Kuyt Tahu Bagaimana Caranya Mengakhiri Karier dengan Indah

Backpass

by Redaksi 24

Redaksi 24

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Kuyt Tahu Bagaimana Caranya Mengakhiri Karier dengan Indah

Tidak banyak pesepakbola yang berhasil menandai senjakala kariernya dengan gelar juara. Meski memiliki nama besar karena kemampuannya yang mampu menghipnotis banyak pasang mata, namun itu tak menjamin pesepakbola bisa menandai akhir kariernya dengan trofi. Sehingga pesepakbola yang bisa mengakhiri karier dengan trofi juara masuk dalam kategori pemain yang cukup beruntung.

Di antara segelintir nama yang bisa meraih keberuntungan tersebut, terselip nama Dirk Kuyt. Pemain asal Belanda itu menandai akhir kariernya sepakbolanya itu dengan trofi Eredivise bersama Feyenoord Rotterdam. Ketika perburuan gelar antara Feyenoord dan Ajax memanas hingga akhir musim, Kuyt hadir sebagai pahlawan.

Pada pertandingan terakhir Feyenoord melawan Heracles, pemain yang pada 22 Juli 2017 ini tepat berusia 37 tahun itu mencetak hattrick untuk membawa timnya meraih kemenangan 3-1. Tiga poin yang sangat penting karena hasil tersebut membuat Ajax gagal mengudeta Feyenoord dari puncak klasemen, meski mereka juga menang dengan skor 3-1 atas Willem II.

Kuyt kemudian dipandang sebagai pahlawan oleh partisan Feyenoord. Maklum, itu adalah gelar juara pertama Feyenoord di kompetisi utama Belanda dalam 18 tahun terakhir. Keberhasilan tersebut juga membuktikan omongan Kuyt beberapa musim lalu saat ia memilih kembali ke Feyenoord pada tahun 2015.

Saat itu, ia berbicara kepada sebuah media bahwa satu hal yang menjadi alasannya kembali Feyenoord, yang merupakan klub masa kecilnya itu, karena ia ingin meraih gelar juara. Alih-alih mendapat apresiasi, banyak orang justru yang mencemooh. Tentu cemoohan itu bukan berasal dari para pendukung Feyenoord yang setia.

Sebenarnya wajar bila saat itu banyak yang menganggap keinginan Kuyt hanyalah harapan utopis. Sebab, sulit rasanya bagi Feyenoord kala itu untuk menggeser dominasi Ajax yang dominan dengan empat gelar beruntun yang diraih dari tahun 2011 hingga 2014, yang kemudian dilanjutkan dominasi PSV yang meraih dua gelar beruntun dari tahun 2014 hingga 2016.

Namun, Kuyt mampu membuktikan omongannya yang sekaligus membungkam cemoohan banyak orang. “Saya ingat saat saya bicara bahwa kami bisa memenangkan piala, kemudian semua orang menertawakan saya saat saya mengatakannya,” ungkap Kuyt seperti dikutip dari Reuters.

Mr. Duracell

Menelusuri rekam jejak Kuyt, pemain kelahiran Katwijk itu memulai karier profesionalnya bersama kesebelasan lokal bernama Quick Boy pada tahun 1998. Setelah itu, ia hijrah ke Utrecht, dan pada tahun 2003 ia bergabung bersama Feyenoord. Tiga musim dilalui Kuyt bersama kesebelasan asal Rotterdam itu dengan tanpa gelar .

Namun namanya cukup bersinar. Total 101 penampilan dibukukan dengan torehan 71 gol. Saat krisis keuangan mulai melanda Feyenoord, Liverpool datang untuk mengamankan talenta Kuyt. Feyenoord akhirnya setuju melepas pemain bintangnya itu ke Anfield pada tahun 2006 dengan harga 10 juta paun. Keputusan yang tepat karena di Liverpool kemampuan Kuyt semakin terasah, terlebih soal kelebihan bermain di lebih dari satu posisi.

Di Feyenoord ia banyak bermain sebagai penyerang utama, namun di Liverpool Kuyt sering ditempatkan di posisi sayap kanan. Ketika kali pertama tiba di Liverpool, Kuyt langsung mendapat ‘masalah’. Ia harus rela mendengar rekan-rekannya di tim mengeja namanya dengan pelafalan yang salah.

