Simpul Erat Match-Fixing dengan Judi

Cerita

by redaksi

 Simpul Erat Match-Fixing dengan Judi

Match-Fixing, Perjudian, Mafia seolah menjadi lingkaran setan yang sulit untuk enyah dari ranah olahraga. Pengaturan pertandingan (match-fixing) merupakan buah hasil dari perjudian yang dilakukan secara masif dan tak terkendali.

Pesatnya perkembangan teknologi, kini membuat ranah judi dapat diakses melalui media dan situs online. Banyak bertebaran situs online judi bagi olahraga, diantaranya yang paling populer adalah Bet365, Betaway, Sky Bet, SBO TOP, dan masih banyak lagi.

Secara singkat, judi umumnya adalah urusan antara bandar dan petaruh (bettor). Terkhusus judi sepakbola, bettor akan bertaruh terhadap tim yang akan bertanding kala itu. Bettor bertaruh untuk tim A agar menang melawan tim B. Jika tim A menang, bettor akan mendapatkan keuntungan dari bandar dengan nominal yang telah ditentukan. Dengan berbagai format yang ditawarkan oleh bandar, judi tetaplah judi. Bettor akan mendapat untung jika taruhannya benar. Jika kalah, ya buntung. Sesimpel itu.

Keuntungan yang didapat oleh bettor sangat beragam, tergantung bagaimana sistem yang bandar tawarkan. Lebih dari itu, bandar mendapat keuntungan yang super duper lebih besar dibanding bettor.

Menurut situs Gambling Commission, dari Oktober 2015 hingga September 2016 rekor keuntungan yang diraup oleh bandar judi sepakbola mencapai 333.4 Juta Poundsterling atau kurang lebih Rp6,4 Triliun.

“Ladang Emas” situs judi di sepakbola Eropa

Saking besarnya keuntungan yang diraup oleh situs judi dari benua Eropa, beberapa situs mampu membiayai sponsor bagi klub-klub sepakbola di sana. Menurut laman Globaldata, dalam musim 2020/2021, situs judi atau betting menghabiskan uang hingga 497,82 Juta dollar atau Rp9,5 triliun untuk menjadi sponsor klub sepakbola Eropa.

Liga Inggris menjadi liga paling tinggi di Eropa dalam segi jumlah pendapatan dari situs judi dengan meraup 143,84 juta dollar. Kedua, Spanyol dengan pendapatan 70,49 juta dollar, kemudian Jerman 57,35 juta dollar, Swedia 43,80 juta dollar, Turkey 32,05 juta dollar, Prancis 28,62 juta dollar, Italia 13,05 juta dollar, Russia 11,89 juta dollar, Portugal 10,80 juta dollar, Belanda 10,62 juta dollar dan Belgia menempati posisi akhir dengan meraup pendapatan sebesar 9,93 juta dollar.

Alasan liga Inggris menempati puncak penerima keuntungan terbanyak dari sponsor situs judi adalah memiliki daya tarik yang besar dan memiliki audiens televisi terbesar untuk ranah sepakbola.

Namun, baru-baru ini nampaknya liga Inggris akan kehilangan keuntungan dari situs judi yang selalu nempel di baju beberapa klubnya. Wacana tersebut tertuang dalam Undang-undang perjudian 2005 yang diluncurkan oleh Departemen Digital, Budaya, Media dan Olahraga (DCMS) Britania Raya, Desember 2020.

Klub-klub premier league, seperti Wolverhampton Wanderers FC, West Ham United, Brentford FC, Burnley FC, Crystal Palace, Leeds United, Newcastle United, Southampton dan Watford, terancam putus kerjasama dengan sponsor yang melekat di bajunya.

Sebelum adanya wacana larangan sponsor betting, pemerintah Inggris masih melonggarkan situs judi olahraga sebagai sponsor klub sepakbola. Catatannya, asalkan tidak mencampuri urusan di atas lapangan. Jika memang kebijakan tersebut diterapkan, Inggris merupakan satu dari sekian banyak negara yang melarang situs judi menjadi sponsor klub sepakbola.

Lain di Inggris, lain di Spanyol yang melegalkan judi sebagai salah satu lahan pendapatan bagi negaranya. Menurut situs focusdn, The Spanish Gaming Regulator melaporkan jika online Gross Gambling Revenue (GGR) meraup pendapatan sebesar 850,7 juta Euro atau sebesar Rp 14 triliun. Dilihat dari data pendapatan sponsor di liga Eropa, Spanyol menempati posisi kedua setelah Inggris dengan meraup 70,49 juta dollar.

