Guru di Sekolah Sepakbola

Backpass

by Redaksi 43

Redaksi 43

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Guru di Sekolah Sepakbola

Hanya SC Freiburg yang mendapat pengakuan luas sebagai pemilik akademi sepakbola terbaik di Jerman tanpa memiliki akademi sepakbola. Freiburg menjalankan sistem pembinaan pemain muda yang berbeda dengan kesebelasan-kesebelasan lain di Jerman. Mereka tidak memiliki Talentschmiede, tetapi Fussballschule.

Dalam bahasa Indonesia, Fussballschule berarti sekolah sepakbola. Sekolah dulu, baru sepakbola, begitulah Freiburg menjalankan sekolah sepakbola mereka yang namanya tidak banyak aksi: Fussballschule. Melalui Fussballschule, Freiburg menjalankan tujuan yang lebih besar dari sekedar menciptakan pemain sepakbola profesional: mencetak manusia yang memiliki kualitas pemain sepakbola profesional lewat sekolah.

Karena sepakbola berada di urutan kedua setelah sekolah dalam daftar prioritas Freiburg, para pelatih di Fussballschule juga diharuskan memiliki kualifikasi yang diakui untuk menjadi guru. Di lapangan mereka pelatih. Di luar lapangan, termasuk di dalam bus menuju tempat pertandingan (di Fussballschule belajar tidak terbatas di kelas saja), mereka adalah guru yang selalu siap membantu setiap kesulitan belajar yang dialami murid Fussballschule.

Bahkan Christian Streich, pelatih kepala kesebelasan utama Freiburg, juga memiliki kualifikasi seorang guru. Pendidikan menduduki posisi penting dalam pandangan Streich. Kepada Stuart James dari The Guardian pada 2013 ia berkisah mengenai kunjungannya ke Aston Villa, kesebelasan yang memiliki pandangan berbeda dengan Freiburg.

“Ketika saya pergi ke Aston Villa delapan tahun lalu, saya memberi tahu mereka bahwa para pemain kami, dalam kelompok usia di bawah 17, 18, dan 19 tahun, belajar di sekolah selama 34 jam sepekan. Mereka berkata, ‘tidak, Anda pembohong, itu tidak mungkin dilakukan, para pemain kami belajar selama sembilan jam saja.’”

“Tidak, saya tidak berbohong,” kata Streich.

“Itu tidak mungkin, tidak ada yang bisa berlatih sambil belajar selama 34 jam,” balas salah seorang staf dari Aston Villa yang tidak Streich sebutkan namanya.

“Tentu bisa. Dan apa yang Anda lakukan terhadap para pemain yang, selama tiga tahun sejak usia 16 hingga 19 tahun, hanya menjalani sembilan jam sekolah sepekan?”

“Mereka harus berusaha menjadi pemain profesional atau sama sekali tidak menjadi apa-apa. Mereka harus mengambil keputusan.”

“Tidak, kami tidak dapat melakukan itu di Freiburg. Itu salah. Kebanyakan pemain di akademi kami tidak bisa menjadi pemain profesional, mereka harus mencari pekerjaan. Sekolah adalah hal paling penting, setelahnya baru sepakbola.”

Di Inggris, mengedepankan sepakbola ketimbang sekolah adalah hal biasa. Sejak muda para pemain Inggris dihadapkan kepada pilihan untuk menjadi pemain sepakbola atau sama sekali tidak menjadi apa-apa. Tidak sedikit yang kemudian gagal dan mengalami kesulitan hidup karena tidak mengenal dunia selain sepakbola. Situasi semacam inilah yang Freiburg hindari.

“Kami memberi para pemain peluang terbaik untuk menjadi pemain sepakbola. Namun di sini kami memberi mereka dua pendidikan. Jika 80% dari mereka tidak dapat bermain di kesebelasan profesional, kami harus memperhatikan mereka. Para pemain yang bermain di sini, kebanyakan dari mereka melanjutkan pendidikan ke tingkat tinggi. Dan kalaupun mereka tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi [karena lebih memilih untuk menjadi pemain sepakbola], kami tetap membutuhkan pemain yang cerdas di lapangan,” ujar Streich.

Menempatkan sekolah di atas sepakbola tidak berarti kualitas sepakbola yang ditawarkan di Fussballschule buruk. Buktinya Fussballschule tetap berhasil empat kali menjuarai kompetisi usia muda dalam rentang waktu sepuluh tahun sejak tahun 2003. Menempatkan sepakbola di bawah sekolah tidak berarti Freiburg tidak memperhatikan kualitas pembinaan sepakbola.

Malah, mereka sangat memperhatikannya. Freiburg, soal pembinaan pemain muda, selangkah lebih maju dibanding kesebelasan-kesebelasan lain di Jerman. Freiburg bahkan melangkah lebih dulu dari Deutscher Fussball-Bund (DFB, asosiasi sepakbola Jerman). Pada 2000 Freiburg mengeluarkan 10 juta euro untuk membangun sebuah stadion kecil dan tiga lapangan untuk Fussballschule.

Talentfoerderprogramm (program pengembangan bakat muda DFB yang dijadikan acuan banyak negara termasuk Inggris), sementara itu, baru dimulai pada 2003. Sebelum DFB menanamkan ke seluruh penjuru negara arti penting infrastruktur kelas satu dalam pembinaan pemain muda, Freiburg sudah menyadari dan membangunnya walau menurut mereka sepakbola tidak lebih penting dari sekolah.

Komentar