Malaysia Terjangkiti Wabah Naturalisasi

Cerita

by

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Malaysia Terjangkiti Wabah Naturalisasi

Pada 2017 lalu, Federasi sepakbola Malaysia (FAM) telah bersepakat dengan tegas bahwa pihaknya tidak akan menggunakan jasa pemain hasil dari “naturalisasi murni” yang tidak memiliki garis keturunan dan tidak ada silsilah-nya sama sekali dengan Malaysia. Namun di gelaran Piala AFF 2018, terdapat satu nama Gambia yang tampil mengesankan bersama tim bentukan Tan Cheng Hoe.

Datuk Mohd Yusoff Mahadi yang menjabat wakil federasi FAM sekaligus ketua komite program naturalisasi mengutarakan jika rencana jangka pendek otoritas tertinggi sepakbola Malaysia akan terus berlanjut. Artinya, Mohamadou Sumareh, pemain berdarah Gambia tersebut bukan nama terakhir yang dinaturalisasi.

Meski tak mencetak satu gol pun dalam tujuh laga, namun kontribusinya sulit untuk dipinggirkan. Performa Sumareh di Piala AFF 2018 lalu seolah membuka pintu selebar-lebarnya bagi pesepakbola asing yang ingin membela timnas Negeri Jiran di kompetisi regional top.

Hal tersebut kian ditegaskan oleh proses naturalisasi yang kini tengah dijalani eks penyerang Kedah FA, Liridon Krasniqi, dan striker Kuala Lumpur FA, Ghuilherme De Paula, yang hampir rampung. Para pemain yang punya karakteristik menyerang jadi prioritas utama mengingat setelah era Safee Sali, Timnas Malaysia kesulitan mencari striker lokal berkualitas.

Dengan maraknya proses naturalisasi, sejauh ini telah terdaftar 15 pemain naturalisasi di Malaysia. Mereka adalah Samuel Sommerville, Darren Lok, Kiko Insa, Naxto Insa, Daniel Ting, Matthew Davies, La’vere Corbin-Ong, Khair Jones, Stuart Wark, Curran Ferns, Brendan Gans, Nick Swirad, Shazalee Ramlee, Kevin Gunter, dan Mohamadou Sumareh.

Namun hanya striker Pahang FA, Mohamadou Samareh, yang kemudian dipanggil membela Timnas Malaysia di piala AFF edisi 2018 lalu. Meski begitu, beberapa nama seperti La’vere Corbin-Ong, Kiko Insa, dan Matthew Davies punya caps yang lumayan di Timnas Malaysia. Khususnya dua nama terakhir, dengan masing-masing 6 dan 17 caps.

“Jika kami berharap kepada pemain lokal, terutama dari Liga kami, sangat sulit mencari striker bagus. Demi meningkatkan performa tim nasional, kami tidak punya pilihan lain selain memasukan pemain naturalisasi. Bukan berarti tim nasional akan diisi pemain naturalisasi, tapi kami merekrut berdasarkan posisi yang dibutuhkan,” ujar Mohd Yusoff, seperti dikutip dari Goal yang bersumber dari New Straits News.

“Kami punya tiga rencana, jangka pendek, menengah, dan panjang. Untuk saat ini, kami lebih dulu fokus ke jangka pendek. Dua pemain [Krasniqi & De Paula] yang masuk radar kami untuk naturalisasi ini memenuhi persyaratan rencana kami,” tambahnya.

Sepanjang tahun ini Malaysia seolah dilanda polemik panjang terkait kebijakan menggunakan jasa pemain naturalisasi di Timnas. Program tersebut telah membelah publik Malaysia menjadi dua kubu: yang melihat proyek naturalisasi ini dari sisi positif dan sisanya dengan sudut pandang negatif.

"Sekarang ini, semua tim sepakbola ambil pemain dari negara manapun. Sebab itu, kita lihat banyak orang putih dan hitam. Jadi kalau kita ambil, tidak apa-apa," ujar Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, dikutip dari Viva yang bersumber dari Berita Harian.

Merasa didukung oleh Perdana Menteri, Haji Mohd Amin selaku presiden FAM menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan dia merasa jika sang perdana Menteri paham betul perkembangan sepakbola nasional.

"Saya sekali lagi ingin mengungkapkan rasa haru kepada Tun Dr. Mahathir yang senantiasa menaruh perhatian terhadap perkembangan sepakbola nasional dan selalu memainkan peran positif untuk memajukan [sepakbola Malaysia]," kata Hamidin.

Meski begitu, tak sedikit yang mengecam program naturalisasi ini. Terutama kaum milenial yang kerap bersuara dan mengumandangkan kalimat sarkasnya di media sosial.

