Peran Polisi dan Media dalam Memberantas Match-Fixing

Cerita

by Dex Glenniza

Dex Glenniza

Your personal football analyst. Contributor at Pandit Football Indonesia, head of content at Box2Box Football, podcaster at Footballieur, writer at Tirto.ID, MSc sport science, BSc architecture, licensed football coach... Who cares anyway! @dexglenniza

Peran Polisi dan Media dalam Memberantas Match-Fixing

Ada banyak pihak yang berperan pada kasus-kasus match-fixing (pengaturan pertandingan) di dunia. Secara umum administrator kesebelasan (manajer, pelatih, presiden kesebelasan, dll), pemain, dan wasit adalah aktor utama pengaturan pertandingan.

Namun ada pihak yang mengatur mereka untuk “bermain”, seperti runner, bandar, dan lain sebagainya. Orang-orang yang terlibat bisa bermacam-macam, bahkan sampai kepada pejabat federasi.

Pemberantasan pengaturan pertandingan ini biasanya dibongkar oleh pengaku (whistleblower) yang bisa saja pemain atau bandar. Sementara itu sebenarnya match-fixing juga bisa masuk ke ranah pidana, karena merupakan penipuan dalam jumlah besar (semua penonton tertipu), sehingga polisi juga bisa berperan. Media kemudian meramaikannya, bahkan tak sedikit juga yang ikut investigasi.

Pada kasus Luciano Moggi (pejabat FIGC; federasi sepakbola Italia) yang terlibat calciopoli, polisi lah yang pertama kali menginvestigasi gangster Camorra yang awalnya diduga mengatur pertandingan kepada beberapa pemain.

Temuan polisi tersebut kemudian diberikan kepada FIGC sebagai PSSI-nya Italia. Namun mereka tak melakukan apapun selama berbulan-bulan, sampai kepolisian membocorkan transkrip investigasi kepada jurnalis.

Setelah itu semua ramai di media, federasi baru mulai melakukan investigasi lanjutan kepada Moggi, yang akhirnya membuat Moggi terbukti melakukan korupsi. Dalam laporan resmi, kepolisian lah yang disebut sebagai pendeteksi, karena itu memang sudah tugas mereka.

Dalam penyelidikan seperti ini, banyak pihak bisa berperan. Namun secara umum jika mereka ingin publikasi besar, mereka akan membeberkannya ke media. Untuk itu lah ada tiga kategori peran media di sini, berdasarkan Declan Hill (peneliti dan jurnalis yang mengkhususkan diri kepada match-fixing):

  • Investigasi media, di mana jurnalis juga ikut andil dalam menginvestigasi kasus.
  • Pengakuan pelaku, di mana para pelaku mengaku kepada media.
  • Pengakuan pihak luar, di mana pihak luar yang mengetahui hal tersebut mengaku kepada media.

Menurut data yang dikumpulkan oleh Hill dalam bukunya yang berjudul The Insider’s Guide to Match-Fixing in Football, sebanyak 42% kasus pengaturan pertandingan dideteksi oleh polisi. Berikutnya ada peran media dan dari pengakuan pelaku yang sama-sama berkontribusi kepada 18% di antaranya.

Sementara itu sangat sedikit kasus pengaturan pertandingan yang dideteksi oleh federasi (hanya satu dari 137 kasus). Dari temuan ini, kita sama-sama tahu jika ingin pengaturan pertandingan dibongkar, kita tidak bisa mengandalkan federasi.

Sebaliknya, kepolisian dan media adalah mereka yang menjadi ujung tombak. Program televisi seperti Mata Najwa adalah salah satu jenis deteksi yang dilakukan oleh media. Apalagi pada acara tersebut juga banyak pelaku yang mengaku.

Rendahnya deteksi federasi ini bukan hanya ditunjukkan oleh PSSI atau FIGC, bahkan oleh UEFA sekalipun sebagai konfederasi sepakbola benua Eropa.

Seorang pejabat UEFA yang tidak disebutkan namanya mengaku kepada Hill soal rendahnya deteksi dari federasi ini: “Aku harus mengulangi jika ada perbedaan besar antara mengetahui sesuatu dengan melakukan sesuatu. Ada banyak hal yang aku ingin katakan, tapi aku tak bisa. Kalau aku mengatakannya, para pengacara akan membunuhku.”

Memang media atau jurnalis tidak bisa sembarangan membocorkan kasus pengaturan pertandingan. Peter Limacher, seorang pengacara Swiss, pernah berbicara off-the-record kepada jurnalis. Akan tetapi pembicaraan itu malah dipublikasikan, akhirnya itu membuat sang jurnalis dipecat dan dituntut oleh kesebelasan yang sedang diinvestigasi.

Sebaliknya, para pelaku pengaturan pertandingan juga tak bisa (atau tak mau) mengaku seenaknya karena mereka bisa terkena sanksi dan keamanannya terancam.

Dragisa Pejovic, seorang pemain Serbia, pernah mengaku kepada FIFPro (organisasi pesepakbola profesional) jika ada praktik match-fixing yang marak di Serbia. Hal yang terjadi malah otoritas Serbia melakukan investigasi kriminal kepada Pejovic serta memberikannya sanksi seumur hidup, padahal maksud Pejovic baik.

Kasus di atas secara tak langsung menunjukkan jika federasi juga sama-sama korup. Pejabat UEFA yang tak disebutkan namanya, kembali mengaku kepada Hill:

“Jujur saja, kadang mereka (federasi) adalah masalahnya! Pada banyak kasus liga dijalankan oleh federasi, dan liga dimainkan oleh pihak klub-klub. Jadi ada konflik kepentingan di sana.”

Semua hal di atas menunjukkan jika orang yang mengaku (whistleblower) harus dilindungi. Mereka yang mengaku, meski bersalah, harus dilindungi dan difasilitasi. Dalam hal ini, khusus kasus di Indonesia, Menpora Imam Nahrawi berani menjamin.

Whistleblower kalau mau kooperatif bisa melalui Kemenpora, selama benar-benar kooperatif dan mau menyelesaikan,” kata Imam Nahrawi.

“Di mana-mana, untuk kasus-kasus seperti ini, peran whistleblower itu sangat penting. Di luar negeri pun pengungkapan kasus-kasus seperti ini selalu melibatkan whistleblower. Kalau mau bantu negara membersihkan, ayo. Kalau mau katakanlah memperbaiki diri, dengan ikut membersihkan, katakanlah semacam cuci dosa, ayo,” katanya.

“Kemenpora mendukung langkah strategis memberantas mafia pengaturan pertandingan demi terwujudnya kompetisi sepakbola Indonesia yang sehat, bersih, dan profesional,” kata Imam Nahrawi.

Maka dari itu mulai sekarang, jika ada yang ingin mengaku, baik dari pelaku maupun pihak luar, tak usah ragu lagi. Keselamatan kalian bisa dijamin. Dengan begitu mafia bola (dan mafia olahraga lainnya) bisa diberantas, setidaknya di Indonesia, karena ternyata praktik ini sudah menjadi global.

Komentar