Anomali DNA Juara Argentina

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Anomali DNA Juara Argentina

Dikirim oleh: Gregorius Dimas Bramantyo

Argentina selalu diberkahi dengan limpahan pemain dengan talenta luar biasa. Namun, pada kenyatannya kejayaan seolah enggan untuk menyambangi mereka lagi. Meski tercatat sudah dua kali menjuarai Piala Dunia (1978 dan 1986) serta meraih trofi Copa America sebanyak 14 kali, La Albiceleste kini seolah puasa gelar di pentas internasional.

Setelah era Mario Kempes dan Diego Armando Maradona, Argentina seolah belum menunjukkan tajinya lagi di kompetisi internasional. Dengan sederet mega bintang yang pernah membela panji tim nasional seperti Ariel Ortega, Fernando Redondo, Juan Sebastian Veron, hingga Lionel Messi, tampaknya masih belum cukup untuk menjawab ekspektasi.

Ketika kota Santiago menjadi tempat penyelenggaran final Copa America pada tanggal 4 Juli nanti, maka hari itu akan tepat 22 tahun ketika Gabriel Batistuta menerima throw-in dari Diego Simeone, kemudian mengecoh pemain Meksiko, Raul Gutierrez, dan selanjutnya menendang bola dengan kaki kirinya ke pojok gawang Meksiko yang dikawal Jorge Campos. Itu adalah gol yang membuat Argentina merajai benua mereka. Gelar juara tersebut juga merupakan gelar terakhirLa Albiceleste di kejuaraan internasional.

Tidak ada yang menyangka bahwa tujuh gelaran Copa America dan enam Piala Dunia selanjutnya Argentina kekeringan trofi. Mereka boleh saja menjuarai Piala Dunia U-20 sebanyak lima kali dan meraih medali emas Olimpiade sebanyak dua kali. Klub-klub Argentina juga telah menjuarai Copa Libertadores sebanyak delapan kali. Namun, tim nasional senior mereka mengalami musim kemarau yang panjang dalam kejuaraan internasional pasca 1993, lebih lama dari Arsenal.

Semua upaya pembenahan telah dilakukan oleh Gerardo “Tata” Martino sebagai pelatih sejak menggantikan peran Alejandro Sabella.

Malu di Rumah Sendiri

Pada dasarnya, ritme sepakbola di kawasan Amerika Latin berbeda dengan di Eropa. Di Eropa, tim nasional memiliki kesempatan untuk bertanding lebih banyak dengan mengikuti kualifikasi Piala Dunia dan kualifikasi Piala Eropa, juga ditambah dengan pertandingan persahabatan.

Di Amerika Selatan juga ada kualifikasi Piala Dunia, namun selepas itu, tidak ada pertandingan resmi yang reguler selama kurang lebih satu tahun. Hanya ada pertandingan persahabatan sebelum kesepuluh tim nasional negara-negara Amerika Selatan  dan dua tim undangan saling jegal di Copa America.

Digelar hanya satu tahun setelah Piala Dunia dan juga setelah ketatnya kompetisi Eropa usai, membuat tim-tim yang datang ke Chile tahun ini  terlihat kurang siap.

Empat tahun lalu, Argentina harus memupuskan harapan untuk menjadi kampiun di rumah sendiri. Di fase grup, mereka sempat ditahan imbang dua kali oleh Bolivia dan Kolombia, kemudian melumat Kosta Rika sebelum akhirnya disingkirkan Uruguay di babak perempat final lewat adu penalti.

Hal tersebut barangkali secara tidak langsung terjadi karena terdegradasinya klub raksasa Argentina, River Plate, untuk pertama kali, serta tekanan tinggi publik Argentina terhadap pelatih saat itu, Sergio Batista, untuk memperagakan permainan indah layaknya Barcelona dan ekspektasi publik yang terlalu berlebihan terhadap tim nasionalnya untuk juara di rumah sendiri.