Ketika di Liverpool, banyak pemain yang tidak bisa melafalkan dengan benar namanya. Hal yang membuatnya harus menerangkan lebih detail kepada rekan-rekannya di Liverpool bahwa nama belakangnya memiliki rima yang sama seperti pelafalan kata `shout` atau bisa dibaca `kaot`.

Selama berkarier di Liverpool, Kuyt dikenal oleh para The Kopites, pendukung Liverpool, sebagai pemain dengan fisik yang luar biasa. Ia tidak pernah berhenti berlari, kecepatannya bahkan membuat Rafael Benitez, pelatih Liverpool kala itu, menyebut Kuyt dengan julukan "Mr. Duracell". Rafa menilai kalau Kuyt seperti mesin yang selalu berlari di sisi lapangan.

Kebugarannya memang terbilang sebagai yang terbaik. Saat sesi latihan lari di Melwood, Kuyt pasti bisa mengalahkan rekan-rekan satu timnya. Hal yang kemudian ia peragakan juga di arena pertandingan. Hebatnya stamina Kuyt tidak hanya diakui oleh Rafa dan rekan-rekannya di tim. Leighton Baines, bek sayap kiri Everton yang sering berduel dengan Kuyt kala derby Merseyside, mengakui kalau berhadapan dengan Kuyt ibarat mimpi buruk.

Hal senada juga diutarakan oleh Farnk Lampard. Menurutnya, Kuyt bukan pemain yang hebat secara kasat mata, tapi dia bisa membuat pemain sayap sekelas Ashley Cole terpojok di sisi lapangan tanpa bisa berbuat apa-apa.

"Anda akan melihat Kuyt dan berpikir ‘dia bukan pemain hebat ‘ tapi dia bisa membuat Ashley Cole terpojok di sisi lapangan, dan dia (Kuyt) tidak akan pernah membuat Cole keluar dari kesulitan," terang Lampard kepada Sportsmail.

Perangai yang Menyenangkan

Kuyt adalah pemain yang punya ambisi besar untuk membawa timnya juara. Feyenoord bisa menjadi contoh. Namun ketika di Liverpool, ia gagal memenuhi keinginannya itu. Hanya satu gelar yang berhasil didapatkannya, itu pun di ajang Piala Liga pada tahun 2012. Sebenarnya, ia hampir membawa Liverpool juara di Liga Champions 2007. Sayang drama final 2005 di Istanbul gagal terwujud, karena AC Milan berhasil membalaskan dendamnya.

Meski begitu, Kuyt adalah sosok krusial di dalam tim, perannya selalu dibutuhkan oleh tim. Ia tidak pernah absen dalam pertandingan penting. Selain itu, Kuyt juga merupakan pemain yang berjiwa besar. Salah satu jurnalis Inggris, Dominic King, pernah merasakan bagaimana kebesaran hati seorang Kuyt.

Pada tahun 2010, saat Liverpool kalah 1-2 dari Blackpool tidak ada seorang pemain pun yang bisa diwawancara oleh para wartawan. Namun, sebelum Kuyt pergi ke Amsterdam, Dominic mendapat telepon dari Kuyt dan memintanya untuk menulis permintaan maafnya kepada semua pendukung.

“Saya sedang bekerja di Liverpool Echo saat itu. Dia menelepon dan menginginkan sebuah kalimat halaman belakang. `Tolong beritahu semua orang bahwa kami mohon maaf atas apa yang telah terjadi`," tulisnya seperti dikutip dari Daily Mail.

Pada tahun 2012, ia kemudian hengkang ke Fenerbahce, Turki. Sebelum hijrah Kuyt banyak menghabiskan waktunya di bangku cadangan, karena mungkin usianya yang sudah tak lagi muda. Setelah tiga musim membela Fenerbahce, ia kemudian kembali ke Fenerbahce dan menutup kariernya sebagai pesepakbola dengan gelar juara pada akhir musim 2016/2017 bersama Feyenoord.

Komentar