Akhir dari Bursa Transfer

Editorial

by Redaksi 46

Redaksi 46

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Akhir dari Bursa Transfer

“Setia” adalah sifat langka yang dimiliki oleh pesepakbola. Hampir sulit bagi seorang pesepakbola untuk berdiam di satu tempat dalam waktu yang lama. Ada banyak hal yang membuat mereka mengingkari, atau bahasa sederhananya: “pergi”.

Hari ini, atau pada 31 Agustus, biasanya menjadi hari terakhir bursa transfer musim panas sejumlah liga di Eropa. Hari ini didaulat menjadi hari pembuktian atas sebuah kesetiaan.

Ada banyak hal yang membuat kesetiaan di sepakbola adalah sesuatu yang rumit. Pasalnya, baik pemain maupun kesebelasan bisa sama-sama saling mengkhianati. Pemain akan pergi saat ada tawaran yang lebih bagus, sementara pemain akan ditendang saat bermain tak sesuai harapan.

Salah satu contohnya di Liga Inggris, Manchester United memiliki lima pemain berstatus “One-Club Men”. Mereka yang pensiun di era Premier League ada tiga orang: Ryan Giggs, Gary Neville, dan Paul Scholes. Hal ini berbanding terbalik dengan Chelsea yang cuma punya dua pemain berstatus “One-Club Men” dan tidak ada dari mereka yang pensiun di era Premier League.

Chelsea di era kejayaannya seperti saat ini, bukanlah kesebelasan yang kelewat menghargai para pemain yang sudah lama bermain. Wajar rasanya kalau sang pemain, saat ada kesempatan, akan pergi ke tempat lain meskipun merasakan kejayaan di dalamnya.

Hal berbeda terjadi pada Manchester United di mana Neville lebih memilih berhenti ketimbang membela kesebelasan lain. Pun dengan klub itu sendiri di mana mereka bahkan memasukkan Scholes dan Giggs ke dalam staf kepelatihan saat keduanya pensiun.

Lantas faktor apa saja yang membuat kata “setia” itu langka di sepakbola?

Pemain yang Punya Ambisi

Anda mungkin merasa kalau Giggs, Scholes, dan Neville, menjadi One-man club karena mereka beruntung sejak awal bermain di Manchester United yang saat itu tengah merajut kejayaan.

Tentu, tak semua pemain seperti ketiga pemain itu. Banyak dari mereka yang memulai karier di kesebelasan semenjana.

Merupakan sesuatu yang normal kalau pesepakbola punya ambisi yang tentu tak akan ada habisnya. Saat berhasil juara di kompetisi domestik, ingin meraih gelar juara liga antarnegara. Setelah juara, ingin dipanggil ke timnas. Belum lagi sejumlah ambisi titel pribadi.

Ambisi ini yang membuat sejumlah pesepakbola memutuskan untuk hijrah. Tentu, selain prestasi, ada ambisi yang tak bisa disepelekan: materi. Memang ada pesepakbola yang pindah untuk mengejar prestasi, tapi tak sedikit juga yang ingin cepat-cepat pergi karena mencari pundi-pundi.

Beberapa pesepakbola dianggap sebagai “pengkhianat” karena pergi demi materi. Namun, ketahuilah kalau di sepakbola-lah hidup mereka digantungkan. Mereka bermain bola bukan cuma mau bersenang-senang. Ada hidup yang tengah mereka jalankan, yang salah satu faktornya oleh uang.

Tak Punya Kontribusi

Sejumlah pemain terpaksa angkat kaki sebelum mewujudkan cita-cita mereka untuk pensiun hanya di satu klub. Faktor usia sampai penurunan performa, membuat mereka seperti tak berguna.

Salah satu contohnya Mario Balotelli. Anda tentu tak lupa saat tidak sedikit pengamat dunia sepakbola menyebut kalau kemampuan teknis Balotelli memungkinkan membawanya menjadi yang terbaik di dunia. Tapi, apa lacur karena kontribusinya lambat laun semakin tidak nyata.

Hal ini membuat Balo seperti bola pingpong yang dilempar ke sana kemari. Liverpool, yang membelinya dari AC Milan senilai 16 juta paun, justru kini seperti mengobral. Balo sempat dipinjam oleh AC Milan yang justru terkesan ingin dikembalikan.

Para pemain yang dianggap tak berkontribusi tidak sepenuhnya bersalah. Balotelli misalnya, mengapa ia dianggap gagal di Liverpool sementara ia pernah sukses di Inter? Atau, apa mungkin justru kesebelasannya yang tak mampu memaksimalkan bakat seorang pemain?

