex Glenniza

Your personal football analyst. Contributor at Pandit Football Indonesia, head of content at Box2Box Football, podcaster at Footballieur, writer at Tirto.ID, MSc sport science, BSc architecture, licensed football coach... Who cares anyway! @dexglenniza

Sepakbola adalah Olahraga Banci?

Kata orang rugbi, sepakbola adalah olahraga banci. Sedikit kontak fisik langsung terjatuh dan kesakitan. Tagline pamungkas dari rugbi untuk mengejek sepakbola adalah seperti ini: "We play rugby, the douchebags sport but played like a gentlemen!". Olahraga para brengsek yang dimainkan dengan gentleman, hmm... menarik.

Namun sebenarnya, ketika pemain, penonton, dan komentator meratapi kurangnya kontak fisik dalam permainan olahraga modern, dunia sepakbola profesional masih berperan menjadi salah satu penyumbang cedera pada olahraga terutama dari tekel-tekel yang sudah biasa terjadi.

Lagipula sepakbola memang permainan yang penuh dengan kontak fisik, kan?

Pada tingkat-tingkat yang beragam, dari Premier League sampai Sunday League, risiko insiden cedera di sepakbola lebih tinggi daripada di olahraga lainnya, termasuk bola basket, kriket, badminton, sepeda, judo, dan renang.

Bahkan risiko cedera di sepakbola masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan olahraga yang penuh dengan kontak fisik seperti rugbi, atau bahkan pada olahraga tinju dimana memang niatnya adalah untuk menyakiti lawan.

Sebuah survei menunjukkan bahwa cedera yang paling sering pada Premier League adalah hamstring, kemudian pergelangan kaki (ankle) keseleo, cedera tulang rawan, hernia, sampai pada anterior cruciate ligament atau ACL.

Penyebab cedera yang umum terjadi juga karena bertabrakan atau kontak fisik dengan pemain lain dan kesalahan dalam mendarat. Cedera juga biasa terjadi dengan rata-rata antara 9 sampai 35 kasus cedera setiap 1.000 jam permainan sepakbola.

Cedera yang dapat mengakhiri karier

Jika dirunut, akan banyak sekali jenis cedera yang tergolong serius, beberapa bahkan bisa disebut sebagai "career-ending tackles" yang memang benar-benar dapat mengakhiri karier seorang pemain. Cedera memang dapat menjadi sangat serius, tapi sangat jarang bagi pemain yang menderita cedera untuk akhirnya tidak dapat merumput kembali.

Sebagai contoh, pada Februari 2008, striker Arsenal, Eduardo Alves da Silva, menderita patah tulang fibula dan juga dislokasi pada pergelangan kaki kirinya setelah ia menerima tekel keras dari bek Birmingham City, Martin Taylor.

Cedera ini sangat terkenal pada masanya sampai-sampai saat itu Sky Sports, yang sedang bertugas untuk menyiarkan pertandingan tersebut secara langsung di televisi, keberatan untuk menyiarkan insiden itu dalam tayangan ulang dari jarak dekat (close-up).

Saking parahnya insiden tersebut, kemudian manajer Arsenal, Arsene Wenger, juga sampai meminta FA untuk menjatuhkan sanksi larangan bermain seumur hidup kepada Taylor.

Bagi para penonton di rumah, akan terlintas jelas pada pikiran mereka bahwa Eduardo kemungkinan tidak akan pernah bisa bermain sepakbola lagi, atau bahkan berjalan saja akan mustahil baginya.

Namun seperti yang kita semua tahu, satu tahun setelah kejadian tersebut, Eduardo bisa kembali bermain bersama Arsenal, bahkan setelah itu ia bermain secara reguler bersama Shakhtar Donetsk di mana ia bermain sebanyak 71 pertandingan dan mencetak 19 gol.

Entah memang sial atau bagaimana dengan nasib Arsenal, kasus serupa juga pernah terjadi kembali ketika bek dan kapten Stoke City, Ryan Shawcross, menekel dengan keras Aaron Ramsey sampai-sampai pergelangan kakinya patah.

Meskipun proses penyembuhannya memakan banyak waktu, namun setelah itu Ramsey dapat bermain lagi bahkan dengan lebih gemilang dan menjadi bintang andalan Arsenal dan tim nasional Wales di lini tengah.

Kebancian sepakbola yang sesungguhnya: diving

Ketika cedera-cedera seperti di atas menjadi jarang terjadi, ada tren baru di sepakbola sekarang ini. Banyak kasus beberapa insiden di mana pemain dengan sengaja memalsukan atau berpura-pura cedera yang malah semakin meningkat.

