Kedisiplinan, Shin Tae-yong, dan Masalah Klasik Sepakbola Indonesia

Timnas Indonesia

by redaksi

Kedisiplinan, Shin Tae-yong, dan Masalah Klasik Sepakbola Indonesia

Jelang Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia kontra Brunei Darussalam, Pelatih Shin Tae-Yong mengkritik soal keterlambatan beberapa pemain menghadiri pemusatan latihan. Dilansir dari CNN Indonesia, dia menyampaikan kekecewaannya saat ditemui di Gelora Bung Karno (GBK), "Ada beberapa pemain yang terlambat datang ke pemusatan latihan (TC). Padahal TC dimulai jam 12 siang tadi. Saya tegaskan, janji itu sangat penting. Sama seperti nyawa."

Demi mempersiapkan laga yang akan digelar tanggal 12 dan 17 Oktober 2023 nanti, Shin mengharuskan para pemain sudah hadir di hotel hari Senin, 9 Oktober 2023 pukul 12.00 siang. Sementara latihan pertama yang bertujuan untuk pemulihan dimulai sore harinya pukul 17.00 di GBK. Latihan ini menjadi penting untuk mengembalikan kebugaran para pemain setelah menjalani serangkaian pertandingan di liga, terutama mereka yang pulang kampung dari luar negeri.

Sudah sekitar empat tahun sejak PSSI merekrut Shin sebagai pelatih. Ternyata, isu kedisiplinan masih menjadi salah satu isu yang belum sepenuhnya selesai.

Baca Juga:

Moncer di Liga 1, Mengapa Lilipaly Tidak Dipanggil Shin Tae-yong?

Dalam dokumentasi sebuah kanal Youtube sepak bola berbahasa Korea, Myeong Jang Deul, yang diunggah pada 23 November 2021, Shin Tae-Yong pernah memaparkan kendala kedisiplinan yang membuatnya heran. Menurutnya pemain Indonesia terlalu santai. Jatah waktu latihan banyak terpotong akibat tidak bergegas. Waktu pun banyak terbuang akibat mobilitas lambat yang dilakukan sambil mengobrol. Budaya yang tentunya sangat bertolak belakang bagi seorang pelatih yang pernah menahkodai Korea Selatan di Piala Dunia 2018.

“Karena iklimnya sangat bagus dan tanahnya subur, mereka tidak kesulitan makan, jadi orang Indonesia cenderung santai. Masuk ke stadion, mereka tidak langsung bergegas. Kalau kita (di Korea Selatan) pasti sudah disuruh cepat-cepat,” ujar Shin. “Sementara, mereka jalan ke lapangan sudah makan waktu sekitar sepuluh menit. Padahal pelatih dan staff turun dari bus sampai ke lapangan dalam satu sampai dua menit saja lalu berdiri menunggu pemain datang. Tapi mereka masih duduk, mengobrol, mengikat tali sepatu sambil mengobrol, (seolah) tidak berniat ke lapangan.”

Tentu dapat dipahami bahwa Shin mengatakan itu dengan ‘niat baik’. Selain kemampuan taktikal, CV Shin dengan pengalaman melatih di Piala Dunia menunjukkan bahwa Ia memang memiliki standar berbeda: level profesional elit yang tengah berusaha dicapai oleh segenap pelaku sepakbola Indonesia.

Pertanyaannya kemudian: mengapa Shin masih betah menangani skuad Garuda? Tepat ketika teken kontrak pada 2019, Shin menyampaikan keinginan untuk memberikan yang terbaik, terlebih setelah mengetahui ekspektasi tinggi masyarakat terhadap kemajuan tim nasional sepak bolanya.

“Melatih Indonesia adalah tantangan berat dan menjadi pengalaman pertama saya melatih di luar Korea. Tapi saya sangat antusias karena saya melihat talenta dan potensi bagus pemain sepak bola Indonesia," ujarnya. Dia juga menambahkan bahwa keberhasilan dapat tercapai jika pihak federasi, staf tim, para pemain, dan semua pelatih bahu-membahu bekerja sama.

