Membayangkan PSG di Bawah Asuhan Mauricio Pochettino

Analisis

by

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Membayangkan PSG di Bawah Asuhan Mauricio Pochettino

Mauricio Pochettino resmi diperkenalkan sebagai pelatih baru PSG. Pochettino belum kembali melatih usai dipecat Tottenham akhir tahun lalu. Menangani PSG akan menjadi langkah besar bagi pelatih asal Argentina itu melihat banyak perbedaan antara PSG dan Tottenham. Sebelum membayangkan kiprah Pochettino di PSG, mari melihat apa yang terjadi di PSG hingga Thomas Tuchel dipecat.

PSG memecat Tuchel beberapa jam setelah pertandingan melawan Strasbourg. Pertandingan yang dihelat pada Kamis (24/12) waktu setempat itu dimenangkan oleh PSG dengan skor 4-0. Namun hasil tersebut tidak mengubah nasib pelatih asal Jerman itu.

Sejak ditunjuk menukangi PSG pada 2018 silam, Tuchel meraih dua trofi Ligue 1. Ia juga mampu mengantarkan PSG menjuarai Coupe de France musim lalu. PSG hampir meraih treble winners andai menang atas Bayern Muenchen pada final Liga Champions musim lalu. Karier Tuchel berakhir dengan persentase kemenangan 75% di semua kompetisi.

Trofi Ligue 1 tidak akan pernah cukup bagi pelatih PSG. Tuntutan meraih gelar di level Eropa menjadi tekanan besar. Tuchel belum mampu memenuhi ekspektasi tersebut. Namun hal itu bukan satu-satunya alasan ia dipecat. Performa inkonsisten PSG musim ini di Ligue 1 dan masalah di luar lapangan menjadi faktor besar.

PSG kini bertengger di posisi tiga klasemen sementara, selisih satu poin dengan Lyon yang berada di puncak. Dari 17 laga, PSG sudah mengalami empat kekalahan. Lebih banyak dibanding sepanjang musim lalu di mana mereka hanya kalah tiga kali.

Wawancara Tuchel dengan media Jerman SPORT1 menjadi masalah besar di luar lapangan. Ia mengungkapkan bahwa pekerjaannya di PSG lebih seperti politisi olahraga dibanding pelatih. Pernyataan itu tidak membuat petinggi PSG senang, terutama Leonardo sebagai direktur olahraga.

Terlihat jelas bahwa tekanan sebagai pelatih PSG cukup tinggi. Tantangan tersebut akan menjadi hal baru bagi Pochettino. Terdapat sejumlah perbedaan signifikan antara Tottenham dan PSG.

Nama Pochettino dikenal sebagai pelatih yang bisa mengangkat tim rata-rata ke level yang lebih tinggi. Southampton dan Tottenham contohnya. Situasi itu tidak akan ia temui di PSG. Materi pemain bukan menjadi masalah, oleh karena itu trofi menjadi wajib bagi setiap pelatih PSG.

Pochettino sebenarnya belum pernah meraih trofi sebagai pelatih. Ia sangat dekat dengan trofi pada Carabao Cup 2014/15, Premier League 2016/17, dan Liga Champions 2018/19, namun akhirnya Tottenham hanya menjadi runner-up. Secara rekam jejak, Pochettino bisa dibilang bukan kandidat terbaik untuk mengisi kursi panas pelatih PSG, tapi ia memiliki satu kelebihan yang tidak dimiliki pelatih-pelatih PSG sebelumnya sejak Qatar Sports Investments mengambil alih kepemilikan klub.

Pelatih 48 tahun itu pernah berseragam PSG pada periode 2001 hingga 2003. Bermain sebagai bek tengah, Pochettino mencatatkan 95 penampilan. Ia berada di skuat PSG yang penuh bintang saat itu seperti Ronaldinho, Nicolas Anelka, Mikel Arteta, dan Gabriel Heinze. Ban kapten PSG bahkan pernah dikenakan Pochettino.

Hal ini tidak dimiliki pendahulunya yaitu Carlo Ancelotti, Laurent Blanc, Unai Emery, dan Tuchel. Nama Pochettino tidak asing di mata fans PSG. Memiliki sejarah dengan PSG bisa menjadi modal berharga bagi Pochettino ketika melatih.

