Judi dan Match-Fixing di Masa Lalu Indonesia (Bagian 1): Fenomena Judi Toto

Cerita

by Aqwam Fiazmi Hanifan

Aqwam Fiazmi Hanifan

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Judi dan Match-Fixing di Masa Lalu Indonesia (Bagian 1): Fenomena Judi Toto

Benua biru Eropa yang merupakan kiblat dunia sepakbola disorot tajam pada 2013. Temuan Europol (interpol-nya Eropa—Red) akan adanya indikasi pengaturan skor secara global mengagetkan banyak pihak. Nilai-nilai sportivitas yang selalu dibanggakan bangsa Eropa ternyata tak mampu menghadang serbuan kartel mafia pengaturan skor yang diduga berbasis di Singapura.

Bagaimanapun juga, pengaturan skor tak lepas dari adanya taruhan atau judi bola. Perkembangan zaman dan teknologi yang begitu cepat menjadikan pola taruhan judi bola semakin beragam. Jika dulu untuk bisa memasang taruhan orang harus bersusah payah mengantre dan membeli kupon di agen, kini hanya tinggal duduk manis di depan komputer atau memandangi layar ponsel, lalu mengeluarkan sedikit tenaga untuk mengklik. Judi bola di internet membuat semuanya lebih mudah.

Pertandingan sepakbola yang dijadikan bahan taruhan pun semakin beragam, dari liga-liga Eropa, Amerika hingga Asia. Indonesia pun tak terkecuali. Semenjak era Indonesia Super League (ISL) dan Indonesia Premier League (IPL) pertandingan Indonesia mulai dijadikan match taruhan. Tak tanggung-tanggung, pertandingan klub-klub divisi satu yang namanya mungkin namanya masih asing terkadang dijadikan pula bahan taruhan online.

Karena itu tak menutup kemungkinan pengaturan skor pun terjadi di Indonesia. Benar atau tidak, faktanya sejarah sepakbola Indonesia memang tak habis-habisnya didera isu judi dan pengaturan skor. Taruhan judi bola dan pengaturan skor sesungguhnya bukanlah barang baru di Indonesia.

Sugiarta Sriwibawa bertutur beberapa menit sebelum laga Persis Solo versus PSIM Yogyakarta tahun 1930an, banyak bandar dan petaruh yang didominasi etnis Jawa, China dan peranakan Arab berkeliaran di stadion Sriwedari. Mereka tak sabar melihat starting eleven yang akan diturunkan. Jika pemain inti absen, dipastikan uang taruhan yang dipasang pun akan sedikit jumlahnya. Saat pertandingan dimulai, mereka berkumpul di pojok kiri tribun timur. (Varieta Nostalgia, Setengah Abad PSSI, hal 73).

Di era tahun itu, selain untuk memuaskan nafsu petaruh, hasil dari taruhan biasanya digunakan untuk mendanai operasional klub. Hasil penjualan karcis penonton memang menghasilkan, tapi setelah dipotong pajak penonton, pendapat yang didapat tidaklah seberapa. Karenanya, pemasukan sampingan yang bisa dikeruk berasal dari taruhan. Itulah secarik cerita di zaman kolonialime.

Totalisator Demi Pembangunan Negara

Memasuki tahun 1950an, legalitas taruhan judi bola bukan hanya sekadar disahkan, tapi bahkan negara langsung yang mengelolanya. Bahasa "sopan" yang dipakai pemerintah terkait program ini adalah Totalisasitor Negara -- tapi orang lebih akrab dengan sebutan "Judi Toto".

Soekarno beralasan, guna mengembangkan dunia olahraga maka diperlukan dana segar yang tak mungkin bisa diambil dari kas negara yang jumlahnya sangat minim -- maklum, umur Indonesia baru seumur jagung. Salah satu jalan adalah dengan melegalkan perjudian. Hasil dari judi toto ini memang memberi manfaat yang besar membantu perkembangan olahraga nasional. Pembangunan sarana, prasarana dan suplai dana operasional beberapa cabang olahraga, membuat kalangan olahragawan mendukung penuh apa yang dilakukan Soekarno.

Pertandingan yang ditaruhkan Toto sangatlah beragam, dari sepakbola hingga pacuan kuda, dari tingkat pertandingan kecamatan hingga laga persahabatan internasional. Judi Toto tak pandang bulu level pertandingannya. Jika menarik, maka akan dipertaruhkan.

Di Bandung bahkan pernah diadakan suatu turnamen yang diniatkan sebagai pesta bagi para maniak judi yaitu "Turnamen Toto". Turnamen ini mempertemukan dan diikuti oleh antarklub internal/anggota Persib. Turnamen Toto yang digelar tiap tahun ini diselenggarakan di Lapangan Tegallega. Turnamen yang sudah muncul sejak 1951 ini baru berhenti di tahun 1979 -- berlangsung sekitar 28 tahun.

Untuk meredam resistensi kalangan agamawan yang selalu berteriak lancang mengharamkan judi toto, terkadang hal-hal yang berbau sosial pun dijadikan bumbu manis agar orang memasang taruhan judi toto.

