Pelopor Statistik dan Bola Panjang

Backpass

by Dex Glenniza Pilihan

Dex Glenniza

Your personal football analyst. Contributor at Pandit Football Indonesia, head of content at Box2Box Football, podcaster at Footballieur, writer at Tirto.ID, MSc sport science, BSc architecture, licensed football coach... Who cares anyway! @dexglenniza

Pelopor Statistik dan Bola Panjang

Dahulu angka-angka yang paling berarti di sepakbola hanya caps, jumlah gol, dan skor akhir. Jauh sebelum adanya Opta dan statistik memusingkan seperti expected goals (xG), ada satu orang yang memandang angka-angka bisa menjadi kunci performa sebuah kesebelasan. Orang tersebut adalah Thorold Charles Reep.

Charles Reep lahir di Cornwall pada 22 September 1904. Ia bukan pemain sepakbola, melainkan akuntan dan wing commander di Divisi Akuntansi Angkatan Udara Britania Raya (Royal Air Force).

Pada 1933, Reep menghadiri beberapa pertemuan bersama Kapten Arsenal saat itu, Charles Jones. Ia terkesima dengan gaya permainan sang manajer legendaris, Herbert Chapman. Kecintaannya kepada taktik sepakbola berkembang sejak itu.

Bapak Statistik Sepakbola

Salah satu momen yang mengubah karier Reep terjadi pada 18 Maret 1950 ketika ia menonton pertandingan Swindon Town melawan Brstol Rovers di County Ground.

Ia mengambil pensil dan kertas dari kandungnya. Statistik sepakbola kemudian lahir dari sana; yang membuat Reep dikenal sebagai Bapak Statistik Sepakbola.

“Aksi kontinyu pertandingan bisa dijabarkan ke dalam beberapa bagian ketika sedang menguasai bola, seperti mengoper dan menembak,” kata Reep, dikutip dari jurnal yang ia terbitkan pada 1997.

Reep terus menunjukkan dedikasinya. Ia kemudian mencatat statistik di lebih dari 2.200 pertandingan—sekitar 80 jam analisis— sepanjang kariernya. Dikalkulasikan, berarti ia menghabiskan 30 tahun kehidupannya untuk menganalisis pertandingan sepakbola.

Salah satu temuan Reep dari catatan statistiknya adalah: sebanyak 91,5% gol di sepakbola terjadi setelah tidak lebih dari 3 serangkaian operan.

Menurut Reep, kunci kemenangan adalah dengan memangkas waktu operan dan penguasaan bola, mencoba mengirimkan bola secepatnya ke kotak penalti lawan, serta pada akhirnya menang dengan efisien: mengoper, menguasai bola, dan menendang sesedikit mungkin.

Reep kemudian melahirkan konsep permainan bola panjang (long ball).

Gaya Bermain Inggris Dipengaruhi Analisis Reep

Tidak lama setelah temuannya itu, Charles Hughes, Direktur Kepelatihan FA saat itu, kemudian mengeluarkan manual sepakbola mujarab: The Winning Formula.

Jika Reep dianggap sebagai Bapak Statistik Sepakbola, maka Hughes dianggap sebagai high priest of non-possession football.

Baca juga: Mengenal Istilah-istilah Statistik di Sepakbola

Selama 1980-an, long ball menjadi terkenal di seantero Inggris. Beberapa kesebelasan kuda hitam bisa berjaya karena permainan bola panjang. Wimbledon dan Watford bangkit dari divisi keempat menuju divisi pertama hanya dalam waktu lima musim.

Wimbledon bahkan menjuarai Piala FA, sementara The Hornets menjadi runner-up liga dan Piala FA.

Manajer Watford saat itu, Graham Taylor, menikmati kesuksesan long-ball-nya di Watford dengan menjadi Manajer Tim Nasional Inggris. Ia bahkan menjadi salah satu sosok penting di balik pembentukan Premier League.

Beberapa media di Inggris menyebut long ball juga sebagai direct play, route one, atau kick and rush. Semuanya identik dengan Inggris. Cara bermain ini kemudian menjadi “kebijakan resmi sepakbola Inggris”. Semua gara-gara Reep.

Landasan itu yang selanjutnya dianggap menjadi bencana bagi Inggris, terutama timnas mereka.

Warisan Long Ball yang Menjadi Bencana

Melalui long ball, Reep menganggap ini sebagai efisiensi. Ia ingin produktivitas maksimal dengan usaha minimal yang terbuang sia-sia.

