Setelah Mengangkut Air, Saatnya Deschamps Menyajikan Anggur

Editorial

by Zen RS

Zen RS

Board of director | Panditfootball.com

Setelah Mengangkut Air, Saatnya Deschamps Menyajikan Anggur

Si pendek dengan pengaruh menjulang. Itulah Didier Deschamps. Itulah arti Didier Deschamps bagi tim nasional Perancis di Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2000.

Dibandingkan pemain-pemain penting lainnya seperti Zinedine Zidane, Marcel Desailly, dan Emmanuel Petit yang sama-sama bertinggi badan 185 cm, apalagi dibandingkan Laurent Blanc yang posturnya menjulang setinggi 190 cm, Didier Deschamps jelas lebih mungil. Tingginya kurang dari 170 cm, persisnya hanya 169 cm.

Postur Napoleon Bonaparte juga hanya setinggi 169 cm. Postur yang pendek untuk ukuran Eropa itulah yang membuat Napoleon, jauh sebelum ia menjadi penguasa Perancis, dijuluki "Kopral Kecil". Setelah berkuasa, ia menjadi pemimpin yang agresif, mengirim banyak pasukan ke seantero Eropa dan membikin banyak perang.

Dari sanalah lahir (stereotipe) Kompleks Napoleon: orang-orang pendek yang berperilaku agresif sebenarnya hanya sedang mencari kompensasi dari kekurangan fisiknya. Stereotipe merendahkan itu, yang dipercaya lahir akibat propaganda orang-orang Inggris untuk meremehkan Napoleon dengan cara membesar-besarkan perkara postur, sepintas muncul pada salah satu adegan paling penting dalam Les Yeux Dans Les Bleus, dokumenter yang mengisahkan perjalanan timnas Perancis di Piala Dunia 1998.

Setelah unggul 2-0 atas Brasil di babak pertama final Piala Dunia 1998, Deschamps menjadi orang pertama yang tiba di kamar ganti saat turun minum. Ia duduk di sudut kamar ganti. Dengan tatapan tajam, ia menatap satu per satu pemain, ofisial, dan staf pelatih memasuki kamar ganti. Suasana terasa hening.

Dalam momen yang kritis dan menentukan itu, yang sempat diselimuti hening yang aneh, Aime Jacquet, pelatih kepala Perancis, mencoba berbicara. Namun baru beberapa kalimat, Jacquet sudah diinterupsi seseorang yang duduk di sudut. Deschamps mengambil-alih tanggung jawab untuk memastikan kamar ganti berfungsi sebagai mana mestinya: menjaga fokus, tidak terpengaruhi hasil di babak pertama -- apa pun skornya.

"Pulihkan diri kalian," serunya dengan suara yang jelas dan jernih.

Tergambar dalam Les Yeux Dans Les Bleus, Deschamps sibuk dalam 10 menit yang sebenarnya singkat namun terasa sangat panjang itu. Dengan otoritas yang kuat, ia berbicara mengenai taktik dengan Youri Djorkaeff dan Lilian Thuram. Kemudian beralih kepada Zinedine Zidane, maestro Perancis yang mencetak dua gol dengan kepalanya di babak pertama. Zidane terlihat menyendiri, dalam pose tergeletak di lantai, dengan kedua tangan telentang dan kedua kaki bertengger di kursi. Deschamps terlihat membungkuk mendekati wajah Zidane dan mengusap kepalanya untuk kemudian membisikkan sesuatu. Ia lantas menepuk lembut pipi Zidane.

Ia lalu mengatakan kalimat kunci: "Kita lanjutkan (penampilan seperti di babak pertama)! Tak bisa kita biarkan apa pun (kemenangan) pergi begitu saja. Tidak untuk sekarang, kan? Ya, Tidak sekarang. Kita hanya berjarak 45 menit lagi dari kegilaan."

Dari segi postur maupun keterampilan mengolah bola, mudah untuk mengatakan Deschamps lebih minimalis ketimbang Petit, atau Thuram, apalagi Zidane. Namun dialah yang menjadi kapten. Jika timnas Perancis saat itu adalah pasukan perang, dan Aime Jacquet adalah jenderalnya, maka Deschamps adalah sang kolonel; atau sang kopral -- agar lebih paralel dalam penyejajaran dengan Napoleon.

