Perayaan 25 Tahun Major League Soccer, dan Ambisi Menjadi Liga Terbaik Dunia

Cerita

by Redaksi 12

Redaksi 12

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Perayaan 25 Tahun Major League Soccer, dan Ambisi Menjadi Liga Terbaik Dunia

“I do believe in the new world media companies are going to need Major League Soccer as sport content more in the future than they have in the past” Don Garber, Komisioner MLS

Ada aroma kepercayaan diri yang sangat tinggi saat kick-off MLS musim 2020, dimana sekaligus merayakan musim ke-25 liga profesional sepakbola Amerika Serikat.

“Dalam 10 tahun mendatang, kita akan melampaui baseball dan Hoki untuk menjadi olahraga ketiga terbesar di Amerika Serikat,” ucap Larry Berg, lead managing owner di Los Angeles FC, tim juara tahun 2019 yang lalu.

“Saya melihat dalam 25 tahun selanjutnya, seluruh dunia akan menonton liga kita,” kata pelatih timnas USA, yang juga eks pelatih dan pemain di MLS.

VIDEO: Informasi terupdate sepakbola dunia



Bahkan Jorge Mas, managing owner Inter Miami FC, salah satu klub debutan MLS tahun ini lebih percaya diri, “dalam 25 tahun kalian akan melihat MLS sebagai liga terbaik dunia.”

Tentu mimpi dan hot takes di atas tidak salah dan bahkan wajar saja terucap. Tapi mari kita bedah seperti apa kemungkinan masa depan MLS dalam popularitas sepak bola dunia.

Rasa percaya diri para stakeholders dan klub-klub peserta terasa wajar karena secara jumlah tim, dalam 2 tahun ke depan MLS akan memiliki 30 tim yang berkompetisi. Angka tersebut sama dengan total franchise NBA saat ini.

Melihat musim pertama di tahun 1996 yang berjumlah 10 tim, ditambah popularitas sepakbola jauh di bawah NBA, baseball dan Hoki, maka penambahan menjadi genap 30 tim di tahun 2022 mendatang bisa dibilang pencapaian luar biasa. Terlebih di tahun tahun awal ekspansi MLS terkendala banyak hal. Pernah alami penuruan total tim yang berkompetisi di tahun 2002, kerugian di 5 musim perdana yang ditaksir sebesar 250 juta dollar, dan banyak tim yang sulit mendapat sponsorship kala itu.

Namun kepahitan MLS kala itu, sedikit tertolong oleh pencapaian timnas Amerika Serikat di Piala Dunia 2002 yang sanggup mencapai babak perempat final. Pencapaian tersebut membuat sepak bola di Amerika kembali dilirik dan dalam 3 tahun sejak 2002 MLS bisa kembali menambah tim menjadi 12, lalu kemudian pengurangan tim seperti di tahun 2002 tidak kembali terjadi.

Jika berbicara format, sebenarnya MLS hampir serupa dengan NBA. Total tahun 2020 ini ada 26 tim yang terbagi di dua wilayah (Barat dan Timur), masing-masing wilayah berjumlah total 13 tim. Selama semusim, masing-masing akan memainkan 34 laga (17 laga Kandang, 17 laga tandang). Dari 34 laga tersebut, 1 tim akan bertanding melawan tim dari wilayah yang sama home dan away dengan total 24 laga. Sedangkan 10 laga sisa akan dimainkan melawan 10 dari 13 tim dari wilayah berbeda.

Di akhir musim, 7 tim teratas masing-masing wilayah akan lolos ke babak playoff. Di sini letak perbedaan dengan NBA. Jika di liga basket, semua tim yang lolos ke playoff akan memulai laga dari first round, maka di MLS peringkat pertama setiap wilayah akan langsung lolos ke babak semifinal wilayah. Setelah itu, setiap wilayah akan memunculkan pemenang, lalu antara pemenang wilayah akan bertemu dalam laga yang bertajuk MLS Cup.

Lalu apakah dengan format itu bisa membuat tim MLS cukup punya kualitas bersaing dengan Liga-liga dunia khususnya Eropa?

Perlu diingat, secara struktur bisnis dan format liga, MLS berbeda sangat jauh dengan Eropa. Walaupun dalam hal branding dan marketing sudah (sedikit) mengikuti, contohnya dalam penamaan beberapa tim layaknya Inter Miami dan Nashville S.C, namun tim MLS masih mengusung single entity structure dimana semua tim dikendalikan oleh investor liga. Kemudian keterbatasan gaji atau salary cap, serta babak playoff dan tidak adanya degradasi. Beberapa sistem yang sangat erat dalam bisnis olahraga di Amerika itu banyak disebut sebagai salah satu obstacle terbesar MLS karena sangat berbeda dibandingkan normalnya liga sepakbola dunia, yang sudah merasakan kesuksesan.

Namun MLS justru yakin jika beberapa hal di atas merupakan ciri khas dari Amerika bahkan telah sukses diterapkan di olahraga lainnya.

Untuk permasalahan Single Entity, disebut komisioner MLS Don Garber justru membuat MLS bisa sangat fleksibel, “Jika kita punya target uang yang harus dicapai, maka kita harus melakukan ini (single-entity)” Ujar Garber. “kami memang bukan termasuk liga top di dunia, tapi kita sangat efisien dan lebih pintar tentang cara menghabiskan uang.” Tambah pria berumur 62 tahun. Yang Garber (mungkin) belum tahu bahwa beberapa tim big market butuh inovasi dalam hal mendatangkan penonton, Chicago, Dallas dan Colorado termasuk dengan jumlah penonton terendah. Hal tersebut tentu menjadi pekerjaan rumah dari otoritas liga sebagai penanggung jawab kelangsungan bisnis setiap tim.

