Sepakbola Madiun yang Begitu-begitu Saja

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Sepakbola Madiun yang Begitu-begitu Saja

Oleh: Pandu Dewanata*

Lahir dan besar di Kota Madiun setidaknya membuat saya “haus” akan tontonan sepakbola yang ditampilkan oleh tim luar kota maupun luar negeri. Ketika saya coba merenungkan dan diskusi dengan rekan sejawat mengapa sepakbola di daerah asal saya ngono-ngono wae atau begitu-begitu saja, jawaban yang kami dapat mungkin karena daerah kami dapat dikategorikan sebagai kota kecil. Berada di bagian barat Provinsi Jawa Timur dan berjarak sekitar 165 kilometer dari Surabaya membuat daerah kami minim industri.

Meskipun Madiun juga ditempati industri kereta api, pabrik gula, maupun industri skala kecil-menengah lainnya, akan tetapi relatif minim jika dibandingkan dengan Surabaya yang dapat dikatakan sebagai kota industri dan berkarakter urban. Lalu apa hubungan antara perkembangan sepakbola dengan karakter sebuah daerah? Tentu terdapat kaitan erat antara perekonomian suatu daerah dengan antusiasme masyarakat menonton pertandingan sepak bola. Ambil premis sederhana, apabila pendapatan masyarakat di suatu daerah rendah, apakah tertarik membeli tiket pertandingan kesebelasan lokal?

Keadaan Madiun tidak dapat disamakan dengan Surabaya, Bandung, maupun Jakarta, yang memiliki daya beli relatif lebih tinggi dibandingkan Madiun dan ditunjang oleh fanatisme suporter. Ambil contoh Persebaya, dilansir dari Emosi Jiwaku (EJ), selama putaran pertama jumlah penonton yang hadir di Stadion GBT sebanyak 247.878! Harga tiket pertandingan kandang Persebaya untuk kategori fans seharga Rp 50.000 sedangkan kategori super fans seharga Rp 250.000! Cukup mahal untuk masyarakat Madiun kalau ‘cuma’ buat nonton pertandingan sepak bola.

Keengganan untuk Mendukung Tim Lokal

Dalam kancah persepakbolaan nasional, salah satu klub pendiri PSSI adalah PSM Madiun (Madiun Voetbal Bond). Sayangnya klub ini mati suri dan beberapa tahun terakhir tidak mengikuti kompetisi Liga 3. Representasi Madiun dalam kompetisi sepak bola nasional untuk saat ini adalah Madiun Putra FC (MPFC) yang mulai mengikuti kompetisi Divisi II Liga Indonesia Musim 2009/10 setelah merger (baca: membeli lisensi) dengan 007 FC Bandung dan berhasil promosi ke Divisi I. Dengan cepat, MPFC berhasil promosi ke Divisi Utama Liga Indonesia Musim 2011/12, dan pada akhirnya terdegradasi dari Liga 2 musim lalu.

Antusiasme masyarakat Madiun pun tidak terlalu tinggi. Pengalaman saya pada dua tahun awal (2009 & 2010) penonton pertandingan MPFC relatif banyak, meskipun tidak pernah penuh. Mengapa? Karena harga tiket pertandingan pada saat itu masih ada pada kisaran harga Rp 10.000-Rp. 15.000! Namun penonton berangsur-angsur berkurang setelah MPFC berlaga di kompetisi Divisi Utama, mengapa? Harga tiket naik pada kisaran harga Rp 20.000-Rp 25.000. Tiket pertandingan yang sold out, sependek pengamatan saya, hanya terjadi pada pertandingan MPFC vs Persebaya pada kompetisi Liga 2 musim lalu. Pada saat itu Stadion Wilis Kota Madiun ‘diinvasi’ oleh Bonek yang datang dari Surabaya dan berbagai kota/kabupaten di Jawa Timur, termasuk Madiun. Tiga perempat stadion dipenuhi oleh penonton berbaju hijau, sedangkan suporter MPFC (yang tetap loyal mendukung) tidak mengisi satu tribun penuh. Bahkan saya bersama rekan-rekan menonton pertandingan tersebut menggunakan jersey Persebaya dan menyanyikan chant mendukung Persebaya!

Tentu sah-sah saja seseorang mendukung tim sepakbola dari kota lain meskipun kotanya memiliki kesebelasan. Saya sendiri misalnya, mendukung Persebaya sejak tahun 2004 pada saat duduk di bangku sekolah dasar, jauh sebelum MPFC bermain di divisi II. Atau beberapa teman saya yang memilih menjadi pendukung Arema Malang. Karena kedua klub tersebut menjadi representasi sepak bola Jawa Timur sejak kompetisi Perserikatan dan Galatama.

