Apakah Pep Guardiola Bisa Sukses Jika Menangani Kesebelasan Kecil?

Cerita

by Dex Glenniza 27091 Pilihan

Dex Glenniza

Your personal football analyst. Contributor at Pandit Football Indonesia, head of content at Box2Box Football, podcaster at Footballieur, writer at Tirto.ID, MSc sport science, BSc architecture, licensed football coach... Who cares anyway! @dexglenniza

Apakah Pep Guardiola Bisa Sukses Jika Menangani Kesebelasan Kecil?

Melihat perjalanan karier kepelatihan Josep Guardiola Sala, kita mungkin seperti bercermin terhadap diri sendiri. Barcelona, Bayern München, dan Manchester City. Agak mengesampingkan di sana ada Barcelona B sebagai awal karier serta periode cuti panjang (sabbatical) pasca Barcelona, perjalanan karier Pep di atas adalah tipikal perjalanan karier yang umumnya kita jalankan juga... di gim video.

Ambil contoh paling gampang, berdasarkan salah satu penelitian di University of Southampton, saat kita bermain gim Football Manager, FIFA, Pro Evolution Soccer, atau yang sejenisnya, rata-rata kita langsung ingin menangani kesebelasan papan atas.

Padahal dalam dunia nyata, Guardiola saja memulainya dari Barcelona B, atau ada banyak manajer yang memulai karier kepelatihan mereka dari tingkat yang tidak jelas (di gim FM kita bisa memulai sebagai pengangguran atau unemployed).

Melihat tiga kesebelasan yang Guardiola latih, semuanya adalah kesebelasan top. Dengan kesebelasan top, maka kemungkinan juara juga akan semakin besar bukan?

Paradigma jika uang adalah formula kesuksesan

Mendapatkan 3 gelar La Liga Spanyol, 2 Copa del Rey, 3 Supercopa de España, 2 Liga Champions UEFA, 3 Piala Super UEFA, 3 Piala Dunia Antarklub, 3 Bundesliga Jerman, dan 2 DFB-Pokal, adalah gelar-gelar yang hanya bisa didapatkan oleh manajer super di kesebelasan super.

Kenapa dua kombinasi itu harus ada? Karena manajer super dan kesebelasan super itu adalah jodoh yang jarang tertukar. Sementara jodoh sudah ada yang mengatur.

Kita mungkin dengan mudahnya bisa bilang, kalau melatih Barcelona saat itu (saat Guardiola menjadi manajer), Alan Pardew juga bisa bikin mereka juara La Liga. Sebaliknya, kalau Pep Guardiola disuruh melatih Crystal Palace, dia juga gak akan bisa bikin Palace juara Liga Primer. Menurut saya, dua opini itu sangat sembarangan.

Tidak ketinggalan, baik Barcelona, Bayern, maupun Man City adalah tiga kesebelasan yang memiliki kekuatan finansial yang besar di dunia. Bahkan penelitian di Cankaya University juga menunjukkan jika ada hubungan yang berkesinambungan antara kesuksesan dengan kondisi finansial kesebelasan di sepakbola.

Baca juga: Hanya Ada Tiga Kesebelasan Besar di Dunia

Menurut penelitian di atas, ketiga kesebelasan yang pernah dilatih oleh Guardiola adalah tiga kesebelasan yang memiliki karakter untuk mengkapitalisasi kekuatan finansial dan popularitas. Bayern, Barcelona, dan Man City ada di tujuh teratas bersama dengan Real Madrid, Manchester United, Arsenal, dan Chelsea.

Bukan hal kebetulan juga Guardiola menghabiskan banyak uang di ketiga kesebelasan tersebut dalam hal pembelian pemain, mulai dari 350 juta paun di Barcelona, 175 juta paun di Bayern, dan sejauh ini 410 juta paun di Man City.

Ada hubungan tidak langsung dari angka-angka di atas. Ia membutuhkan uang yang jauh lebih sedikit ketika di Jerman dan Spanyol dibanding dengan di Inggris, di mana sampai hari ini (16 Desember 2017) ia belum mempersembahkan satu pun gelar bagi The Citizens. Ini artinya, secara tidak langsung ia membutuhkan lebih banyak uang karena Liga Primer lebih sulit dan lebih kompetitif daripada La Liga dan Bundesliga.

Jadi, kita sudah punya formulanya: Guardiola bisa sukses karena melatih kesebelasan besar yang didukung oleh dana yang melimpah. Lagi-lagi, kesimpulan itu juga agak sembarangan.

Tapi ternyata uang saja tidak cukup

Ada hubungan yang kuat antara kesebelasan besar, status finansial mereka, dan tingkat kesuksesannya. Tapi dua formula yang disebutkan paling awal di atas tidak akan berjalan sempurna untuk menghasilkan formula terakhir, yaitu kesuksesan, tanpa adanya seorang manajer yang tepat.

