Kisah Para Pemain Sepakbola yang Bertempur di Perang Dunia

Cerita

by Zen RS Pilihan

Zen RS

Board of director | Panditfootball.com

Kisah Para Pemain Sepakbola  yang Bertempur di Perang Dunia

"Sepakbola bukan sekadar permainan sederhana, melainkan senjata bagi revolusi," kata Ernesto "Che" Guevara.

Pernyataan yang dikeluarkan seorang revolusioner dan gerilyawan yang sangat menggilai sepakbola ini boleh saja diperlakukan sebagai sebuah kiasan. Tapi, faktanya, sepakbola bisa dan memang pernah menjadi elemen penting dalam sebuah peperangan.

Perihal kisah-kisah bagaimana Che Guevara berinteraksi dan menggemari sepakbola, baca artikel Sepakbola dalam Hidup Che Guevara.


Apa jadinya jika ratusan pemain sepakbola profesional bergabung ke dalam pasukan tentara dan ikut berperang di garis depan Perang Dunia? Ini bukan pertanyaan khayali, tapi pertanyaan historis yang punya dasar faktualnya.

Cerita bisa dimulai dari Sir Arthur Conan Doyle, pengarang serial detektif Sherlock Holmes yang termasyhur itu. Pada 1914, tak lama setelah Inggris Raya menyatakan perang terhadap Jerman, Sir Arthur menulis: "Jika (memang) para pemain sepakbola punya tubuh yang kuat, biarkan mereka bergabung dan berbaris di medang peperangan." (Baca tulisan Sherlock Homes dan Sepakbola)

Saat itu, Perang Dunia I baru saja dimulai. Kerajaan Inggris sendiri menyatakan perang terhadap Jerman pada 4 Agustus 1914. Dan dengan segera, sejak itu, pasukan Inggris terlibat dalam pertempuran di berbagai front.

Tema sepakbola dan Perang Dunia I pernah kami tuliskan tersendiri. Di antaranya:

Sepakbola pada Perang Dunia I

Selingan Indah Sepakbola di Hari Natal Perang Dunia I


Walau Piala Charity Shield, yang biasa dilangsungkan sebagai pembuka kompetisi, tak jadi digelar karena alasan perang, toh Liga Inggris tetap berlangsung. Dan itulah yang jadi masalah yang memicu polemik panas. Publik menilai bahwa sepakbola telah begitu egoisnya sampai-sampai menafikan kondisi peperangan yang sengit dan sangat penting.

Sementara ribuan patriot Inggris sedang bertarung menyabung nyawa demi harkat bangsa dan negara, tulis seorang prajurit yang bertugas di salah satu front peperangan di Prancis dalam suratnya kepada sebuah surat kabar, "Ada ribuan pemuda bertubuh sehat malah sibuk menonton orang-orang sewaan bermain bola."

Tapi federasi sepakbola Inggris, FA, bergeming. Mereka terus melanjutkan kompetisi. Ini makin memicu kemarahan publik.

Pada November 1914, sebuah surat pembaca dikirimkan kepada surat kabar The Times yang isinya mendakwa FA sangat tidak patriotik. Si penulis menyebut bahwa kebebalan FA itu, secara tidak langsung, membuat FA telah melayani musuh-musuh Inggris.

Pada 12 Desember 1914, akhirnya dibentuklah "Batalyon ke-17 Resimen Middlesex" yang di kemudian hari lebih masyhur dikenal sebagai "Batalion Sepakbola". Batalion ini dibentuk di alun-alun Fulham dan muncul pertama kali ke hadapan publik pada 1 Januari 1915.

Frederick Wall, seorang sekretaris FA, dan Franck Buckley, pemain bertahan tim nasional Inggris, menjadi nama-nama pertama yang mendaftar menjadi anggota batalion.

Dengan segera gelombang pendaftaran para pemain sepakbola, baik pemain pro maupun amatir, dimulai. Pemain tim nasional Inggris, seperti penyerang tim nasional Inggris yang produktif Vivian Woodward pun bergabung. Kesebelasan Hearts dari Skotlandia mengirimkan sembilan pemainnya. Bahkan kesebelasan Clapton Orient (kini bernama Leyton Orient) mengirimkan semua pemainnya.

Banyak kesebelasan yang mencoba menghalangi hal ini. Mereka tak mau kehilangan pemain-pemain yang sudah dikontrak sebagai pemain pro. Tapi gelombang patriotisme agaknya tak semudah itu dibendung. Pada Maret 1915, tercatat ada sekitar 122 pemain pro yang bergabung.

Bagaimana sepakbola menyelinap dalam latar suasana perang juga terjadi di Indonesia. Simak kisahnya: Baku Tembak di Lapangan Sidolig Jelang Akhir Revolusi.


Di sini situasinya menjadi cukup menarik. Pemerintah mengerahkan sukarelawan untuk mengkampanyekan batalion ini saat turun minum di pertandingan-pertandingan liga. Harapannya, banyak suporter yang juga mau bergabung, khususnya anak-anak muda yang sehat dan kuat.

Para suporter akhirnya memang banyak yang bergabung. Salah satu motivasinya adalah agar mereka bisa berdekatan dengan para pemain pujaannya. Banyak suporter Chelsea yang bergabung karena ingin dekat dengan Vivian Woodward, penyerang andalan Chelsea saat itu.

Sepanjang sisa tahun 1914, di mana Liga Inggris saat itu dijuarai oleh Everton, para pemain dan suporter yang bergabung dengan Batalion Sepakbola menghabiskan waktunya dengan pelatihan militer. Biar bagaimana pun, walau kondisi fisik mereka sangatlah baik, tetap saja mereka harus dibekali oleh pengetahuan dan kemampuan kemiliteran.