Sepakbola dan ladang judi di Indonesia

Di Indonesia, judi merupakan hal yang ilegal. Biar agamis, sebut saja haram. Tertuang dalam Pasal 303 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pelaku judi dapat dikenai pidana penjara paling lama empat tahun dan pidana denda paling banyak Rp10 juta.

Dunia judi di Indonesia sebetulnya sudah marak terjadi di era 60 hingga 70-an. Ali Sadikin sebagai Gubernur Jakarta saat itu, mungkin harus rela melegalkan judi. Ali Sadikin kepada Tempo mengatakan jika judi merupakan hal yang sulit untuk diberantas sehingga jalan yang lebih baik jika membatasi dan mengaturnya. Pendapatan yang fantastis dari uang judi disalurkan untuk membangun berbagai infrastruktur publik.

Jauh sebelum itu, Presiden pertama Indonesia, Ir Soekarno, pernah melegalkan pula judi dengan alasan untuk kepentingan perkembangan olahraga Indonesia. Pada tahun 1950, Totalisator Negara atau “Judi Toto”, sebutan halus judi secara sah dilegalkan.

15 tahun setelah itu, Soekarno mengeluarkan Keppres no 113 tahun 1965 untuk menghentikan maraknya perjudian saat itu. Padahal, saat itu judi sedang menjadi daya tarik bagi mayoritas masyarakat Indonesia, dan pendapatan negara pun sedang naik. Namun, Soekarno beralasan jika judi lambat laun dapat merusak moral bangsa.

Diantara banyaknya gim/permainan yang menjadi ajang untung bertaruh, sepakbola tak bisa menghindar dari lirikan para penjudi. Saat itu, istilah judi untuk olahraga dikenal sebagai Pekan Olahraga dan Ketangkasan (Porkas). Sepakbola menjadi salah satu olahraga yang menarik banyak peminat. Hingga kini, masa di mana judi dilarang oleh pemerintah, sepakbola menjadi ladang yang menjanjikan bagi para petaruh.

Sebelum wacana Inggris mengeluarkan kebijakan pelarangan sponsor betting, Indonesia terlebih dahulu telah melarang klub untuk menggunakan sponsor betting atau judi. Sorotannya adalah Tira Persikabo Bogor. Klub itu sempat tampil di gelaran Liga 1 Indonesia 2020 (sebelum dihentikan pandemi COVID-19) dengan sponsor SBO TOP, yakni platform judi online.

Polemik pun terjadi pada saat itu karena belum ada peraturan yang pasti untuk mengatur sponsor klub liga Indonesia. Pada akhirnya, Liga Indonesia Baru (LIB) mengeluarkan Surat Keputusan nomor 103/LIB/II/2020, tanggal 25 Februari 2020 yang berisi larangan bermain bagi klub yang masih bekerjasama dengan situs judi atau betting sebagai sponsor.

Match-Fixing cara kotor dalam berjudi

Mudahnya akses situs judi online membuat siapa saja bisa bermain, sekalipun di negara yang melarang judi. Menurut situs Gambling Commision, sepakbola menjadi olahraga yang paling banyak dipertaruhkan. Lazimnya, cara main situs judi untuk sepakbola hanya sesimpel mengakses situs melalui gawai. Itu artinya, tidak mungkin seorang pelaku judi ikut mencampuri urusan di atas lapangan.

Match-fixing tak hanya dipandang kotor oleh pelaku di atas lapangan. Di atas meja judi pun, match fixing dianggap perilaku kotor. Tentunya, match-fixing berawal dari judi yang memasang dengan harga tinggi. Hal tersebut terbukti jika pelaku judi berani membayar pemain, wasit, hingga administrator klub dengan nominal yang besar.

Dalam tulisan Pandit yang membahas mengenai cara mafia menjalankan match-fixing dijelaskan sebagai perbuatan kotor penjudi dalam menipu bandar. Dengan kata lain, dalam konteks ini bandar menjadi korban.

Permasalahan semua ini tentunya berawal dari judi. Dikelola atau tidak dikelola, legal atau illegal, berjudi dengan cara kotor tidak dapat dihindari dan mau tidak mau ada beberapa pihak yang juga terseret.

Ada kalanya kita sebagai penikmat sepakbola layar kaca yang menonton pertandingan didampingi kopi saset dan rokok di jari untuk mengingat kembali penggalan lirik “Judi”, lagu raja dangdut Rhoma Irama.

Judi, Menjanjikan kemenangan. Judi, Menjanjikan kekayaan. Bohong, Kalaupun kau menang Itu awal dari kekalahan. Bohong, Kalaupun kau kaya Itu awal dari kemiskinan.

(IE)

Komentar