Di lapangan, ia melakukan segalanya untuk melindungi pertahanan dan memutus serangan lawan. Aksi-aksinya lebih banyak berupa tindakan-tindakan "kotor": menjegal, menekel, menabrak, adu kaki -- pendeknya berduel memperebutkan bola.

Untuk semua tindakan-tindakan yang jauh dari puja-puji itu, Eric Cantona menjulukinya sebagai porteur d`eau, "si pengangkut air". Julukan itu sering disalahpahami sebagai ejekan yang meremehkan. Dalam konotasi meremehkan, "si pengangkut air" di situ berarti Deschamps hanya bisa melayani para pemain-pemain yang lebih hebat, lebih kreatif dan lebih menentukan. Tugasnya hanya merebut bola, setelah itu berikan kepada -- katakanlah-- Zidane yang mengubahnya menjadi momen tak terpermanai.

Padahal, dalam istilah "si pengangkut air" itu, termuat pujian terhadap tindakan pengorbanan yang vital. Sebagai orang Perancis, Cantona tentu mengerti apa yang terjadi dalam balap sepeda, katakanlah dalam Tour d`France. Semua pebalap sepeda utama di timnya masing-masing biasanya ditopang pebalap yang berperan sebagai domestique. Seorang domestique inilah yang bertanggungjawab memastikan tim bekerja dengan efisien dan efektif. Ia bukan hanya mengantarkan suplai air minum buat para pebalap utama, namun juga menjadi penyampai pesan yang memastikan pebalap tahu situasi yang sedang terjadi di medan balapan.

Dalam dunia atletik, persisnya nomer lari marathon, dikenal istilah pacemaker. Dia bekerja sebagai "asisten" seorang pelari. Tugasnya adalah mendampingi pelari utama selama setengah jarak tempuh, seringnya di sekitar 30 kilometer pertama. Dialah yang menjaga tempo dan mengatur taktik selama berlari.

Maraton adalah lari jarak jauh. Seorang pelari harus bisa mengatur tempo, tahu kapan saatnya menggenjot kecepatan, dan kapan saatnya melandaikan diri untuk mengambil nafas. Seorang pacemaker akan membantu pelari utama melakukan hal itu. Pacemaker kadang menjadi decoy yang mengecoh para pesaing. Ia akan berlari sangat cepat, dengan kecepatan tinggi (sesuatu yang janggal dalam lari jarak jauh), semata untuk meneror para pebalap lain agar merasa mereka sudah tertinggal jauh. Jika terpancing, para pelari saingan akan menggenjot kecepatan dan lupa mengatur ritme.

Pacemaker biasanya tidak melanjutkan perlombaan hingga garis akhir. Ia akan mundur teratur selepas 30 kilometer setelah pelari utama berhasil mengatur ritme dan menemukan tempo yang pas. Karena jarang mencapai garis akhir, namanya jarang sekali disorot lagi tak mendapatkan kilatan kamera.

Deschamps adalah "si pengangkut air" itu, seorang pacemaker, yang melakukan segala hal untuk kejayaan dan kemenangan tim. Ia rela mengambil pekerjaan-pekerjaan "kotor", melakukan tindakan-tindakan tidak populer, yang bukan hanya tidak enak dilihat tapi bahkan bisa membuatnya seakan tak tampak. Kehebatannya bukan terletak pada raihan gol, catatan asis, atau keindahan meliuk-liuk dengan bola. Kehebatan "si pengangkut air" terletak pada pengorbanannya dan kejayaannya mencuat dalam kemenangan tim.

Ketika menyebut Deschamps sebagai porteur d`eau alias "si pengangkut air", Cantona seperti menggemakan kembali kalimat termasyhur yang pernah diutarakan Andre Gide, pengarang Perancis yang meraih penghargaan Nobel Sastra pada 1947. Gide pernah berkata: "Kekuasaan yang sebenarnya dibuktikan justru dengan memberi. Kalian yang tak mampu memberi akan dikuasai.”

Memberi bukanlah perkara sukar bagi Deschamps. Memberi justru menjadi hakikat dari moralitas Deschamps. Saat berdiskusi, dan kadang berdebat, dengan Jean-Claude Suaudeau, legenda di kepelatihan Nantes FC, ia menjelaskan moralitasnya itu dalam konteks taktikal. Dalam diskusi yang dihamparkan dengan utuh dalam salah satu edisi The Blizzard, ia bilang: "Pemain yang penting bukanlah orang yang memberi bola, tetapi orang yang menerimanya. Sangat sulit untuk melakukannya."