Tiga kesebelasan besar seperti Barcelona, Bayern, dan Man City, tidak akan sembarangan mempekerjakan manajer jika ia bukan manajer yang tepat. Jika formula kesuksesan memang hanya karena uang, lihat AC Milan sekarang.

Penggunaan istilah “manajer yang tepat” tidak sepenuhnya harus manajer yang hebat. Tapi kalau boleh jujur, Guardiola sudah dua kali tepat dalam memilih kesebelasan. Ia bahkan sedang dalam kali ketiga untuk disebut tepat karena memilih Man City.

Kita tidak bisa begitu saja membandingkan Pep dengan, misalnya, David Moyes. Moyes tidak sukses di United padahal United lebih besar (secara historis) dan lebih kaya (menurut penelitian di atas) daripada Man City pada saat itu.

Untuk membangun kesebelasan sukses, apalagi sukses jangka panjang, dibutuhkan modal yang besar. Kita tidak membandingkan kesuksesan warung rokok di pinggir jalan dengan supermarket barang-barang impor. Si pemilik warung rokok juga belum tentu bisa sukses jika diberikan modal sebesar pemilik supermarket, dan sebaliknya.

Ketika Sheikh Mansour bin Zayed Al Nahyan datang ke Manchester City, ia berkata: “Kami sedang membangun sebuah struktur untuk masa depan, bukan hanya tim yang berisi para bintang.” Kalimat tersebut adalah sebuah visi yang luar biasa hingga kemudian ditempel di dinding kantor Man City.

Baca juga: Kenapa Saya Harus Menjadi Suporter Manchester City?

Cristiano Ronaldo atau Lionel Messi mungkin dua pemain terbaik dunia saat ini. Namun, mereka saja tidak akan pernah bisa membawa kesebelasannya menjuarai liga. Sementara Pep bisa.

Ronaldo atau Messi tidak bisa melakukannya karena mereka hanya satu yang bermain dengan sepuluh lain melawan sebelas lawan; sementara Guardiola adalah satu yang mengendalikan sebelas mililknya dan (ini yang luar biasa) sebelas milik lawannya.

Tidak banyak pelatih seperti Guardiola. Tapi menyuruh Guardiola melatih, misalnya, Benevento, kemudian berharap kesebelasan yang berbasis di Campania itu menjuarai Serie A Italia adalah sebuah kelakar terburuk untuk seorang control freak seperti Guardiola.

Seorang teknisi IT yang sangat handal akan berkata bahwa sangat mudah baginya membobol pusat data CIA. Tapi kita tidak bisa lantas membaca “sangat mudah” tersebut dengan “karena sangat mudah, maka seharusnya biayanya murah, dong. Kan, gampang”. Eits, tidak bisa! Di situ justru letak keahlian seseorang.

**

Sebaiknya kita memakai logika yang tepat. Agak keliru jika kita berkata Pep itu mirip pengusaha sukses yang sudah kaya dari lahir. Jika demikian, lah, ente mah enak karena bapaknya ente kaya, jadi punya modal. Tapi, kan, ngapain juga sudah dapat duit warisan tapi gak mau diambil?

Mungkin ada orang seperti itu, tapi jumlahnya sepertinya sedikit sekali. Narasi lainnya adalah tidak sedikit orang yang dapat warisan lalu kemudian akhirnya miskin. Di sisi lain ada yang terlahir miskin tapi akhirnya bisa kaya raya.

Jangan lupakan juga soal dalam 10 tahun terakhir, sudah berapa manajer yang akhirnya dipecat oleh Barcelona, Bayern, dan Man City?

Apakah Pep sungguhan jago? Atau ia beruntung hanya karena menangani tiga kesebelasan besar yang punya banyak uang? Sekarang bagaimana jika dibalik: Apakah tiga kesebelasan besar tersebut mau memilih Pep jika Pep tidak jago?

Ada banyak pengandaian di dunia ini. Andaikan Pep membesit kesebelasan kecil, andaikan Moyes diberi lebih banyak waktu dan lebih banyak uang di Man United, andaikan Syeikh Mansour membeli Leeds United alih-alih Man City, dan lain sebagainya.

Kembali lagi ke pertanyaan awal, apakah Pep Guardiola bisa sukses jika menangani kesebelasan kecil? Jawabannya belum tentu. Tapi hal tersebut tak membuat lantas kita dengan enteng mengatakan Pep bukan orang yang hebat lantaran hanya bisa sukses dengan kesebelasan besar.


Sumber jurnal penelitian:

Diakses dari laboratorium sains olahraga, KK Ilmu Keolahragaan, Sekolah Farmasi, Institut Teknologi Bandung.

Komentar