Beberapa pemain kadang mendapatkan dispensasi pada hari Sabtu untuk bergabung dengan kesebelasan yang telah mengontraknya. Mereka bisanya berangkat Jumat sore dengan naik kereta yang digratiskan. Dan pada Sabtu petang mereka bertanding di kompetisi.

Batalion ini akhirnya berangkat ke medan perang pada awal 1915.

Kami cukup banyak menulis tema tentang sepakbola dan peperangan. Di antaranya adalah:

Suriah, Sepakbola dan Perang Saudara

Tolstoy Cup dan Sepakbola di Antara Perang dan Damai

Strategi Militer Blietzkrig yang Dipraktikkan Timnas Jerman

Pemain Brazil Hentika Perang Saudara di Nigeria

Ketika Hitler Memperalat Schalke Menghadapi Yahudi

Bermain Bola di Tengah Pertempuran Tentara Ukraina dan Rusia

Perang Honduras dan El-Salvador karena Sepakbola


Salah satu pertempuran hebat di Perang Dunia I yang melibatkan Batalion Sepakbola adalah Pertempuran Somme, nama sebuah sungai di Prancis. Pertempuran antara Inggris-Prancis melawan Jerman itu berlangsung selama empat bulan dan menjadi salah satu medan tempur paling sengit dan berdarah dalam sejarah Perang Dunia I. sekitar 1 juta orang terbunuh dan luka-luka sepanjang pertempuran ini.

Vivian Woodward, penyerangan andalan Chelsea, terkena granat tangan di paha kanannya. Cedera ini mengakhiri karir sepakbola Vivian. Selama berada di medan tempur, Vivian kehilangan kesempatan berlaga di laga final Piala FA ketika Chelsea berhadapan dengan Sheffield United yang berkesudahan 3-0 untuk Sheffield.

Begitu juga dengan Frank Buckley yang dadanya terkena pecahan peluru hingga menyerempet paru-parunya. Buckley kembali ke medan tempur pada Januari 1917 setelah sembuh dari lukanya. Sementara Evelyn Lintott, pemain bertahan Leeds United yang juga pernah memperkuat timnas Inggris, tewas pada 18 September 1915 di Pertempuran Somme. Tapi Lintott tidak tergabung dalam Batalion Sepakbola, melainkan di dalam Batalion ke-15.

Menurut catatan Buckley, sebagaimana dikkutip oleh Daily Mail, ada 500 orang anggota Batalion Sepakbola tewas selama pertempuran di Perang Dunia I.

article-0-0EBCA98600000578-493_964x694

Ada banyak keluhan terhadap kinerja Batalion Sepakbola ini. Jenderal Douglas Haig, komandan tertinggi pasukan Inggris di Front Barat, milsanya, mengeluhkan ketidakdisiplinan para pesepakbola yang menjadi tentara ini. Mereka seringkali mengantuk dan tertidur di malam hari saat bertugas karena saat jam istirahat mereka malah lebih suka berlari dan bermain bola ketimbang tidur.

Tapi tidak sedikit apresiasi yang diberikan kepada Batalion Sepakbola dari para komandan dan atasan mereka di medan tempur -- sebagaimana terbaca dalam artikel panjang nan menarik, "Football and The First World War", yang ditulis Charles Morris. Mereka dipuji karena berhasil menghadirkan atmosfir tidak biasa di medan tempur. Hobi mereka bermain bola, saat mundur ke garis belakang untuk istirahat, berhasil menjadi momen relaksasi, mengusir kejenuhan dan kebosanan dan kerap berhasil mengalihkan mereka dari perasaan kangen pada rumah (homesick).

"Semangat korps mereka sungguh menakjubkan. Utamanya ini karena sepakbola yang menghubungkan mereka ke dalam kesetiakawanan dan kebersamaan," tulis Andrew Riddoch dan John Kemp dalam buku When the Whistle Blows, mengutip kesaksian Kolonel Henry Fenwick.

Simak juga penghormatan yang diberikan oleh Jenderal Charles Harringtorn, salah seorang komandan perang tentara Inggris. Apa yang disaksikan oleh Jenderal Charles menjelaskan bagaimana sepakbola, dan ini tidak hanya berlaku bagi Batalion Sepakbola saja tapi juga terjadi di banyak pasukan yang bukan pemain bola, memperlihatkan pesona sepakbola sebagai injeksi moral di tengah berbagai kehancuran di tengah perang.

Begini kesaksian Sang Jenderal:

"Berkali-kali orang melihat pasukan yang keluar dari Ypres Salient (salah satu titik pertempuran di Belgia) dan tempat lain, mereka terlihat hancur berkeping-keping, bukan hanya karena luka-luka, tapi juga karena perasaan kehilangan melihat banyak rekan-rekannya tewas. Tapi mereka banyak yang dengan cepat menegakkan kepalanya kembali dan pulih dalam beberapa jam setelah menyibukkan diri bermain sepakbola. Ini efek yang ajaib bagi moral (yang hancur)."

Sepakbola, memang, perihal tentang kalah dan menang. Tapi sepakbola tak berhenti hanya di menang atau kalah. Sepakbola juga tentang bagaimana orang-orang, baik para pemain atau suporter, yang mesti segera bangkit dari satu kekalahan untuk menghadapi pertandingan berikutnya. Pada sepakbola, orang bisa belajar banyak mengenai hal itu, perihal hidup yang tak seharusnya dihabiskan dengan sesal dan tangisan. Sebab selalu ada hari esok, sebab pasti ada pertandingan-pertandingan berikutnya yang harus dimenangkan.

Bangun! Bangkit! Dan bertempur kembali. Lagi dan lagi.

=======================

*Diolah dari berbagai sumber

** Gambar: Daily Mail,

Komentar