Perubahan Manajemen

Ini merupakan salah satu faktor kuat yang membuat pemain, yang bahkan berkontribusi sekalipun, dapat enyah dari klub. Yaya Toure misalnya. Tentu tak ada yang meragukan kemampuannya menangani lini tengah. Tapi, ia justru dirumorkan segera hengkang karena dianggap bukan “selera” pelatih baru Manchester City saat ini, Pep Guardiola.

Orang baru di dalam kesebelasan, apalagi yang punya kuasa atas banyak hal, kerap membuat segalanya berbeda. Dulu, saat masih di Chelsea, Juan Mata mungkin tak punya masalah dengan Roman Abramovich, tapi kalau Jose Mourinho berkehendak lain, Mata mesti dijual. Tak peduli sudah dua kali ia terpilih sebagai pemain terbaik Chelsea.

Kesetiaan yang pudar karena adanya orang baru menjadi faktor yang paling mengesalkan. Mereka dengan seenak hatinya datang dan mengusik segala kebiasaan yang sudah ada. Lebih parah lagi, saat ada pemain yang pergi, mereka seolah tak peduli. Padahal, pemain tersebut punya kontribusi besar yang sesungguhnya tak diketahui oleh orang baru.

***

Ryan Giggs pada akhirnya terpental dari kesebelasan yang sudah 24 tahun ia bela. Giggs sempat “selamat” dari dua periode kepelatihan (di era David Moyes dan Louis van Gaal) yang membuatnya duduk sebagai asisten pelatih.

Namun, seberpengaruh apapun Giggs dalam capaian prestasi United, ia tetap tak bisa menolak saat Mourinho memutuskan untuk membawa orang baru. Mou lebih memilih orang yang punya ide yang sama dengan dirinya agar pembangunan klub sesuai dengan apa yang menjadi kehendaknya.

Para pemain One-club man adalah sosok yang hebat. Mereka bukan cuma setia, tetapi juga berani menghadapi perubahan. Namun, bukan berarti pesepakbola yang pindah-pindah klub adalah seseorang yang buruk. Ada banyak alasan yang membuat mereka pergi, seperti ide yang mulai berbeda antara manajemen dengan dirinya, sampai terlalu banyaknya drama.

Paolo Maldini sudah berada di AC Milan sejak usia 10 tahun. Lalu, 31 tahun kemudian, ia masih berada di Milan untuk melakoni pertandingan terakhirnya.

Sebagian pesepakbola mungkin gerah memakai baju yang sama untuk waktu yang lama. Tapi sedikit di antara mereka tetap merasa nyaman karena di baju itu terselip berjuta kenangan.

Sejumlah pesepakbola bisa saja pensiun meski belum waktunya. Rio Ferdinand bisa saja pensiun di Manchester United. Meski bukan One-club man, tapi sosok Rio sudah kadung lekat dengan pertahanan United.

Rio sejatinya hanya butuh semusim lagi untuk pensiun bersama United. Namun, manajemen memberitahu bahwa kontrak Rio tak di perpanjang dengan cara yang menyakitkan: di ruang ganti usai pertandingan terakhir. Rio pun pergi tanpa salam perpisahan; tanpa tepuk tangan, tanpa tangisan. Yang mungkin menjadi alasannya untuk pindah ke kesebelasan lain dan pensiun di sana.

Saat ini, situasi menjadi serba rumit untuk pesepakbola. Di satu sisi, banyak dari mereka yang ingin menyatakan sumpah setia, tapi di sisi lain, sistem di sepakbola membuat mereka mudah pergi ke mana saja. Kepindahan pemain pun bukan lagi sesuatu yang mengharu-biru; karena justru menjadi sesuatu yang ditunggu-tunggu.

Saat seorang pemain dijual, kedua belah pihak (klub) sama-sama mendapatkan keuntungan. Pihak penjual mendapatkan balasan secara finansial, sementara pihak pembeli mendapatkan apa yang mereka ingini.

Ada banyak alasan dari kepergian seorang pemain. Banyak yang pergi karena materi, tapi tak sedikit yang pergi karena merasa segalanya tak seperti dulu lagi. Mereka pergi karena ingin lebih dihargai.

Perpindahan hanyalah bagian dari upaya menemukan kenyamanan; dari upaya mengembalikan kejayaan. Pemain yang pergi, bukan berarti mengkhianati. Selamat tinggal, bursa transfer!

Komentar