Seperti yang terpampang di secuplik iklan di surat kabar "Sajembara Tebakan". Taruhan judi ini berlaku untuk pertandingan persahabatan antara Persib Bandung melawan Salzburg dari Austria yang digelar di Lapangan Ikada, Jakarta. Persib kalah 0-3 dari tim tamu dalam pertandingan yang disaksikan oleh Menteri Luar Negeri, Soenario, Menteri Ekonomi, Roeseno, dan Menteri Pertahanan, Iwa Kusumasumantri. Iklan itu menyebutkan: semua pendapatan bersih dari taruhan ini akan diserahkan sepenuhnya kepada Palang Merah Indonesia (PMI).

Yang membuat Judi Toto ini sukar untuk dilawan adalah antusiasme publik terhadapnya. Penelusuran kami terhadap halaman-halaman olahraga surat kabar di masa itu menunjukkan luasnya penerimaan publik terhadap Judi Toto. Bagi para pengelola klub atau pengurus sepakbola, judi bola ini memberi harapan baru dalam soal pemasukan. Jika uang tiket hanya mungkin datang dari para penggemar fanatik sepakbola yang datang ke stadion, Judi Toto memungkinkan orang yang tidak menggemari sepakbola sekali pun bisa memberikan sumbangan finansial.

Kritik terhadap merambahnya judi ini bukannya tidak ada. Di masa itu pun sudah banyak catatan mengenai efek merusak judi sepakbola terhadap para pemain dan jalannya pertandingannya. Inilah sisi pedang lain dari judi toto dalam sepakbola.

Raden Ading Affandi (masyhur dengan inisial RAF), seorang intelektual Sunda yang mahir menulis dan sekaligus seniman, pernah menulis sebuah artikel yang menjelaskan bagaimana Judi Toto mempengaruhi sepakbola, terutama menjadi beban moral bagi para pemain sepakbola. Berikut petikan catatan RAF sebagaimana terbaca dalam buku HUT Persib 25 Tahun [terbit tahun 1958]:

"Di masa-masa itu, sering terjadi dalam sebuah pertandingan para pemain enggan untuk mengambil tendangan pinalti dan malah silih saling menunjuk satu sama lain untuk menjadi eksekutor.

"Mereka bukan takut untuk gagal, tapi karena sebab lain. Teriakan-teriakan dari penonton lah yang membuat asa keengganan itu. Jika pemain gagal sudah pasti ada saja tukang taruhan yang berteriak sang ekeskutor kena suap: `Hai kau dapat, bung? Berapa ribu, bung?` Perkataan yang jijik dan menyakitkan.

"Sebenarnya momen ini tak hanya saat pinalti saja, dalam seluruh permainan, pemain dikejar-kejar oleh momen menakutkan. Saat salah mengoper, menyundul, tendangan yang melenceng dll. selalu saja disambut para petaruh dengan teriakan jijik dan jahat.

"Sungguh tragis memang bahwa uang sedemikian dalamnya mempengaruhi sepakbola. Konsentrasi pemain pikiran selalu diganggu oleh kemarahan dan sakit hati para petaruh."

Kondisi ini, menurut RAF, menjadi faktor yang menghambat persepakbolaan nasional. Di satu pihak ada yang ingin melakukan olahraga dengan idealisme murni, di lain pihak ingin melenyapkan idealisme itu dan menganggap olahraga adalah melulu soal keuntungan duit. Bahaya terbesarnya adalah para pemain pun tergoda untuk menjadi bagian dari pengaturan skor, terlebih saat itu penghasilan sebagai pemain bola masih jauh dibandingkan dengan sekarang.

Pengakuan Rukma, pemain Persib dan langganan utama tim nasional di akhir era 1950an sampai 1960-an [selalu jadi starter di era Pogacnik], bisa menggambarkan hal ini. Dalam wawancara dengan kami, Rukma mengakui bahwa di zaman itu sangat biasa para pemain ikut memasang taruhan di Judi Toto. Anda bisa mengira sendiri betapa berbahayanya seorang pemain ikut memasang taruhan Judi Toto di pertandingan yang dia sendiri ikut bermain di dalamnya.

Di dekade 1950an itu, ketika Judi Toto sedang memuncak pengaruhnya, banyak sekali laporan surat kaleng yang menuliskan data dan informasi mengenai pemain yang terkena suap. Para pengurus klub sudah biasa menerima surat-surat kaleng seperti ini. Sayang laporan itu tak pernah ditindaklanjuti karena minimnya bukti otentik dan pengirim yang anonymous.

Di dekade ini, kendati isu mafia pengaturan skor sudah merajalela, namun pemberitaan mengenai isu ini tidak sering muncul di surat kabar. Artikel RAF yang dikutip di atas pun muncul dalam sebuah buku, bukan surat kabar.

Kondisi itu sedikit berubah saat Indonesia memasuki Demokrasi Terpimpin pada tahun 1959, saat Soekarno mulai mendominasi kekuasaan. Sebuah tragedi kelam dalam sejarah sepakbola Indonesia, saat Indonesia sedang getol-getolnya mengampanyekan nasionalisme dan patriotisme, muncul menjelang Asian Games 1962. Itulah kali pertama isu mafia pengaturan skor berhasil diungkap dan dibuktikan.

Baca juga:

Bagian 2: Tauke dan Ramang yang Diskors Karena Suap

Bagian 3: 10 Pemain yang Terlibat Skandal Suap Senayan 1962

Bagian 4: Pengakuan Skandal Suap Senayan

foto: nationaldaily


Tulisan ini lebih dulu tayang di About the Game, detiksport, dengan perubahan secukupnya.

Komentar