Kebijakan Transfer Efektif, Kunci Leicester City Bertengger di 4 Besar

Cerita

by Redaksi 7 Pilihan

Redaksi 7

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Kebijakan Transfer Efektif, Kunci Leicester City Bertengger di 4 Besar

Pada 2015/16, anak asuh Claudio Ranieri mengejutkan semua pihak dengan menorehkan dongeng segar di sepakbola modern. Mereka menjadi juara Premier League mengalahkan klub-klub mapan yang lain.

Sudah lima tahun sejak Leicester City secara istimewa meraih gelar Premier League dan hingga saat ini belum ada tambahan prestasi. Kisah manis yang berlangsung sejenak bak kembang api.

Ranieri yang membawa Leicester juara, dipecat ketika musim 2016/17 belum selesai. Penggantinya, Craig Shakespeare dan Claude Puel, tak mampu memenuhi ekspektasi. Di bawah dua pelatih ini, Jamie Vardy dan kawan-kawan kembali ke habitatnya: papan tengah.

Di balik dua pemecatan tiga pelatih tersebut, Leicester sejatinya tak memasang target muluk-muluk. Segenap direksi klub tentu sadar bahwa titel Premier League adalah kisah yang hampir musykil diulangi dalam waktu dekat. Namun, The Foxes juga menuntut peningkatan sesuai dengan investasi mereka. Dan peningkatan tidak terlihat di era Shakespeare dan Puel.

Di bawah Shakespeare, Leicester finis di peringkat 12. Semusim setelahnya, di era Puel, The Foxes sedikit lebih baik, meraih posisi sembilan di akhir musim. Leicester mengincar partisipasi di kompetisi UEFA dan progres yang ditunjukkan tak memuaskan.

Klub yang bermarkas di Stadion King Power ini pun kembali mengganti pelatih pada Februari 2019. Kali ini pilihan jatuh kepada Brendan Rodgers, manajer Glasgow Celtic yang meraih tujuh trofi domestik dalam waktu kurang dari tiga tahun. Ketika Rodgers meninggalkan Celtic, The Hoops sedang dalam trek yang benar untuk meraih titel Scottish Championship, unggul delapan poin atas pesaing terdekat.

Leicester berada di peringkat 11 saat eks manajer Liverpool itu datang. Di setengah musim perdana, Rodgers berhasil mengangkat performa anak asuhnya, meski tak terlalu signifikan. The Foxes finis di peringkat sembilan akhir musim 2018/19.

Pembuktian tentang kualitas Rodgers terjadi pada 2019/20, musim penuh perdananya. Jamie Vardy dan kawan-kawan mampu bersaing di zona Liga Champions hingga akhir musim. Sayangnya, mereka disalip Manchester United pada pekan terakhir.

Musim ini, anak asuh Rodgers kembali menunjukkan taringnya. Youri Tielemans dan kolega konsisten menguntit duo Manchester di peringkat satu dan dua. Premier League tinggal menyisakan dua pertandingan dan The Foxes dalam posisi bagus untuk lolos ke UCL. Hingga tulisan ini tayang, mereka berada di peringkat ketiga di bawah duo Manchester. Selain itu, Leicester juga berhasil lolos ke final Piala FA, bertanding lawan Chelsea pada 15 Mei mendatang.

Lantas, apa yang melatari progres konsisten anak asuh Rodgers dua musim belakangan? Salah satunya adalah rekrutmen cerdas. Di bawah manajer asal Irlandia Utara tersebut, Leicester mengambil kebijakan transfer yang efektif.

Pada 2019/20, Leicester menjual tiga pemain dengan hasil 88,5 juta euro. Keuntungan ini hampir seluruhnya disumbang oleh transfer Harry Maguire ke Manchester United. Pada saat bersamaan, The Foxes menggelontorkan 104,3 juta euro untuk menggaet Youri Tielemans, Ayoze Perez, Dennis Praet, serta James Justin.

Awal musim ini, Leicester kembali kehilangan pemain kunci, yakni Ben Chilwell. Chelsea menggaet bek berusia 23 tahun itu dengan biaya 50 juta euro. Mereka juga melego Demarai Gray dan Fousseni Diabate.

Sebagai ganti Chilwell, Rodgers merekrut Timothy Castagne dari Atalanta. Wesley Fofana pun didatangkan dari Saint-Etienne sebagai prospek masa depan. Di bursa transfer musim ini, Leicester mendapatkan 53,7 juta euro dan kehilangan 58 juta euro untuk belanja pemain.