Lalu permasalahan salary cap, pembatasan gaji per tim adalah sesuatu yang baik bagi persaingan kompetisi secara keseluruhan. “Kita ingin memastikan jika setiap tim punya kesempatan yang sama untuk bertanding di babak playoff.” Ucap Mark Abbott, Presiden MLS.

Namun melihat banyak liga di dunia tidak memakai sistem ini, maka ke depannya bagi Amerika sulit menciptakan satu tim super untuk menantang perwakilan tim Meksiko di CONCACAF Champions League, atau bahkan tim Eropa yang masing-masing liga tentu punya tim super andalan masing-masing untuk bersaing antar negara atau benua.

Kemudian masalah ketiadaan Degradasi di MLS dijawab sangat sederhana dan tajam oleh Abbott selaku presiden MLS, “investor tidak akan menanamkan uang ratusan juta dollar jika tim tersebut ada kemungkinan degradasi.”

Pernyataan tersebut ada benarnya, namun perlu diingat pada liga di Eropa, bumbu degradasi dan promosi setiap musimnya menjadi magnet tersendiri dan tentu menambah nilai pemberitaan bagi liga tersebut. Contohnya kisah Sheffield United yang baru promosi musim ini dan dengan skuad pas-pasan memiliki peluang untuk bermain di Liga Champions musim depan. MLS tidak akan punya cerita klub seperti itu.

Setelah itu pertanyaan selanjutnya, apakah tim/klub MLS mampu bersaing setidaknya dengan Liga MX terlebih dahulu?

Sejauh ini, secara finansial dan bisnis mungkin MLS masih bisa unggul namun secara prestasi jika ukurannya CONCACAF Champions League maka MLS kalah telak. Klub Liga MX selalu juara selama 14 musim beruntun, termasuk juara tahun lalu CF Monterrey. Jadi, sebelum deklarasi menantang liga-liga top Eropa alangkah lebih baik jika MLS fokus untuk mulai merebut dominasi Liga MX terlebih dahulu di kompetisi antar klub.

Namun antara MLS dan Liga MX tidak selamanya penuh persaingan, sebagai perayaan 25 tahun liga sepakbola Amerika Serikat, maka untuk pertama kalinya akan digelar laga All Star MLS vs All Star Liga MX yang akan digelar bulan Juli mendatang di Los Angeles.

Selain karena momen perayaan 25 tahun, apa yang membuat MLS semakin percaya diri ialah sosok David Beckham, dimana timnya Inter Miami resmi berkompetisi di MLS tahun 2020. Kehadiran sosok Beckham yang membangun timnya dari 0 mendongkrak pemberitaan liga MLS di berbagai media Eropa, sesuatu yang tentunya menguntungkan dari sisi branding. Terlebih eks pemain kapten timnas Inggris itu punya ambisi untuk membawa bintang Eropa untuk bermain di timnya dalam beberapa tahun mendatang.

Hak Siar dan Ekspansi MLS

Apapun rencana ekspansi berikutnya dari MLS, baik itu menambah tim, bersaing dengan Liga MX atau bahkan menyamai popularitas sepakbola Eropa, semua hal tersebut tergantung berapa uang yang bisa dikumpulkan otoritas liga. Salah satu sumber pemasukan ialah dari Media Right yang erat kaitannya dengan tayangan liga itu di televisi.

Untuk saat ini, Media right MLS dipegang oleh ESPN, Fox dan Univision hingga 2022 yang secara rata rata menghasilkan ‘hanya’ 90 juta dollar Amerika Serikat per musim untuk MLS. Jumlah tersebut masih sangat jauh jika dibandingkan olahraga lainnya di negara tersebut dimana NFL bisa menghasilkan 7 miliar dollar, dan NBA 2,6 Miliar dollar per musim hanya dari hak siar saja.

Lalu apakah setelah 2022 MLS akan mendapat kontrak hak siar yang lebih besar? Jawabannya belum tentu.

Tantangan yang perlu dijawab oleh otoritas adalah bagaimana cara meningkatnya rating di televisi yang tentunya berkaitan erat dengan jumlah penonton di televisi. Sesuai dengan pendapat konsultan sports marketing Tony Ponturo dari Ponturo Management Group.

“Pertanyaannya adalah, bagaimana caranya menaikkan broadcasting rights? Satu-satunya cara ialah jika pihak media/televisi melihat penonton MLS yang lebih banyak dari saat ini.”

Ponturo menambahkan bahwa MLS perlu lebih banyak improvisasi termasuk promosi yang lebih menarik dan bagaimana memasarkan asset tim/pemain yang mereka miliki.

Jika soal bagaimana industri olahraga memberikan hiburan, itu sudah menjadi ciri khas dari Amerika Serikat yang seringkali membuat inovasi dalam setiap tayangan olahraga. Salah satu inovasi yang dilakukan MLS ialah live interview saat pertandingan MLS All star saat 2018 lalu. Pengemasan siaran tentu bukan masalah, yang menjadi PR besar ialah bagaimana menarik banyak penonton bagi MLS ke depannya.

Pada akhirnya, ada beberapa poin untuk menjawab pertanyaan realistis kah MLS berambisi untuk menjadi liga sepak bola terbaik dunia?

Jawabannya lagi-lagi, tergantung. Semua itu tergantung bagaimana bisa MLS menaikkan standar setiap tim yang ada, mendatangkan pemain bintang, tim mereka punya prestasi di kompetisi antar negara, dan akhirnya berimbas mendapatkan huge deal hak siar yang bermanfaat bagi setiap tim di MLS itu sendiri.

Komentar