Cara Memberantas dan Mencegah Match-Fixing

Sains

by Dex Glenniza Pilihan

Dex Glenniza

Your personal football analyst. Contributor at Pandit Football Indonesia, head of content at Box2Box Football, podcaster at Footballieur, writer at Tirto.ID, MSc sport science, BSc architecture, licensed football coach... Who cares anyway! @dexglenniza

Cara Memberantas dan Mencegah Match-Fixing

Di seluruh dunia, sepakbola dimainkan dengan peraturan yang sama. Maka ketika ada yang mencoba mengatur pertandingan (match-fixing), itu adalah tindakan korupsi. Tindakan korupsi termasuk penipuan dan bisa dihukum pidana.

Declan Hill, seorang akademisi dan jurnalis yang mengkhususkan dirinya kepada kasus-kasus match-fixing, berpendapat jika olahraga di Asia (bukan hanya sepakbola) adalah sebuah opera sabun komikal yang terkenal karena lawakan dan pengaturannya, bukan karena prestasi atlet-atletnya.

Semua hal tentang match-fixing berakar dari Asia. Dalam bukunya yang berjudul The Insider’s Guide to Match-Fixing in Football, Declan mengatakan jika ada sekitar dua lusin bandar judi yang merupakan kepala sindikat perjudian nasional di seluruh Asia.

“Masing-masing sindikat ini mengendalikan satu negara atau bagian substansial dari bisnis suatu negara. Salah satu rekan mereka mengatakan kepadaku bahwa mereka tidak suka istilah bandar judi (bookies); mereka lebih suka super-agents dan orang yang bekerja untuk mereka adalah agent. Ini karena taruhan masih ilegal di sebagian besar negara-negara Asia, sehingga istilah bandar terlalu banyak menarik perhatian yang tidak diinginkan,” tulis Declan.

Menurutnya, para bookies berbasis di Hanoi, Bangkok, Johor Bahru, Taiwan, Jakarta, dan Manila. Kepemilikan, struktur, dan peran penting dari kepercayaan pada tingkat jaringan perjudian ilegal ini mirip dengan perdagangan heroin Asia dan bergantung pada koneksi komunitas antar etnis Tionghoa. “Di dunia judi, semua super-agent dalam struktur nasional adalah etnis Tionghoa,” tulis Declan.

Mengungkap Tidak Sama dengan Memberantas, Apalagi Mencegah

Satu hal yang perlu kita tahu, match-fixing tidak pernah menjadi hal yang sederhana (itu sudah dijelaskan pada tulisan sebelumnya). Banyak orang yang tidak menyukai match-fixing, bahkan para koruptor juga tak menyukainya.

Ini bukan persoalan moral atau agama, tapi soal uang. Jika para koruptor bisa menang dengan jujur, mereka pasti memilih itu. Jika pertandingan dimenangi secara jujur, koruptor tak perlu menghabiskan uang dan sumber daya (runner, agen, dsb) tambahan. Sementara jika pertandingan menghasilkan kekalahan yang jujur, para koruptor juga tak kehilangan sepeserpun uang mereka.

Beda cerita jika pertandingan yang sudah mereka atur malah gagal (tidak sesuai dengan kemauan mereka padahal mereka sudah membayar), maka para koruptor akan kehilangan hasil pertandingan sekaligus uang dan sumber daya yang mereka gunakan untuk mengatur pertandingan.

Pada dasarnya, match-fixing itu sangat sulit dan sangat mahal untuk dapat terjadi. Oleh karena itu, ada banyak cara untuk memberantas dan mencegahnya.

Baca juga: Bagaimana Cara Mafia Menjalankan Match-Fixing?

Mengungkap, memberantas, dengan mencegah tentu tiga hal berbeda. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya juga, pengungkapan match-fixing umumnya dilakukan oleh polisi dan media. Acara seperti Mata Najwa (bahkan sampai dua jilid, sejauh ini) mampu mengungkapkan beberapa whistleblower yang mau mengaku “bermain”.

Namun acara seperti Mata Najwa (media) bukanlah penegak hukum yang bisa memproses kasus match-fixing. Maka penegak hukum selanjutnya yang memegang peranan penting, yaitu kepolisian.

Keseriusan media dalam mengungkap mafia sepakbola akhirnya dijawab dengan dibentuknya satgas pengaturan skor yang dipimpin langsung Kapolri, Tito Karnavian. Pertanyaan selanjutnya setelah ada berbagai pengungkapan: bagaimana cara memberantas dan kemudian mencegahnya?

