Piala Eropa: Dua Chiesa, Satu Cerita

Cerita

by Redaksi 7 Pilihan

Redaksi 7

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Piala Eropa: Dua Chiesa, Satu Cerita

Tak seperti ketika melalui fase grup, Italia cukup kesulitan di partai 16 Besar lawan Austria. Anak asuh Roberto Mancini direpotkan oleh permainan solid dan pressing agresif tim lawan. Skuad besutan Franco Foda bahkan sempat unggul via Marko Arnautovic, tetapi dianulir karena offside.

Mancini pun mesti melakukan dua kali pergantian untuk menjaga intensitas permainan anak asuhnya. Matteo Pessina dan Manuel Locatelli dimasukkan. Kemudian, Federico Chiesa serta Andrea Belotti diturunkan untuk menjaga kebugaran lini serang.

Skor kacamata membuat pertandingan dilanjutkan ke babak tambahan waktu. Di babak pertama tambahan, Gli Azzurri baru bisa mengoyak gawang Daniel Bachmann. Menerima bola di sisi kanan kotak penalti, Chiesa mengontrol bola dengan tenang dan mengirim sepakan setengah-voli ke sudut gawang. Pessina kemudian menggandakan keunggulan Italia. Austria sempat membalas via Sasa Kalajdzic. Namun, skor 2-1 bertahan hingga bubaran dan Italia lolos ke perempat final.

Chiesa mencetak gol pertamanya bagi Timnas Italia di turnamen besar. Sejauh ini, ia telah mengemas dua gol dari 29 penampilan bersama Gli Azzurri. Ia selalu bermain dalam empat pertandingan Piala Eropa 2020, tiga kali sebagai pengganti. Dalam laga kontra Wales, Minggu (20/6/2021), satu-satunya pertandingan di mana sang pemain menjadi starter, Chiesa tampil apik dan diganjar penghargaan man of the match.

Musim impresif bersama Juventus membuatnya memenangkan tempat di skuad Italia. Meskipun belum menjadi pilihan utama, Chiesa dapat menjadi opsi pembeda bagi Mancini.



Eks Fiorentina ini mendapatkan debut timnas pada Maret 2018. Chiesa sempat rutin masuk 11 utama ketika Italia melakoni edisi perdana UEFA Nations League. Setelah itu, setahun belakangan, ia lebih sering menjadi pelapis Federico Bernadeschi kemudian Domenico Berardi.

Chiesa selalu cemerlang dalam empat musim terkini di Serie A dan banyak yang menjagokannya masuk 11 utama. Namun, fakta bahwa ia tak menjadi starter di Piala Eropa sama sekali tak mengganggunya. Ia lapang dada menerima peran sebagai supersub.

“Pelatih memilih 11 dari kami, tetapi seperti yang saya katakan pada masa lalu, kami adalah 26 pemain pilihan dan malam ini kami menunjukkannya. Inilah mengapa pelatih meminta para pemain di bangku cadangan untuk mengikuti pertandingan secara cermat: untuk masuk dan membuat perbedaan,” kata Chiesa usai pertandingan kontra Austria.

Golnya ke gawang Austria pun menjadi rekor tersendiri. Sepanjang sejarah Piala Eropa, belum ada ayah dan anak yang mencetak gol di putaran final. Sebelumnya, sang ayah, Enrico Chiesa mencetak gol bagi Italia di Piala Eropa 1996.

Federico berada dalam jalur yang benar untuk mengikuti jejak ayahnya. Enrico adalah salah satu bintang Serie A saat kompetisi ini berjaya pada 1990-an.

Pantang Lena oleh Privilese

Federico Chiesa lahir di Genoa pada 25 Oktober 1997. Saat itu, Enrico sedang membela Parma. Federico kemudian tumbuh besar di Florence, bermain sepakbola untuk Settignanese sebelum masuk ke akademi Fiorentina.

Mewarisi gen pesepakbola terkenal, mudah untuk berasumsi bahwa Chiesa menempuh jalan perkembangan yang lapang dan lurus saja. Ia dibesarkan di keluarga yang, mengutip kata-katanya sendiri, “bernapaskan sepakbola” dan suportif dalam pilihan kariernya. Namun, nama keluarga bukanlah alasan utama dari kesuksesannya menjajaki karier profesional. Faktanya, Chiesa sempat sulit berkembang di level akademi.

Enrico tahu betul bahwa sepakbola adalah pilihan karier yang rawan. Demi masa depan, edukasi sang anak pun mesti dijamin betul-betul. Keluarga memasukkan Chiesa ke sekolah bereputasi mentereng, International School of Florence, di mana pelajaran disampaikan dalam bahasa Inggris. Ini menjelaskan mengapa Chiesa begitu fasih meladeni wawancara berbahasa Inggris. Seandainya gagal di sepakbola, ia mengaku tertarik menjadi fisikawan.