Pertahankan Skuad

Tata Martino sendiri mengklaim bahwa ia tidak akan megubah sebagian besar skuad Argentina di Piala Dunia lalu. Oleh sebab itu, ia tidak memanggil beberapa pemain muda potensial seperti Mauro Icardi, Paulo Dybala, dan Luciano Vetto, ketiga pemain yang tampil cemerlang musim ini bersama klubnya. Ia lebih memilih tetap menggunakan sebagian besar skuad Argentina di Piala Dunia dengan ditambah Carlos Tevez.

Martino berujar bahwa waktu untuk mempromosikan pemain-pemain muda ke skuad utama adalah selepas Copa America, meskipun tahun depan merupakan tahun yang “sibuk” bagi negara-negara di benua Amerika karena diadakannya Copa America Centenario di Amerika Serikat dengan sepuluh kontestan dari Conmebol dan enam tim dari Concacaf.

Dengan tidak dipanggilnya Mauro Icardi dan Paulo Dybala ke skuad, bukan berarti Argentina minim kreativitas di lini depan. Kembalinya Carlos Tevez ke dalam skuad untuk bergabung bersama Lionel Messi, yang sedang dalam performa on fire, Gonzalo Higuain, Sergio Aguero, dan Ezequiel Lavezzi akan membuat lini serang Argentina makin runcing.

Martino, dalam konferensi persnya, pernah mengatakan bahwa Tevez, Higuain, dan Aguero mungkin akan dimainkan secara bergantian. Implikasinya adalah bahwa Martino akan menggunakan skema favoritnya yaitu 4-3-3 dengan penyerang tengah yang akan diapit oleh Messi dan Di Maria atau Lavezzi.

Martino memiliki pilihan untuk memainkan Di Maria lebih ke dalam sebagai salah satu dari tiga gelandang seperti yang Sabella lakukan di Piala Dunia lalu. Ia bisa juga memasang Javier Pastore dan menerapkan pola 4-2-3-1 seperti yang Argentina lakukan ketika dikalahkan Portugal November silam. Namun, agaknya Martino lebih berhati-hati dalam menentukan pilihan.

Dengan segelintir pemain yang kenyang pengalaman di lini serang, keenam pemain bertipikal menyerang mungkin akan dibagi rata jatah bermainnya. Martino akan lebih memaksimalkan pemain-pemain di area pertahanan. Mungkin ia akan menaruh tiga gelandang bertipikal bertahan sehingga ada tujuh pemain bertipikal bertahan yang akan memberikan ruang pada ketiga penyerang berpengalaman tadi untuk berkreasi.

Posisi Javier Mascherano di gelandang bertahan tidak akan tergantikan, tinggal menentukan tempat untuk dua gelandang yang tersisa. Martino sempat mengagumi permainan dari pemain Valencia, Enzo Perez, namun ia sedang cedera sehingga membuat Lucas Biglia dan Ever Banega sebagai pemain yang paling mungkin menemani Mascherano di lini tengah.

Di posisi bek, Federico Fernandez telah dicoret dari skuad dan memungkinkan Martin Demichelis, yang akan melakoni pentas internasional terakhir berkostum timnas, untuk diduetkan dengan Ezequiel Garay di pos bek sentral. Marcos Rojo dan Pablo Zabaleta akan dipasang sebagai full back guna membantu serangan dan pertahanan lewat sisi sayap.

Misi Mengembalikan DNA

Martino harus sudah mempunyai formula guna mendapatkan formasi yang pas. Di laga persahabatan melawan Bolivia, beberapa pemain absen karena harus mentas di final Liga Champions. Kini, Martino akan memimpin pasukan La Albiceleste dalam kampanye mengembalikan DNA juara meski pada laga pertama mereka ditahan imbang Paraguay 2-2 di La Serena.

Agak menyedihkan jika kesebelasan yang diperkuat pemain paling moncer di kolong jagat, Lionel Messi, plus pemain-pemain level atas lainnya seperti Tevez, Aguero, Mascherano hingga Pastore, bahkan masih juga gagal di Copa America. Kalau Piala Dunia, sih, ya memang agak beda dan agak lain ceritanya.

Penulis adalah pemerhati sepakbola luar, dalam, lahir, dan batin. Beredar di twitter dengan akun @gregbramantyo

Komentar