Berikut adalah cara pemberantasan dan pencegahan yang mayoritas kami ambil dari bab How We Can Win pada buku Declan Hill, The Insider’s Guide to Match-Fixing in Football.

Fasilitasi dan Lindungi Whistleblower

Untuk kasus-kasus match-fixing, peran whistleblower (pengaku) itu sangat penting. Di luar negeri pun pengungkapan kasus-kasus seperti ini selalu melibatkan whistleblower. Meski efektif, jarang ada whistleblower yang ingin mengaku di media seperti Bambang Suryo, Lasmi Indaryani, dan Budhi Sarwono.

Mereka yang mengaku, bagaimana juga, umumnya adalah pelaku yang bersalah. Kasus yang sudah-sudah, para whistleblower malah dihukum, bukan diberi penghargaan. Orang pertama yang membuka kasus korupsi (secara umum) memang jarang hidup nyaman.

Maka dari itu agar kasus-kasus seperti ini bisa terungkap, diberantas, dan dicegah, para whistleblower harus dilindungi.

Masalahnya memang mencari whistleblower itu sangat sulit. Tidak ada yang suka menceritakan kejelekan mereka sendiri bersama para rekannya. Oleh karena itu salah satu cara mendukung mereka untuk melapor adalah dengan pembentukan hotline atau call center yang independen.

Para pengaku bisa membuat laporan dengan menelepon hotline tersebut. Kerahasiaan mereka juga terjaga dengan cara ini.

Sistem Kompetisi Agar Minim Disusupi Mafia

Cara paling efektif dan ramah biaya untuk mengganggu praktik match-fixing adalah dengan rancangan turnamen yang lebih baik. Pada banyak kasus, pengaturan pertandingan umumnya terjadi pada pertandingan yang setidaknya salah satu pihak menganggapnya sebagai pertandingan tidak penting.

Pada NBA (liga bola basket Amerika Serikat), banyak tim yang berusaha kalah sebanyak-banyaknya menjelang akhir musim untuk menduduki peringkat bawah. Mereka melakukannya karena peringkat yang lebih bawah akan mendapatkan jatah draft pick yang lebih tinggi di musim berikutnya.

Hal serupa juga pernah terjadi pada kasus “sepakbola gajah” antara PSS Sleman dan PSIS Semarang pada 2014, di mana terdapat lima gol bunuh diri dalam enam menit antara kedua kesebelasan karena keduanya sama-sama ingin menghindari calon lawan kuat di fase gugur jika mereka menang.

Pada sistem kompetisi seperti liga dengan 18 kesebelasan, misalnya tidak ada bedanya finis antara posisi ke-10 dengan ke-11. Pertandingan penting menjelang akhir musim adalah pertandingan yang melibatkan gelar juara atau degradasi. Oleh karena itu kebanyakan pertandingan papan tengah bisa “dijual” kepada yang lebih membutuhkan.

Hal ini bisa dihindari dengan pemberian insentif yang lebih besar untuk setiap peringkat. Ada bedanya finis di peringkat ke-10 dengan ke-11, misalnya Rp100 juta. Jika itu dilakukan, kemungkinan terjadinya match-fixing memang akan tetap ada, namun harganya akan lebih mahal.

Selain insentif yang berbeda di setiap posisi klasemen liga, pemberian bonus penghargaan juga bisa menjadi motivasi sekaligus meminimalisasi match-fixing: seperti kesebelasan yang paling sedikit kebobolan, kesebelasan paling sedikit kartu kuning, atau di Indonesia bisa diterapkan misalnya gelar seperti “kesebelasan terbaik Indonesia Tengah”, dll.

Solusi lain yang bisa dilakukan adalah dengan menerapkan sistem setengah kompetisi seperti di Premiership Skotlandia atau Ekstraklasa Polandia.

Mereka menerapkan liga dengan jumlah peserta sedikit. Setengah kompetisi pertama memainkan pertandingan kandang-tandang dengan komplet, namun setengah kompetisi sisanya dilanjutkan dengan fase play-off yang menyisakan dua bagian: setengah kesebelasan teratas akan memainkan babak play-off championship, sementara setengah kesebelasan terbawah akan memainkan babak play-off degradasi.

Dengan skema liga seperti ini, setiap pertandingan akan penting untuk setiap kesebelasan sehingga akan menimalisasi potensi korupsi.