“Saya memang kurang paham bab [bagian] sepakbola, tapi hanya ingin bertanya, apakah orang Malaysia ini memang sudah tiada yang boleh main bola sampai harus ambil pemain naturalisasi? Tolong beri penjelasan sampai saya faham @FAM_Malaysia,” tulis seorang penggemar dengan akun @arashy_azhim.

“So, sepakbola Malaysia ini sangat tandus akan bakat. Sampai harus mengambil pemain naturalisasi?” Tulis @Danish_Faris97.

“Saya kesal jika pelatih Tan Cheng Hoe nanti-nya mengambil banyak pemain naturalisasi. Tapi posisi striker agak kurang. Saya rindu dengar nama Rozaimi Abdul Rahman. Dia ini kuat, sekarang main di JDT II. Saya tak sabar menunggu dia gemilang kembali. Potensi utama Malaysia hari ini,” tulis @PaanYNWA.

“Dear @FAM_Malaysia, [saya] tidak keberatan atas saran untuk menaturalisasi Mat Don dan De Paula, atau bahkan Lee Tuck untuk bermain di Harimau Malaya: tetapi harus ada rencana jangka Panjang. How can we benefited from these players for our future,” tulis netizen dengan akun @syedmh_.

Selain para netizen, mantan pemain Timnas Malaysia yang pernah beredar pada medio 1970-an, Ahmad Syed Abu Bakar, membeberkan pandangan serupa. “Kalau dulu, dalam keadaan serba sulit, kita bisa melahirkan skuat bertaraf Olimpiade, mengapa sekarang dengan segala kemudahan yang ada, kita gagal hingga hendak bergantung pula kepada pemain naturalisasi?” ujar Syed Ahmad, seperti dikutip dari Berita Harian.

“Sebagai mantan pemain saya merasa malu bila mendengar kita mau gunakan pemain asing untuk Timnas. Apakah pemain kita sangat buruk sampai harus minta tolong ke orang lain?” Tambahnya.

Sebetulnya, tak perlu banyak referensi untuk mencari sisi negatif program naturalisasi ini, kita bisa menengok timnas Singapura yang sejak 2002 mulai menggunakan jasa pemain naturalisasi di Timnas. Gagasan asosiasi sepakbola Singapura (FAS) itu mulai membuahkan hasil tatkala pada Piala AFF 2004 mereka berhasil keluar sebagai jawara setelah terakhir kali mendapatkannya pada 1998.

Ide instan ini tercipta atas urgensi memajukan sepakbola Singapura di tengah sumber daya manusia (SDM) yang terbatas, sebab dengan luas wilayah 707.1 km persegi dan penduduk sebanyak 5.5 juta jiwa menjadikan Singapura bukan lahan strategis untuk mencari bakat potensial di sepakbola.

Dengan program jangka pendek itulah The Lions menorehkan tinta emas di ajang piala AFF. Memang, keterlibatan pemain naturalisasi telah mengantarkan Singapura menjuarai ajang dua tahunan tersebut sebanyak tiga kali. Pada 2004, 2007, dan 2012. Namun setelahnya mereka limbung dan lupa akan proses pembinaan.

Oleh sebab itu, semenjak FAS berganti tampuk kepemimpinan di bawah Kim Kia Tong pada 2017 lalu, Singapura sudah jarang melakukan proses naturalisasi lagi. Mereka akhirnya sadar jika proses pembinaan lebih penting dari program instan tersebut dan mereka mengawali dengan mengubah regulasi pada kompetisi internal-nya, setiap klub wajib menggunakan pemain U-23. Selain itu dengan program bernama Young Lions dan National Football Academy, mereka telah meletakkan fondasi sepakbola Singapura untuk masa depan.

Bahkan, Singapura juga telah mempersulit izin bagi orang asing untuk mendapatkan paspor atau kewarganegaraan mereka. Sehingga pelatih Fandi Ahmad pun bisa membebaskan timnya dari kultur naturalisasi di AFF Cup 2018 dengan menggunakan 100 persen pemain lokal.

Dogma Naturalisasi di Asia Tenggara

Keterpurukan Singapura dalam beberapa tahun terakhir akibat wabah bernama naturalisasi itu tak membuat timnas lainnya berhenti menggunakan jasa pemain naturalisasi. Terlepas dari Malaysia yang tengah gencar melakukan itu, tercatat masih ada empat negara yang mempercayai tenaga pemain blasteran. Di antaranya: Filipina, Indonesia, Thailand, dan Vietnam.