Saya tidak merasakan MPFC sebagai kesebelasan yang merepresentasikan diri saya sendiri, karena tidak ada ikatan emosional antara saya (atau teman-teman saya) dengan MPFC. Ditambah MPFC sendiri tidak memiliki prestasi yang ‘wah’ apabila dibandingkan dengan Persebaya maupun Arema. MPFC sendiri belum pernah juara—setidaknya kompetisi Divisi I atau Divisi II—dan belum pernah promosi ke divisi teratas. Sehingga belum ada rasa kebanggaan untuk mendukung MPFC.

Generasi saya maupun adik-adik saya hanya merasakan Madiun sebagai ‘daerah penonton sepakbola’ meskipun memiliki stadion yang relatif bagus. Tak jarang banyak kesebelasan yang menjadikan Madiun sebagai home base sementara. Kota Madiun pernah dijadikan sebagai home base oleh Persekabpas Pasuruan, pada saat mengarungi kompetisi Divisi Utama musim 2005/2006 hingga separuh musim 2006/07. Atau Persis Solo yang menggunakan Stadion Wilis untuk beberapa laga kandang terakhir di kompetisi Liga 2 2017/18. Sehingga tidak jarang kalau daerah kami ‘diinvasi’ oleh suporter-suporter dari luar kota, dan kultur yang terbentuk adalah menonton dan mendukung klub sepakbola dari daerah lain.

Harus Ada Perbaikan Menyeluruh

Kalau ingin melakukan perbaikan sepakbola di Madiun, atau mungkin daerah-daerah lain, tidak dapat menjadikan rendahnya antusiasme masyarakat sebagai satu-satunya faktor. Rendahnya antusiasme masyarakat Madiun akan sepak bola tidak berdiri sendiri, ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi. Perlu ada perbaikan-perbaikan pada faktor-faktor lain.

Menurut Brenda G. Pitts & David Kent Stotlar dalam buku Fundamental of Sport Marketing (2002) terdapat delapan faktor yang mempengaruhi industrialisasi, pertumbuhan, dan kemajuan sebuah olahraga, antara lain: (1) Sport activities & events atau Sportive Organizations; (2) Human; (3) Sport Media; (4) Sport Goods; (5) Sport Facilities; (6) Commercialisation and marketing; (7) Professional Services Enterprises; dan (8) Education. Sependek pengamatan saya penyelenggaraan kompetisi sepakbola lokal (tingkat junior atau amatir) belum rutin, sehingga jangan heran kalau pemain lokal tidak merasa termotivasi untuk meningkatkan skill. Dalam jangka panjang jangan berharap ada peningkatan fasilitas olahraga dari pemerintah maupun pengelolaan persepakbolaan yang profesional dari swasta. Kedua stakeholders tersebut—pemerintah dan swasta—besar kemungkinan tidak mau mengambil resiko untuk mengeluarkan biaya demi membantu pengembangan sepakbola jika aktivitas sepakbola masih sepi.

Andai Madiun sudah mampu melengkapi kedelapan faktor tersebut dengan standar yang baik, saya pikir gairah persepakbolaan akan meningkat dan tidak begitu-begitu saja. Tentu tidak ada jalan instan dan mudah untuk mewujudkannya. Bagi saya membentuk sebuah klub sepak bola tanpa ditunjang kedelapan faktor tersebut akan membuat klub tersebut terjebak pada stagnasi. Berprestasi tidak, menghasilkan profit pun tidak.

Jika melengkapi kedelapan faktor tersebut dianggap sebagai hal yang muluk-muluk, menurut saya cukup faktor pertama (Sportive Activities & Events), kedua (Human), dan kedelapan (Education) yang harus dipenuhi untuk mengasah bakat pemain junior lokal. Setidaknya putra-putra daerah Madiun dapat mengembangkan diri sebagai pemain sepak bola, meskipun harus melanjutkan karier di luar Kota Madiun. Semoga tidak begitu-begitu saja.


*Penulis merupakan Sarjana Hukum dari Unpad sekaligus pencari kerja dan penikmat sepak bola. Dapat dihubungi lewat akun Twitter dan Istagram: @pdewanata32

**Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis melalui kolom Pandit Sharing. Segala isi dan opini yang ada dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis

Komentar