Baca juga: Judi dan Match-Fixing di Indonesia

Pada intinya semakin sedikit pertandingan, maka akan semakin baik; sekaligus akan semakin kecil bisa “dimainkan”. Semakin banyak pertandingan, berarti akan semakin banyak juga pertandingan yang tidak penting. Oleh karena itu liga yang memiliki peserta lebih banyak, misalnya 20 kesebelasan, lebih rentan disusupi match-fixing daripada liga yang hanya memiliki 10 kesebelasan.

Membatasi Pergerakan Mafia

Untuk membatasi pergerakan mafia (koruptor), biasanya pihak terkait akan mencoba meningkatkan rasa kepercayaan di antara para pejabat, administrator kesebelasan, pemain, dan wasit. Namun sejujurnya itu sulit dilakukan karena semua orang memiliki kepentingan masing-masing.

Maka dari itu yang harus dilakukan dalam memberantas dan mencegah match-fixing adalah dengan menurunkan rasa kepercayaan (alias meningkatkan kecurigaan) di antara para koruptor. Itu bisa dilakukan dengan kampanye buka-bukaan untuk menjebak para koruptor.

Contohnya begini: Pejabat liga dan pejabat kesebelasan terpilih akan mendekati calon koruptor dan mengusulkan pengaturan pertandingan. Jika koruptor tidak segera melaporkan pendekatan kepada pihak berwajib (misalnya polisi), maka dia akan menghadapi hukuman.

Seorang koruptor pada awalnya tidak bisa membedakan antara pendekatan “jujur” untuk match-fixing dan pendekatan “tidak jujur”. Pada akhirnya mungkin koruptor bisa tetap beraksi, tetapi kita dapat mengasumsikan bahwa sinyal-sinyal ini akan membuat biaya match-fixing semakin tinggi.

Selain menurunkan rasa kepercayaan di antara para koruptor, pencegahan juga bisa dilakukan dengan memonitor pasar taruhan; bisa melalui pihak ketiga seperti Genius Sport (yang sudah dilakukan PSSI). Bagaimana juga pertandingan yang berpotensi disusupi biasanya memiliki odds (peluang atau voor-voor-an) yang aneh.

Selanjutnya pembatasan pergerakan koruptor juga bisa dilakukan dengan memutus akses komunikasi. Akses ke hotel kesebelasan, lapangan latihan, sampai stadion harus dibatasi untuk orang-orang yang berkepentingan. Bahkan telepon genggam para pemain, wasit, dan administrator kesebelasan juga dimonitor.

Pada kejuaraan tenis Perancis Terbuka, pihak penyelenggara turnamen sengaja memasang alat yang membuat alat-alat komunikasi menjadi macet (jammed) di dalam stadion untuk menghindari informasi judi bisa keluar dari stadion.

Baca juga: Tindak Pidana Match-Fixing dalam Perspektif Hukum Nasional

Cara lain yang ternyata biasa dilakukan pihak liga di luar negeri adalah mengganti wasit secara tiba-tiba beberapa saat sebelum pertandingan. Mengganti wasit tidak sama dengan mengumumkan secara tiba-tiba. Jika pihak liga mengumumkan secara tiba-tiba, mereka justru bisa dicurigai menyembunyikan sesuatu yang berpotensi ada “permainan” di sana. Hal ini menjadi penting karena koruptor juga umumnya mendekati wasit.

Pembentukan Badan Anti-Korupsi Olahraga Internasional

Sepanjang bukunya, Declan menyimpulkan jika korupsi terjadi pada segala lapisan pengurus sepakbola, dari mulai pemain, pejabat federasi, mafia kelas kakap, bahkan polisi. Maka dari itu salah satu cara memberantas korupsi adalah dengan membentuk badan anti-korupsi yang independen.

Declan memberi contoh WADA (Badan Anti-Doping Dunia) yang berhasil mengungkapkan, memberantas, dan mencegah doping di olahraga. Cara itu juga bisa diterapkan pada kasus-kasus match-fixing. Jika dipersempit di Indonesia saja, mungkin penerapannya sama seperti KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).

Badan Anti-Korupsi Olahraga ini akan memiliki unit intel yang mengumpulkan informasi tentang potensi koruptor dan pendekatan mereka, sertifikasi “anti-korupsi” kepada organisasi-organisasi olahraga yang dianggap bersih.