Di AFF edisi 2018 ini, Timnas Filipina yang ditangani Sven-Goran Eriksson masih dihuni mayoritas pemain naturalisasi. Negara yang mengadopsi dwi-kewarganegaraan ini terus mengandalkan foreign born players seperti Neil Etheridge, Michael Falkesgaard, Stephan Palla, Daisuke Sato, Manuel Ott, serta si kembar James dan Phil Younghusband, dan masih banyak lagi.

Tak mengherankan jika The Azkals masih menganut program naturalisasi hingga saat ini. Sebab sepakbola hanya olahraga biasa di negara kepulauan ini. Filipina lebih dikenal dengan prestasi basketnya. Hal tersebut sangat mempengaruhi animo penonton yang minim di seluruh stadion yang tersebar di Filipina. Oleh karenanya, pemain naturalisasi diharapkan dapat mendongkrak prestasi untuk kemudian melejitkan pamor sepakbola di mata masyarakat.

Perlahan upaya tersebut mulai terbukti, kini Timnas Filipina bukan lagi anak bawang di panggung sepakbola Asia, bahkan mereka berhasil mencapai peringkat 122 FIFA dan tampil baik di Piala AFF 2018 serta akan bermain di Piala AFC 2018.

Agaknya pencapaian manis itulah yang membuat timnas negara lain tergiur untuk mengadopsi program jangka pendek ini. Dengan kedok urgensi, Indonesia pun masih belum bisa lepas dari naturalisasi pemain. Tim Garuda mulai melakukannya sejak AFF 2010, saat itu Cristian Gonzales jadi pemain naturalisasi pertama yang mencetak sejarah.

Hasilnya memang berdampak positif namun setelah bertahun-tahun kemudian, hal itu malah memberikan efek negatif. Baik klub dan tim nasional pada akhirnya terlalu bergantung pada bomber asing sehingga juru gedor lokal sulit berkembang dan mendapat kesempatan bermain di Timnas. Terakhir ada tiga nama lokal yakni Boaz Solossa dan Lerbi Eliandri yang mengisi striker Timnas di AFF 2016 silam serta Dedik Setiawan yang menjadi pelapis Alberto Goncalves di AFF 2018 ini.

Dengan begitu, hal ini seolah menarasikan bahwa saat ini Timnas Indonesia tengah krisis striker lokal. Ironisnya lagi, proses naturalisasi di Indonesia digunakan bukan untuk kepentingan nasional lagi, melainkan untuk mengakali regulasi pemain asing. Beberapa klub mulai getol mengurus legiun asing-nya untuk berpindah warga negara dengan tujuan bisa mendongkrak kualitas timnya saat mengarungi kompetisi level elite.

Regulasi pemain asing yang terus berubah-ubah dan kuota asing yang kian sedikit dari tahun ke tahun membuat pihak klub melakukan improvisasi. Selain klub, para pemain asing juga menginisiasi sendiri. Mereka menguber paspor Indonesia supaya bisa terus beredar di Liga Indonesia dengan status WNI. Hal tersebut diakui oleh salah satu agen pemain asing yang pendapatannya kian menurun dalam beberapa musim terakhir ini.

“Beberapa musim terakhir, penghasilan saya sebagai agen berkurang drastis karena jumlah slot maksimal dibatasi. Beda dengan era pertengahan 2000-an, di mana pasar amat luas. Tiap klub level tertinggi bisa memakai jasa 4-5 jasa pemain asing, sementara di level kedua klub bisa mengontrak 2-3 legiun impor,” kata seorang agen bernama Edy Syah Putera, seperti dikutip dari Bola.

Selain Filipina dan Indonesia, negara yang sepakbola-nya telah berkembang pesat pun tak lepas dari andil pemain naturalisasi adalah Thailand. Tim asuhan Milovan Rajevac ini membawa empat pemain blasteran ke Piala AFF 2018. Philip Roller (Thailand-Jerman), Manuel Bihr (Thailand-Jerman), Mika Chunuonsee (Thailand-Wales), dan Marco Ballini (Thailand-Italia).

Rajevac pun punya alasan tersendiri mencantumkan empat nama asing di skuatnya. Urgensi tersebut akibat dari federasi sepakbola Thailand yang mengutus tim lapis kedua untuk AFF 2018 ini sebab Teerasil Dangda dan pemain senior lain difokuskan untuk Piala AFC yang dihelat pada awal 2019.

Pun dengan sang juara AFF 2018, Vietnam. Mereka tak 100 persen murni menggunakan talenta hasil binaan. Terselip satu nama blasteran yakni Dang Van Lam di skuat berjuluk The Golden Dragons ini. Pemain berpostur 188 cm ini memiliki dwi-kewarganegaraan, Rusia dan Vietnam.