Ini bisa dipahami, kesebelasan akan lebih efisien jika mereka bisa mencetak banyak gol dengan penguasaan bola, operan, dan tembakan yang lebih sedikit. Reep memiliki banyak data untuk mendukung visinya tersebut.

Data-data yang bisa Reep simpulkan dari catatan statistiknya antara lain adalah sebanyak 91,5% gol di sepakbola terjadi setelah tidak lebih dari 3 serangkaian operan, satu dari 9 tembakan di sepakbola akan menghasilkan gol, dan banyak gol tercipta dari bola yang direbut di daerah lawan.

Sayangnya terbiasa dengan angka-angka tak lantas membuat seseorang menjadi analis yang baik. Ia gagal menjawab pertanyaan penting seorang analis: Bagaimana mungkin aku, dan dataku, bisa salah?

Ia hanya ingin mendapatkan data yang bisa mendukung hipotesis long ball-nya. Padahal penelitian ilmiah yang baik adalah dengan uji coba berkali-kali. Hipotesis dihajar dengan tes, sampai gagal dan ada cara yang lebih baik, dites kembali, dan seterusnya.

Pada temuan bola panjangnya ini, ia hanya melihat sepakbola sebagai produksi, distribusi, dan pada akhirnya bisa diterima konsumen. Dengan pandangan seperti itu, laba bisa didapatkan dengan efisiensi maksimal. Pandangannya memang didukung oleh banyak manajer, tapi banyak juga yang tidak sepandangan dengannya.

Baca juga: Angka-angka yang Menyilaukan dalam Sepakbola

Ujian bagi long ball yang sudah menjadi identitas Inggris benar-benar teruji ketika sepakbola Inggris “ke luar kandang”, pada pertandingan-pertandingan Eropa atau Piala Dunia misalnya, di mana Inggris selalu keok.

Pada bukunya yang berjudul Inverting the Pyramid, Jonathan Wilson menulis perasaan tidak setujunya kepada bola panjang warisan Reep: “Jika permainan bola panjang dan direct benar-benar lebih unggul, pasti itu akan ada lebih banyak lagi di tingkat yang lebih tinggi, kan? Taktik harus dikondisikan oleh keadaan dan pemain yang tersedia. Mengapa kemudian pendekatan yang cocok untuk pertandingan Divisi Tiga di Rotherham pada Desember akan sama berlakunya untuk pertandingan Piala Dunia di Guadalajara pada Juli?”

Kesalahan Menerjemahkan Angka-angka

Pada tulisannya di FiveThirtyEight, Neil Paine mencoba memberikan pandangan soal salah kaprah Reep: “Sebagian besar gol dihasilkan dari penguasaan-penguasaan yang pendek, tetapi sepakbola pada dasarnya adalah permainan penguasaan-penguasaan pendek dan turnover yang sering.”

Menurut Paine, memang banyak gol terjadi dari serangkaian operan yang lebih kecil jika kita menghitung seberapa sering setiap rangkaian operan terjadi selama alur permainan. Namun itu tidak berarti rangkaian kecil memiliki probabilitas yang lebih tinggi untuk menjadi gol.

Sebaliknya, probabilitas kesebelasan untuk mencetak gol akan meningkat seiring dengan banyaknya operan yang berhasil. Operan yang berhasil akan didapatkan jika kesebelasan bisa menguasai bola.

“Analisis modern telah memastikan bahwa penguasaan bola memainkan peran besar dalam menciptakan peluang ofensif, dan bahwa umpan-umpan pendek yang efektif sangat terkait dengan membangun dan mempertahankan penguasaan bola,” tulis Paine.

Meski dianggap sebagai pendekatan yang keliru, bola panjang—bersama parkir bus juga—tetap menjadi senjata bagi mereka yang tidak bisa memainkan possession football. Beberapa sosok yang disinonimkan dengan long ball, berdasarkan Google, antara lain adalah Sam Allardyce, Steve Bruce, Neil Warnock, dan tentu saja Tony Pulis.

Menjadi orang pertama yang menyadari pentingnya statistik di sepakbola, Reep seharusnya dianggap sebagai pionir. Namun sebaliknya, ia malah dikutuk sebagai paria; bukan karena caranya memandang sepakbola melalui statistik, namun karena ia keliru menerjemahkan angka-angka di dalamnya.

Reep sendiri sudah meninggal pada 3 Februari 2002 di usia 97 tahun.

Kesimpulan Reep (untuk mendewakan bola panjang) memang keliru, tapi instingnya sudah benar. Saat ini data dan statistik sudah menjadi tradisi dalam analisis sepakbola. Suka atau tidak suka, benar atau salah, semuanya diawali oleh Charles Reep.

Komentar