Castagne dan Fofana segera menjadi pemain penting Leicester menyusul Justin dan Tielemans. Sedangkan Perez, Praet, dan pemain pinjaman dari AS Roma, Cengiz Under memberi The Foxes kedalaman skuad yang dibutuhkan.

Fofana, Castagne, dan Justin adalah buah dari departemen perekrutan baru yang dibentuk di era Rodgers. Saat pelatih berusia 48 tahun itu datang, ia membawa sejumlah stafnya dari Celtic. Staf kepelatihan yang turut serta adalah Kolo Toure, Chris Davies (asisten), dan Glen Driscoll (fitness coach). Rodgers juga memasang rekan kepercayaannya sebagai kepala perekrutan, Lee Congerton.

Congerton dan Rodgers telah bekerja sama sejak di skuad reserve Chelsea. Mereka ditugaskan untuk mengidentifikasi pemain potensial untuk dipromosikan ke tim utama. Ketika Rodgers menjabat di Celtic, Congerton turut dibawa.

Ia berhasil meneruskan fondasi kuat yang dibuat kepala perekrutan Leicester sebelumnya, Eduardo Macia. Pemandu bakat asal Portugal ini bekerja untuk Leicester sejak September 2016. Pada masanya, The Foxes berhasil mengamankan pemain penting macam Wilfred Ndidi, Harry Maguire, Caglar Soyuncu, James Maddison, Jonny Evans, dan Ricardo Pereira.

Pada era Macia, Leicester juga tak luput dari pembelian gagal. Rachid Ghezzal, Adrien Silva, dan Aleksandar Dragovic di antaranya.

Meskipun demikian, era Macia jauh lebih baik dibanding sebelumnya, terutama pada musim panas 2016/17. Waktu itu, Leicester berupaya meremajakan skuad dan mencari pengganti N’Golo Kante. Namun, pembelian klub tak efektif. Islam Slimani dan Ahmed Musa, dua pembelian termahal di bursa transfer, gagal memberi dampak berarti. Pengganti awal Kante, Namplays Mendy juga didera cedera panjang hingga klub pilih mendatangkan gelandang bertahan baru pada musim dingin, Wilfred Ndidi.

Jika mengacu manuver transfer Leicester pada empat musim terakhir, mereka amat efektif dalam perekrutan. Sejak 2017/18, melansir Transfermarkt, The Foxes menghabiskan 365,2 juta euro untuk belanja pemain dan mendapat 288,2 juta euro dari penjualan. Mereka sukses mengembangkan skuad dengan tetap menjaga arus kas.

Di lain sisi, Rodgers juga tak sembarangan melepas pemain. Para pemain senior tetap dipertahankan. Di skuad Leicester sekarang, terdapat empat pemain yang mencicipi gelar juara 2015/16, yakni Jamie Vardy, Wes Morgan, Christian Fuchs, dan Marc Albrighton. Vardy dan Albrighton masih rutin membela The Foxes. Sebaliknya, Morgan dan Fuchs jarang diturunkan.

Rodgers butuh para pemain itu untuk menjaga suasana ruang ganti. Ia berupaya menciptakan otoritas atas skuad melalui figur-figur berpengaruh tersebut. Ruang ganti yang kondusif sangat penting bagi kampanye Leicester. Pemain senior juga bisa menuntun pemain baru agar cepat beradaptasi.

“Para pemain senior sangat krusial bagi saya karena Anda tidak bisa mengikuti para pemain sepanjang waktu. Jika mereka [pemain senior] memiliki karakter yang tepat, mereka akan bantu menjaga lingkungan kerja,” kata Rodgers kepada Sky Sports.

Proyek yang dipimpin Rodgers tampak berkelanjutan. Bisakah mereka lolos ke Liga Champions musim depan? The Foxes memang dalam posisi bagus untuk kualifikasi. Namun, di tiga pertandingan terakhir, mereka harus menghadapi lawan sulit: Manchester United, Chelsea, dan Tottenham Hotspur. Anak asuh Rodgers tentu tak ingin kekecewaan musim lalu terulang.

Visi Rodgers adalah membangun tim secara gradual untuk bersaing di papan atas. Liga Champions merupakan tahap pertama yang mesti diraih. Dalam jangka panjang, ia ingin Leicester bisa menyaingi mereka yang ditahbiskan sebagai The Big Six. Sedangkan untuk jangka pendek, misinya cukup sederhana: menorehkan perkembangan, pelan tapi pasti.

“Kami membangun demi menjadi sekompetitif mungkin tanpa dukungan finansial yang membuat tim-tim itu [The Big Six] bisa mencapai level mereka. Kami akan melanjutkan perjalanan ini,” katanya.

Komentar