Asia Tenggara bukan satu-satunya wilayah yang terserang wabah naturalisasi yang begitu mudah ditemui. Hal ini juga kerap terjadi di negara-negara Eropa. Lihat saja bagaimana kemudahan Spanyol mengklaim Marcos Senna dan Diego Costa dari Brasil. Selain itu, ada Marco Camoranesi, Amauri Carvalho, Citadin Eder dan Jorginho sebagai pemain Italia yang punya dua kultur kewarganegaraan.

Polemik ini sudah menjadi isu internasional yang mulai jadi sorotan di lingkungan FIFA. Termasuk juga petinggi CONCACAF yang mendorong otoritas tertinggi sepakbola dunia untuk memperbaiki aturan longgar soal kewarganegaraan pemain.

“Banyak sekali permasalahan yang mencuat beberapa tahun belakangan karena dunia telah berubah. Aturan keimigrasian juga turut berubah,” ujar Victor Montagliani, presiden CONCACAF, dikutip dari Indosport yang bersumber dari Routers.

“Permasalahan kewarganegaraan semakin bertambah di seluruh dunia, salah satu yang cukup berkembang terjadi di Kawasan Asia dan CONCACAF. Jadi inilah waktu yang tepat untuk melihat kembali permasalahan ini untuk mencari jalan keluarnya, tanpa mencederai nilai integritas sebuah pertandingan,” sambungnya.

Naturalisasi adalah Wabah, Jika…

Bukan tak mungkin, program naturalisasi ini akan semakin menjalar ke negara-negara sepakbola berkembang lainnya seperti Laos, Kamboja dan lainnya. Sebab, Malaysia yang dulunya menentang keras proyek ini pun akhirnya malah gencar menggunakannya demi mempercepat prestasi sepakbolanya.

Mohamadou Sumareh tak ubahnya Cristian Gonzales delapan tahun silam. Membawa pengaruh positif untuk lini depan Tim Nasional, sebelum akhirnya naturalisasi dianggap sebagai solusi terbaik. Bahayanya, jangka pendek yang saat ini tengah dijalankan oleh FAM malah menjadi doktrin kesuksesan yang bisa mematikan pembinaan pemain usia dini di Malaysia.

Agaknya, Timnas Indonesia yang kerap mengandalkan pemain naturalisasi pun perlu belajar dari Singapura. Mereka sempat jadi raja Asia bersama proyek instannya itu -- prestasi terakhir mereka memenangkan Piala AFF edisi 2012 --, sebelum akhirnya terjerembab di peringkat 172 dunia atau yang terburuk sepanjang sejarah mereka.

Otoritas tertinggi sepakbola Singapura lupa terhadap kewajiban-nya: membina pemain muda. Dalam batas ini program naturalisasi pemain seolah jadi wabah yang membahayakan bagi negara manapun.

Meski demikian, pelatih Felda United, Bhaskaran R. Sathianathan, menampik hal tersebut. Justru dengan menghadirkan pemain naturalisasi yang bisa mendongkrak kualitas sepakbola nasional dalam hal ini timnas, akan merangsang minat anak-anak untuk berkarier sebagai pesepakbola yang mengharumkan nama bangsanya.

“Jika kami [Malaysia] terus kalah, maka anak-anak akan meninggalkan sepakbola dan kami tidak akan bisa mengembangkan pemain lokal berkualitas [di masa yang akan datang],” kata Bhaskaran R Sathianathan seperti dikutip dari Sportku yang bersumber dari New Straits Times.

“Itulah mengapa kami membutuhkan pemain yang di naturalisasi untuk membentuk tim nasional yang kuat. Orang-orang tidak akan peduli apakah mereka pemain lokal atau naturalisasi karena apa yang akan mereka lihat adalah pemain Malaysia di jersey Malaysia,” pungkasnya.

Memang di awal, program naturalisasi ini tidak terlihat seperti wabah berbahaya sebab animo masyarakat masih bagus dan pihak-pihak terkait pun masih selektif menaturalisasi pemain. Namun di samping naturalisasi, memperbaiki pembinaan pemain muda jelas tidak bisa diabaikan. Singapura dan Indonesia jadi contoh bagaimana pembinaan pemain yang dilupakan sehingga akhirnya belum bisa berprestasi dengan pemain lokal. Naturalisasi memang bisa dianggap sebagai satu kebijakan yang didasari pada ke-putus asa-an pembinaan dan program-program lain sebuah federasi sepakbola yang tidak berjalan dengan baik.

Foto: PhaPluatNet

Komentar