Perkembangan Chiesa di akademi pada mulanya berjalan lambat. Secara teknis, ia tertinggal dari rekan-rekan seusia. Pertumbuhan fisiknya pun tak sepesat rekan sepantaran. Karena gagal bersaing di kelompok usia yang sama, Chiesa sempat diturunkan ke kelompok usia yang satu tahun lebih muda.

“Saya hanya bermain sekali [di Allievi, U16-17], dan bahkan dari awal mereka sering mengirim saya bersama [skuad kelahiran] ’98, yang lebih muda,” kata Chiesa kepada l’Ultimo Uomo.

Kiprah Chiesa mulai menemui titik terang ketika ia diasuh pelatih Federico Guidi dan ditempatkan di posisi yang lebih sesuai. Tadinya, ia sering dipasang sebagai penyerang tengah di formasi 4-4-2. Sang pemain kemudian diakomodasi oleh Guidi yang menerapkan 4-2-3-1, memasang Chiesa sebagai winger.

Federico Chiesa berkembang cepat sebagai winger. Ia mulai rutin diturunkan di tim Primavera (U-19). Tak seperti ayahnya yang merupakan penyerang tengah mumpuni, karakter permainan Federico lebih sesuai di posisi sayap.

Pemain yang kini berusia 23 tahun itu membela tim Primavera hingga 2016. Pada Agustus 2016, pelatih Paulo Sousa memberinya debut senior ketika Fiorentina menghadapi Juventus di ajang Serie A.

Chiesa segera mencuri perhatian bersama La Viola. Sering diturunkan di sayap kanan, ia mengemas 34 gol dan 25 asis selama tiga musim membela Fiorentina. Pada Juli 2020, ia mencetak hat-trick ke gawang Bologna, 17 tahun setelah Enrico mencetak trigol terakhirnya di Serie A bersama AC Siena.

Penampilan impresif bersama Fiorentina membuat Juventus meminjamnya sejak 2020/21 dengan opsi pembelian. Federico mendapatkan sesuatu yang tak didapatkan Enrico dulu, yakni bermain untuk klub besar yang konsisten bersaing mengejar trofi.

Enrico memang menjalani karier gemilang. Namun, tidak bermain untuk “klub besar” adalah satu dari segelintir penyesalannya.

“Saya selalu dekat untuk itu [masuk klub besar]. Simoni [pelatih Inter Milan, 1997-98], menginginkan saya ke Inter. Juve dan Milan meminati saya, tetapi tidak ada yang pernah terealisasi. Saya mungkin bisa berbuat lebih [sebagai pemain],” kata Enrico Chiesa sebagaimana dilansir These Football Times.

Cerita tentang Enrico lebih mirip petualangan yang tak membuahkan hasil yang cukup memuaskan. Ia memang dikenang sebagai striker hebat, meraih trofi kontinental bersama Parma dan Sampdoria. Ia merupakan tandem maut Hernan Crespo di Parma, menjadi suksesor Gabriel Batistuta di Fiorentina, serta tampil dalam lebih dari 300 pertandingan Serie A.

Akan tetapi, titel Serie A dan Capocanonniere (top skor Liga Italia) selalu lepas dari genggaman Enrico. Ia bermain untuk Teramo ketika Sampdoria juara liga pada 1990/91, kemudian harus puas di posisi runner-up bersama Parma pada 1996/97. Ketika ia mencetak 22 gol pada 1995/96, Giuseppe Signori dan Igor Protti mencetak dua lebih banyak. Saat ia kembali mengemas 22 gol pada 2000/01, Hernan Crespo mencetak empat lebih banyak.

Di Italia, Enrico Chiesa seolah ditakdirkan untuk tak pernah mencapai tempat teratas. Di tim nasional pun demikian. Ia hanya sempat membela Gli Azzurri dalam dua turnamen akbar, yakni Piala Eropa 1996 dan Piala Dunia 1998. Enrico total mengemas 22 caps dan mencetak tujuh gol. Jumlah penampilannya di tim nasional sudah dilampaui sang anak.

Kini, apa-apa yang belum dicapai Enrico berpeluang ditorehkan anaknya. Mereka memang bermain di posisi berbeda dan menorehkan trek karier berbeda. Federico masih bisa meraih medali Scudetto yang belum ada di lemari trofi keluarga Chiesa.

Karier Federico masih panjang dan Enrico tentu akan mendukungnya dengan penuh kebanggaan. Untuk sekarang, Federico masih fokus membantu kiprah Italia di Piala Eropa 2020; bersama Roberto Mancini, sosok yang pernah bermain bersama Enrico dan sempat melatihnya di Fiorentina serta Lazio dulu.

Komentar