Salah satu tantangan terbesar Pochettino sebagai pelatih PSG yaitu menangani pemain bintang. Tantangan ini tidak mudah bagi pelatih. Emery memiliki karier bagus di Sevilla namun kesulitan ketika menghadapi Neymar di PSG. Niko Kovac tidak bertahan lama di Bayern. Maurizio Sarri dikenal memiliki gaya bermain yang atraktif di Napoli, namun hanya bertahan satu musim di Chelsea dan Juventus.

Menghadapi Neymar dan Kylian Mbappe bukanlah hal yang mudah. Tuchel mengungkapkan hal tersebut pada wawancara dengan SPORT1. Meski begitu, Pochettino bukan pelatih yang takut membuat perubahan. Emmanuel Adebayor, Younes Kaboul, Etienne Capoue, dan Aaron Lennon tidak segan ia cadangkan untuk memberi kesempatan bagi pemain muda. Nama-nama tersebut memang tidak sebanding dengan Neymar atau Mbappe, namun hal tersebut adalah bukti bahwa Pochettino bukan pelatih yang tidak bisa memegang kontrol. Status mantan pemain juga bisa membantu Pochettino menghadapi tantangan ini.

Perbedaan lain yang harus dihadapi Pochettino adalah perkara taktik. Baik di Southampton atau Tottenham, Pochettino tidak membangun tim di sekitar satu atau dua pemain. Ia memiliki pemain kunci namun permainan kolektif tetap diperagakan tim asuhan Pochettino. Hal tersebut membuat Pochettino tetap mampu mengangkat performa tim meski pemain kunci cedera. Contohnya ketika Harry Kane cedera pada musim 2018/19.

Pada paruh kedua musim tersebut, Kane mengalami dua cedera parah yang membuatnya absen hingga tiga bulan. Meski begitu, Tottenham tetap mampu tampil baik. Mereka mengakhiri musim di peringkat empat Premier League dan lolos ke final Liga Champions.

Bersama PSG, situasi akan berbeda. Ego Neymar yang ingin menjemput bola dari area rendah dan dribel melewati banyak lawan akan menjadi tantangan bagi Pochettino. Ia harus melakukan gebrakan supaya tidak membangun tim dengan Neymar sebagai pusat.

Soal formasi juga terdapat perbedaan. Pochettino memiliki pakem 4-2-3-1 di Tottenham dengan Christian Eriksen sebagai gelandang serang. Sementar PSG di bawah Tuchel kerap bermain dengan formasi 4-3-3. Tidak mudah bagi Pochettino jika ia ingin PSG bermain dengan gaya yang berbeda ketika menyerang.

Salah satu aspek taktikal Pochettino yang terkenal adalah high pressing dengan intensitas tinggi. Hal ini tampak tidak menjadi masalah karena Tuchel juga menerapkan hal serupa. Pemain bintang seperti Neymar, Mbappe, dan Angel Di Maria bukan penyerang yang hanya ingin mengolah si kulit bundar. Mereka juga bisa disiplin dalam bertahan.

Jika melihat statistik passes per defensive actions (total umpan lawan dibagi aksi bertahan), PSG musim ini memiliki intensitas pressing yang tinggi. Mereka mencatatkan PPDA sebesar 7,77. Sementara Tottenham kala masih dilatih Pochettino mencatatkan PPDA sebesar 9,54. Semakin kecil angka ini, artinya semakin intens pressing yang diterapkan.

*

Penunjukan Pochettino sebagai pelatih baru PSG akan menarik. PSG bisa mendapatkan pelatih yang memiliki sejarah dengan klub sebagai pemain. Bagi Pochettino, ia berpeluang besar meraih trofi pertama dalam karier kepelatihan dengan kualitas pemain PSG yang mumpuni. Meski begitu, terdapat berbagai perbedaan situasi antara PSG dan Tottenham yang menjadi tantangan bagi Pochettino untuk dilalui. Menarik dinanti bagaimana sepak terjang Pochettino di PSG.

Komentar