Rumah Sepakbola adalah Tiongkok, Bukan Inggris

Backpass

by Redaksi 35 Pilihan

Redaksi 35

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Rumah Sepakbola adalah Tiongkok, Bukan Inggris

"Football`s coming home"? Memangnya rumahnya sepakbola di mana? Dari mana asalnya sepakbola? Dari Inggris? Ternyata bukan. Setidaknya itu menurut FIFA.

Diperingati hari ini 15 Juli, Sepp Blatter dalam Beijing Football Expo 2004 mengakui kalau sepakbola itu berasal dari Tiongkok (Cina). Katanya seperti ini: "Kami memberikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besar kepada rakyat Tiongkok karena kehidupan kuno mereka menjadi ayunan (cradle: semacam tempat tidur bayi) bagi bentuk pertama sepakbola dan mengurusnya hingga menjadi sepakbola yang sekarang, sepakbola yang mengusung gelar sebagai permainan indah."

Sepakbola modern memang muncul dan matang di Inggris pada tahun 1860-an, namun sebagai olahraga secara utuh, sepakbola berutang nyawa pada rahim Tiongkok kuno. Barangkali hal itulah yang dimaksud oleh Blatter.

Mengakui Tiongkok sebagai rahim sepakbola agaknya tidak masuk akal. Mengingat Tiongkok di masa lampau merupakan negeri yang hampir tak terjangkau akibat kondisi alamnya. Lihatlah bagaimana daratan Tiongkok dikelilingi oleh sejumlah hutan dan gunung yang megah. Apalagi sejarah Tiongkok juga tidak mengenal olahraga yang diorganisir dan dikemas seperti apa yang dilakukan Yunani lewat Olimpiade. Namun demikian, sejumlah penelitian justru menemukan jejak-jejak olahraga di masa Tiongkok kuno, terutama pada masa Dinasti Han.

Simak beberapa cerita mengenai asal usul sepakbola modern:

Kaum Terpelajar dan Lahirnya Sepakbola Modern

Sepakbola sebagai Alternatif Bahaya Masturbasi di Awal Abad 20

Menelusuri Jeja Lahirnya Kata Soccer

Tak hanya cuju sebagai bentuk awal sepakbola, di Tiongkok juga ditemukan cikal-bakal olahraga polo, senam, panahan, anggar, angkat beban, dan tentu saja beladiri. Berbeda dengan Yunani yang memang menghidupkan tujuan berkompetisi dalam olahraga, olahraga-olahraga zaman Tiongkok kuno tidak memiliki tujan demikian. Bahkan rasanya, pada saat itu mereka belum mengenal istilah "olahraga". Berbagai aktivitas tadi dilakukan untuk tujuan militer, tradisi maupun kesehatan.

Dalam esai Archaeological Discoveries and Qin-Han Period Sports and Games yang ditulis oleh Bai Yunxiang (direktur deputi Institute of Archeology, Chinese Academy of Social Sciences) dijelaskan kalau "cuju" atau juga disebut sebagai "taju" berarti menendang bola dengan kaki.

Zhan Guo Ce yang merupakan teks kuno Tiongkok yang berisi tentang manipulasi politik dan perang pada Periode Negara Perang (Warring States) yang terjadi sejak abad 3 SM antara 1 SM, menyebut kalau Linzi diakui sebagai kota tempat lahirnya cuju.

Linzi dikenal sebagai kota yang kaya dan bertumbuh dengan baik. Hal yang menarik adalah, walaupun peperangan sedang berlangsung, penduduk Kota Linzi tetap bisa menikmati hari-hari mereka. Terbukti dalam teks tersebut dijelaskan kalau orang-orang di sana pada waktu itu tetap bisa bermain "yu" (semacam instrumen musik tiup sederhana yang terbuat dari bambu), "se" (semacam sitar dengan 25 senar), "zhu" (bentuknya mirip gambang atau gamelan Cina), dan "qin" (sitar dengan 7 senar). Selain alat musik, orang-orang Linzi juga masih sempat memainkan permainan tradisional seperti adu ayam jantan dan anjing ras serta permainan yang diyakini sebagai nenek moyang sepakbola, cuju.

Jawaban atas pertanyaan pada zaman kapan cuju lahir sampai saat ini masih diperdebatkan. Ada banyak yang menganggap kalau cuju lahir saat pemerintahan Dinasti Han. Namun yang menarik, Bai Yunxiang dalam esainya tersebut tidak pernah menyebut kalau cuju lahir pada masa pemerintahan Dinasti Han. Cuju berkembang menjadi olahraga yang berbentuk dan berkembang pada Dinasti Han.