Ide ini sangat baik di atas kertas. Namun pada kenyataannya nanti, siapa yang akan membiayai mereka? Declan menyediakan jawaban yang sangat sederhana: industri perjudian olahraga yang akan membiayai Badan Anti-Korupsi Olahraga.

Perjudian di Indonesia memang dianggap tabu, tapi tidak dengan di internasional. Perputaran uang di pasar taruhan sangat besar. Sports gambling memiliki sisi komersial dan moral untuk memastikan olahraga terlindungi dari mafia.

Di sini, Declan menawarkan solusi berupa integrity charge yang hanya tidak lebih dari 1% dari setiap taruhan yang dilakukan. Jika persentase itu dirasa sangat kecil, ternyata itu saja bisa menghasilkan puluhan miliar dolar AS setiap tahunnya.

Soal perjudian ini, sepakbola Inggris juga mengalami perbaikan soal kasus-kasus match-fixing pada 1950 dan 1960-an setelah mereka menghapus batas gaji maksimal dan pelegalan gambling.

Ujung-Ujungnya Duit

Pemerintah Singapura (yang merupakan salah satu sarang mafia judi bola) memiliki cara efektif menghentikan korupsi dengan membayar pejabat-pejabat mereka dengan gaji tinggi dan tepat waktu. Penunggakan gaji adalah motivasi terbesar bagi pemain, wasit, administrator kesebelasan, dan pejabat untuk terlibat korupsi.

Baca juga: Peran Polisi dan Media dalam Memberantas Match-Fixing

Apapun yang terjadi, “profesional” mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya (lawan kata amatir). Selama itu tak terjadi, “profesional” adalah jargon semata.

Pada liga yang menjunjung profesionalisme paripurna, pihak liga atau federasi biasa menyuruh kesebelasan menyetor seluruh gaji pemain dan pengurus kesebelasan mereka di awal musim dan tengah musim pada akun bank independen yang secara otomatis akan menyetor uang tersebut setiap jangka waktu tertentu (per pekan, per bulan, atau per musim).

Masalah uang ini juga berlaku sebaliknya, yaitu untuk menghukum pihak-pihak yang terlibat. Denda yang dijatuhkan harus tinggi dan tak pandang bulu. Seringnya kasus match-fixing akan membuat jera jika pemain, wasit, administrator kesebelasan, atau pejabat yang memiliki profil tinggi lah yang dihukum; artinya hukuman tak pandang bulu.

Hukuman lain yang membuat jera antara lain adalah dilarang terlibat di olahraga seumur hidup. Kebijakan yang harus diambil juga sebaiknya “one-strike-you-are-out”, alias sekalinya bersalah langsung dihukum, tanpa peringatan.

Kemudian khusus bagi Indonesia, rangkap jabatan antara pejabat kesebelasan dan pejabat federasi juga sangat memungkinkan terjadinya “permainan”, sehingga rangkap jabatan semacam ini harus dihilangkan, apalagi PSSI juga punya slogan “profesional dan bermartabat”. Memang mereka tidak/belum terbukti terlibat, tapi stigma masyarakat sudah terlanjur jelek kepada mereka. Semua keputusan menjadi penuh kecurigaan.

Olahraga dan sepakbola mengajarkan banyak hal positif kepada generasi-generasi manusia. Oleh karena itu kita semua harus melindungi olahraga dan sepakbola dari praktik-praktik kotor para koruptor.


Solusi-solusi di atas mayoritas diambil dari studi yang dilakukan oleh Declan Hill pada bukunya, The Insider’s Guide to Match-Fixing in Football. Beberapa sumber jurnal, buku, laporan, kasus pengadilan, dan artikel yang ia jadikan bahan antara lain adalah:

  • Preston, I., Szymanski, S. (2003) Cheating in Contests. Oxford Review of Economic Policy. Vol. 19:4. 612-24.
  • Szymanski, S., Kuypers, T. (1999) Winners and Losers: The Business Strategy of Football. Harmondsworth, Middlesex, England: Penguin Books.
  • Taylor, B., Trogdon, J. (2002) Losing to Win: Tournament Incentives in the National Basketball Association. Journal of Labour Economics. Vol. 20, 1.
  • Van Rijckeghem, C., Weder, B. (2001) Bureaucratic Corruption and the Rate of Temptation: Do Wages in the Civil Service Affect Corruption, and by How Much? Journal of Development Ecomonics. Vol. 65.2: 307-31.

Komentar