Raison d`être dari kehadirannya di lapangan menjadi jelas: ia tidak dalam posisi untuk menerima bola, ia justru yang harus merebut bola dari lawan, dan memberikannya kepada Zidane. Dan ia menganggap Zidane, si penerima bola, jauh lebih penting, karena menerima bola jauh lebih sulit ketimbang merebut dan memberi bola.

Porteur d`eau ialah simbol dari kejayaan yang digapai dengan memberikan segalanya bagi yang-lain, tepatnya: kepada tim. Semua harus memberi apa yang dimiliki kepada tim, segala-galanya, semua-muanya. Jika para pemain tak sanggup memberikan segalanya bagi tim, niscaya mereka justru akan dikuasai – pendeknya: dikalahkan!

Deschamps tak terganggu dengan konotasi tak enak dari istilah “si pengangkut air”. Ia justru menerimnya dengan lapang. Katanya: "Dengar, aku seorang pengangkut air, dan aku tak akan menolak citra itu. Aku tidak pernah berpikir kalau seorang diri aku dapat mengubah pertandingan. Pemain sepertiku akan melakukan pekerjaan dengan penuh komitmen.”

Moral macam itulah yang, agaknya, membuat Deschamps tidak sulit untuk menepikan Karim Benzema (juara Liga Champions 2016 bersama Real Madrid) dan Franck Ribery (yang mendapatkan nyaris segalanya bersama Bayern Muenchen) dari skuat Euro 2016 atau Samir Nasri (yang gemilang di Manchester City) dari skuat Piala Dunia 2014 dan kemudian Piala Eropa 2016.

Sebagai kapten dari generasi emas Perancis yang berhasil menjuarai Piala Dunia dan Piala Eropa secara berturut-turut (1998 dan 2000), Deschamps punya segalanya untuk dipatuhi para pemain. Ia mewakili apa yang disebut Aime Jacquet sebagai culte de la gagne alias "kultus pemenang”. Ketika Anda mendapatkan segalanya sebagai pemain, menjadi kampiun yang diakui oleh sejarah, relatif mudah bagi Anda untuk mendapatkan respek dari pemain.

Tapi Deschamps tidak pernah mencoba membebani pemainnya dengan epos kegemilangan masa silam. Ia memimpin bukan dengan kultus. “Tidak pernah sekali pun saya menyinggung kejayaan di masa lalu,” papar Deschamps.

Dengan itulah lagi-lagi ia memperlihatkan moralitas seseorang yang berkorban untuk tim. Ia tidak mengagung-agungkan dirinya di hadapan para pemain. Ia tidak menghebat-hebatkan diri sendiri di hadapan anak asuhnya. Sebagaimana dulu ia tidak menghebat-hebatkan dirinya di hadapan mega bintang Zinedine Zidane atau bahkan Lilian Thuram yang menjadi pahlawan dengan mencetak dua gol di semi final Piala Dunia 1998 kala mengalahkan Kroasia. Ia masih sama seperti yang dulu: tim adalah segalanya.

Dari bangku cadangan, Deschamps juga tidak terlalu menonjol. Rambutnya yang keperakan, hidungnya yang mancung dengan ujung agak melengkung ke bawah, pelipis dan tulang pipinya yang lurus membentuk wajah yang nyaris kotak – padu padan itu menampilkan paras yang tidak sememikat Mourinho, tak tampak seintelek Pep Guardiola, juga tidak memancarkan wibawa seseorang yang menguasai tim dengan penuh sebagaimana Antonio Conte. Wajah Deschamps jauh dari aura aristokrat, lebih mirip tampilan seorang pekerja yang mendedikasikan hidupnya hanya untuk pekerjaan.

Sebagai pekerja, Deschamps sudah mengabdikan dirinya sebagai “si pengangkut air” di berbagai tim yang ia bela, terutama untuk tim nasional Perancis. Kini saatnya Deschamps menyajikan hal yang lain, sesuatu yang lebih bercita rasa, bagi Perancis. Setelah gagal di final Piala Eropa 2016, ia sudah tiba kembali di ambang perjamuan anggur.

Jika perjamuan itu sungguh terjadi, biarlah Deschamps menjadi orang pertama yang mengangkat cawan sembari berseru: “Mari bersulang!”

====

Versi awal naskah ini pernah ditulis lebih dulu pada momen Piala Eropa 2016.

Komentar