Banyak yang menyukai sepakbola, tapi sedikit yang tertarik memahami sejarah sepakbola. Mourinho bahkan pernah melakukan kesalahan fatal. Simak kisahnya:

Dianggap Sotoy, Mourinho Diceramahi oleh Profesor Sejarah

Untuk diketahui, Dinasti Han memerintah pada tahun 206 SM sampai tahun 220. Dinasti ini adalah salah satu dinasti terkuat yang pernah ada di Tiongkok karena melahirkan dasar-dasar penyatuan wilayah Tiongkok. Dinasti Han tidak akan pernah ada jika seorang pria dari kalangan petani miskin yang bernama Liu Bang tidak memimpin pemberontakan pemerintahan Dinasti Qin. Dinasti Qin (221 SM-206 SM) walaupun berumur pendek, tetap diakui sebagai dinasti terpenting yang pernah ada karena diya kini meletakkan dasar-dasar kekaisaran yang juga digunakan oleh dinasti-dinasti setelahnya.

Konon pemberontakannya waktu itu dimulai dengan ketidaksengajaan. Liu Bang muda bekerja sebagai petugas patroli wilayah selatan. Waktu itu ia bertugas mengiring tahanan ke Gunung Li di wilayah Shaanxi. Sialnya, di tengah perjalanan, ada banyak tahanan yang melarikan diri. Agaknya waktu ia takut dijatuhi hukuman karena kelalaiannya. Kepalang tanggung, seluruh tahanan yang tersisa dilepaskannya. Lantas, tahanan-tahanan yang dilepaskan ini pada akhirnya berpihak pada gerakan perlawanan yang dipimpin oleh Liu Bang untuk menggulingkan Dinasti Qin.

Tidak hanya berfungsi sebagai permainan tradisional, pada masa pemerintahan Dinasti Han, cuju juga digunakan sebagai bagian dari metode latihan perang. Cuju yang tadinya hanya dimainkan oleh kalangan rakyat, di era tersebut mulai masuk ke dalam istana. Ada banyak pejabat yang memainkan. Bahkan Kaisar Liu Bang juga dengan bangganya memproklamirkan kalau ayahnya adalah seorang mantan pemain cuju amatir.

Di era pertama Dinasti Tang pada tahun 618-960. cuju mulai berkembang lebih dari sekadar permainan ataupun metode latihan perang. Ia diramu sedemikian rupa berubah menjadi olahraga yang mulai penuh dengan aturan kompleks. Ia mulai menyerupai sepakbola yang biasa kita lihat sekarang. Jika pada awalnya bola yang digunakan untuk bermain cuju diisi dengan bulu, di era ini mulai digunakan bola berisi udara.

Perihal bagaimana sepakbola berkembang di Indonesia, simak esai ini:

Sepakbola Indonesia Berhutang kepada Anak-anak Sekolahan

Cuju di zaman Dinasti Tang ada dua jenis, dibedakan menurut gawang yang digunakan. Yang pertama menggunakan gawang dengan jaring yang tidak berbeda jauh dengan gawnag yang digunakan sepakbola modern. Tipe gawang kedua sangat unik. Cuju ini menggunakan gawang yang didirikan di tengah-tengah lapangan. Bentuknya mirip tiang dan mistar lompat tinggi. Hanya saja gawang ini terdiri dari dua mistar. Di antara kedua mistar tersebut dibuat semacam lubang untuk memasukkan bola.

Lapangan-lapangan cuju pun mulai terorganisir. Biasanya mereka menggunakan tanah kosong atau pekarangan yang ada di belakang hunian megah maupun lahan luas yang mirip dengan stadion zaman sekarang. Cuju di zaman ini juga digunakan sebagai hiburan buat kaisar. Pada waktu-waktu tertentu para prajurit akan membentuk tim dan membikin semacam kompetisi.

Sementara itu di era Dinasti Song, cuju mencapai bentuknya yang paling kompetitif dan profesional. Di era ini mulai dikenal orang-orang yang berprofesi sebagai pemain cuju. Mereka bermain cuju untuk hidup. Dinasti yang berlangsung dari tahun 960 sampai 1268 ini juga mulai memiliki klub cuju.

Biasanya per tim terdiri dari 12 sampai 16 orang. Waktu itu ada dua jenis cuju. Yang pertama khusus untuk kekaisaran; artinya mereka berlatih dan tampil untuk kaisar. Yang kedua cuju yang dikelola oleh warga sipil. Cuju jenis kedua inilah yang digeluti sebagai mata pencaharian.

Era Dinasti Ming boleh disebut sebagai awal hilangnya cuju. Entah apa yang menjadi penyebab sebenarnya. Namun era yang identik dengan era pengembangan paham Neo Konfusionisme ini merupakan era reformasi rakyat Tiongkok. Di sana-sini terdapat modernisasi. Sektor politik, pertanian, perekonomian, sastra maupun kelautan (pelaut termasyhur seperti Laksamana Cheng Ho memimpin 6 ekspedisi yang memperkuat hubungan Dinasti Ming dengan negara-negara lain) menjadi lebih baik jika dibandingkan dengan dinasti-dinasti sebelumnya. Namun tidak demikian dengan cuju.

Barangkali karena ia dianggap sebagai bagian dari kelampauan Tiongkok yang tak mengenal modernisasi; cuju diabaikan, ditinggalkan karena dianggap tidak memberikan manfaat ekonomis berarti buat Tiongkok di masa itu. Ya, modernisasi memang demikian, di satu sisi bisa menghidupkan, di sisi lain bisa mematikan.

Komentar