Kepada Myeong Jang Deul, Shin mengungkapkan kronologi perekrutannya oleh PSSI. Pertemuannya dengan ketua, sekretaris, dan komite eksekutif PSSI diadakan di Malaysia pada 19 November 2019, bertepatan dengan laga tandang Indonesia pada Kualifikasi Piala Dunia di Stadion Nasional Bukit Jalil, Kuala Lumpur. Setelah membicarakan visi persepakbolaan tanah air, kedua pihak pun mencapai kesepakatan.

Alasan mencari tantangan dan melihat potensi mungkin terdengar klise. Tetapi dengan melihat keseriusan Shin sejak memulai masa kepelatihan hingga saat ini, terlihat bagaimana dia berkomitmen selama masa baktinya. Ambisinya dalam membentuk timnas menjadi lebih dari sekadar kerja profesional.

Bagaimana Masa Depan Shin?

Hampir di setiap pertandingan Timnas Indonesia, suporter yang memenuhi tribun mengelu-elukan nama Shin, bahkan ketika hasil di lapangan kurang memuaskan. Secara prestasi, Shin belum memberikan hasil nyata dalam bentuk trofi. Tapi, peningkatan kualitas juga bisa dilihat dari keberhasilannya membawa Indonesia lolos ke Piala Asia untuk pertama kalinya sejak 2007 (ketika itu juga lolos otomatis sebagai tuan rumah). Dia juga membawa Indonesia U-23 lolos ke Piala Asia U-23 untuk pertama kalinya.

Saat ini, kontrak Shin masih tersisa hingga Juni 2024. Piala Asia pada Januari 2024 dan Piala Asia U-23 pada April 2023 kemungkinan besar menjadi ajang penentuan masa depan Shin bersama timnas.

“Pembicaraan saya dengan coach Shin Tae-Yong sampai Juni 2024,” kata Erick Thohir selaku ketua PSSI kepada Antara saat jumpa pers perkembangan persiapan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-17 pada Selasa, 10 Oktober 2023. “Penilaiannya nanti apakah perpanjangan lebih panjang (atau tidak) tentu sesuai dengan prestasi yang ada di kejuaran Asia di Qatar, baik senior maupun U-23.”

Sebagai pelatih, Shin jelas paling bertanggung jawab atas pencapaian Timnas Indonesia. Apalagi jika menilik nilai kontraknya yang mahal. Kepada Kompas, Cucu Soemantri, mantan Wakil Ketua PSSI periode 2019–2023, pernah menyebutkan gaji Shin hampir setara dengan Luis Milla. PSSI memang tidak pernah secara eksplisit menyebutkan angka, namun media asal Vietnam, Dan Viet, memberikan bocoran gaji Shin termasuk yang tertinggi di antara pelatih-pelatih top Asia Tenggara, yaitu senilai Rp14,2 Miliar per Desember 2020. Bahkan ketika menukangi Taeguk Warriors di Piala Dunia 2018, Shin ‘hanya’ menerima Rp7 Miliar.

Dengan menyepakati kontrak yang diberikan, Shin juga sepakat dengan berbagai tantangan yang disajikan oleh sepakbola Indonesia. Kendati demikian, untuk mengukur prestasi Shin secara ideal (baca: adil), rasanya butuh tolak ukur yang juga jelas dari PSSI melalui peta jalan (road map).

Kita melihat bagaimana Shin memangkas generasi timnas senior dan memunculkan wajah-wajah baru. Di saat bersamaan, kita juga melihat Shin menyepakati kebijakan naturalisasi pemain-pemain muda keturunan sebagai strategi ‘jangka pendek’ demi mendongkrak kualitas. Hal terakhir menunjukkan bahwa adanya kekosongan (gap) dalam sistem pembinaan sepakbola nasional yang harus diakali oleh Shin untuk mendatangkan prestasi.

Hanya melalui peta jalan, publik akan mengetahui langkah-langkah transformasi sepakbola Indonesia secara detail dan menyeluruh. Dalam konteks pelatih tim nasional, ada tahapan-tahapan yang perlu dicapai Shin sebagai ‘batas aman’ ketika tiba waktunya untuk evaluasi dan negosiasi kontrak. Tentu saja, melalui peta jalan itu juga, harapannya siapapun pelatih Timnas Indonesia di masa mendatang tidak perlu lagi mengomentari hal-hal elementer seperti kedisiplinan.

Komentar