Diving, atau terjatuh, atau yang lebih sopannya ada bersimulasi, sudah menjadi tren yang marak pada sepakbola profesional, sehingga tidak ada satupun dari kita yang tahu seberapa parah cedera yang dialaminya, dan bahkan apakah ia cedera atau tidak.

Perkembangan kasus seperti itu membuat para sport scientist di University of Portsmouth mengembangkan riset untuk mengelompokkan simulasi-simulasi di atas. Diving biasanya membuat wasit (terpaksa) harus menghentikan permainan, entah untuk memberikan pelanggaran ataupun memberikan waktu bagi pemain tersebut untuk mendapatkan perawatan cedera.

Pengelompokkan diving

Dengan maraknya diving jika berkaitan dengan tekel atau kontak fisik, sebuah studi oleh Paul Morris dan David Lewis menemukan bahwa terdapat empat buah cara yang biasanya para pemain lakukan untuk menipu wasit dan cara-cara untuk mengetahuinya.

Diving kategori pertama, yang tercatat berkontribusi sebanyak 29 persen dari kasus diving yang ada, dinamakan "temporal continuity". Diving jenis ini adalah kasus dimana pemain meninggalkan terlalu banyak waktu antara kontak dan reaksi. Biasanya kasus ini akan terlihat jelas pada tayangan ulang dengan gerak lambat.

Kemudian yang ke dua terbanyak adalah "archer`s bow", dimana pemain terjatuh ke belakang dan mengangkat tangannya untuk mendapatkan perhatian dari wasit.

Setelah itu, kategori yang ke tiga, dengan kontribusi sebesar 25 persen, adalah "ballistic continuity" ketika hanya terdapat sedikit kontak, namun reaksinya berlebihan.

Lalu yang terakhir, Morris dan Lewis mengidentifikasi kasus yang mereka sebut dengan "contact consistency", ketika seorang pemain menerima kontak di salah satu area tertentu, namun bereaksi di area yang lain, atau area kontak dan area reaksi tidak sinkron.

Sebuah contoh klasik dari kasus diving jenis terakhir ini adalah terjadi pada pertandingan Piala Dunia 2002, ketika Brasil menghadapi Turki. Saat itu pemain Turki, Hakan Unsal menendang bola ke arah kaki Rivaldo. Kemudian Rivaldo terjatuh, namun malah bereaksi kesakitan di wajahnya. Unsal kemudian diusir dan Brasil melaju memenangkan pertandingan.

Efek diving pada permaianan keseluruhan

Banyaknya frekuensi simulasi seperti ini pada pertandingan-pertandingan membuat Morris dan Lewis menganalisa efek simulasi ini pada permainan itu sendiri.

Menggunakan empat kategori di atas, mereka menemukan bahwa terdapat perbandingan yang mencolok antara cedera sungguhan dan cedera bohongan pada rata-rata pertandingan, yaitu sebanyak satu berbanding sebelas.

Cedera-cedera bohongan ini membuat waktu menjadi banyak terbuang. Kasus-kasus tersebut selain juga memaksa wasit untuk menghentikan pertandingan, juga membuat setidaknya physio harus masuk ke lapangan untuk melakukan perawatan.

Kadang ini bukan menjadi konsekuensi yang merugikan karena wasit dan ofisial ke empat tentunya akan menentukan waktu tambahan (injury time) yang sesuai dengan waktu yang telah terbuang.

Namun, sebanyak-banyaknya waktu tambahan yang diberikan biasanya tidak akan sampai lebih dari 5 menit, biasanya wasit akan memberikan 2-3 menit, atau 4 menit pada kasus khusus, dan jarang sekali sampai 5 menit.

Selain itu, Morris dan Lewis juga menghitung bahwa rata-rata dari 90 menit waktu pertandingan di Liga Primer Inggris, hanya terdapat waktu efektif sebanyak 86,5 menit saja. Apakah benar?

Well, sebenarnya pada Premier League musim 2010-2011, waktu rata-rata ketika bola benar-benar dimainkan hanyalah sebanyak 62 menit 39 detik. Sebuah angka yang, ketika dikurangi waktu wasit yang tidak wasit tambahkan, kita akan mendapatkan angka dua per tiga dari total waktu bermain 90 menit.

Dengan rata-rata tiket pertandingan Premier League kategori dewasa sebesar 48,90 paun pada 2011, ini artinya penonton pada enam tahun yang lalu hanya membayar secara efektif 16,30 paun saja untuk menonton ball-boy mengembalikan bola ke lapangan atau para pemain bergoler-goler kesakitan di atas rumput dengan hanya 8,33 persen saja kemungkinannya mereka itu benar-benar cedera. Banci?

Sumber: Sportonomics, University of Portsmouth

Komentar