Benarkah Trent Alexander-Arnold Tak Bisa Bertahan?

Analisis

by Redaksi 7 Pilihan

Redaksi 7

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Benarkah Trent Alexander-Arnold Tak Bisa Bertahan?

Trent Alexander-Arnold disegani sebagai salah satu full-back terbaik dunia tiga musim belakangan. Ia berperan krusial dalam keberhasilan Liverpool meraih gelar Liga Champions 2018/19 dan Premier League 2019/20.

Pemain bernomor punggung 66 ini menjadi bek dengan torehan asis terbanyak di Premier League dua musim beruntun. Total, sejak mendapat debut pada 2016/17 silam, ia menyumbang 42 asis untuk Liverpool.

Alexander-Arnold dipuja lebih karena kontribusi ofensifnya yang menonjol. Sebagai kreator serangan, ia adalah salah satu pemain The Reds yang paling brilian. Bahkan, ia mendapat julukan sebagai fullback playmaker di sayap kanan Liverpool.

Namun, bagaimana perannya sebagai pemain bertahan? Mitos yang umum dilekatkan kepada Alexander-Arnold adalah, dia tak bisa bertahan. Namun, benarkah demikian?

Musim buruk Liverpool dan tidak dipanggilnya sang pemain ke Timnas Inggris pada April silam kembali menguarkan isu tersebut ke permukaan. Pandit Sky Sports, Gary Neville menilai bahwa tim rawan terekspos karena Alexander-Arnold terlalu maju dan tak memiliki kemampuan bertahan yang cukup baik. Argumen itu ditopang dengan data kebobolan Liverpool dari sisi kanan pertahanan. “Dia [Alexander-Arnold] harus lebih serius tentang bertahan,” kata Neville.

Baca juga: Fabinho: Mercusuar Lini Tengah yang Dibutuhkan Liverpool

Per Whoscored, Liverpool memang lebih rentan di sisi kanan daripada kiri. Sebanyak 21% tembakan yang dihadapi The Reds berasal dari kanan, 14% kiri, dan sisanya tentu saja dari tengah. Mereka rentan kebobolan peluang dari daerah yang seharusnya dijaga Alexander-Arnold.

Akan tetapi, tanpa mengindahkan konteks, menghakimi Alexander-Arnold dengan data seperti di atas tidaklah adil. Data itu memang menunjukkan bahwa Liverpool lebih rentan terekspos dari sisi kanan. Namun, kerentanan tersebut tidak bisa dijadikan acuan untuk menilai kemampuan individual.

Pertama-tama, untuk memaknai kerentanan Liverpool, gaya main mereka perlu ditinjau. Juergen Klopp cenderung menginstruksikan full-back untuk naik ke posisi yang sangat tinggi. Andrew Robertson dan Alexander-Arnold adalah outlet kreasi peluang yang penting. Mereka aktif beroperasi di sepertiga akhir lawan.

Untuk itu, lini belakang memerlukan cover ketika full-back naik. Jika pressing lini depan berhasil dipintas, gelandang dan bek tengah wajib memberi perlindungan hingga bek sayap kembali ke daerah pertahanan.

Sayangnya, tiga pemain kunci Liverpool di pos bek tengah dan gelandang menderita cedera panjang pada musim ini. Virgil van Dijk dan Joe Gomez absen sejak paruh pertama musim. Joel Matip kemudian menyusul, begitu pula Jordan Henderson.

Absennya tiga bek senior menimbulkan masalah yang merembet. Pada 2020/21, Klopp telah memasang 20 kombinasi bek tengah yang berbeda akibat badai cedera. Eks manajer Dortmund itu juga terpaksa mengalihkan dua gelandang terbaik The Reds, Fabinho dan Jordan Henderson ke pos bek tengah.

Baca juga: Setelah Istirahat Panjang, Bisakah Liverpool Bangkit dan Rebut Empat Besar?

Hal tersebut berimbas ke Alexander-Arnold. Dalam kondisi ideal, Joe Gomez dan Henderson adalah dua pemain yang cakap menutup sisi kanan ketika full-back naik. Gomez, biasa menjadi tandem Van Dijk di sisi kanan, cepat dan sigap dalam menutup ruang.

Sementara itu, Henderson yang sebelumnya sering dipasang sebagai gelandang tengah-kanan adalah opsi terbaik The Reds untuk mengisi area yang ditinggalkan Alexander-Arnold. Di Premier League 2019/20, sang kapten adalah gelandang dengan kontribusi defensif terbaik setelah Fabinho di skuad Liverpool.

Masalah yang merembet dari krisis bek tengah membuat pertahanan Liverpool lebih rentan terekspos. Seringkali yang membuat Alexander-Arnold terlihat tampil buruk (dari perspektif defensif) adalah kegagalan kolektif untuk mengantisipasi serangan dari sayap.

Misalnya saat Liverpool dibungkam Real Madrid 3-1 pada 6 April silam. Dalam laga itu, dua dari tiga gol Los Blancos dicetak melalui serangan via sayap kiri. Satu kesalahan dibuat Alexander-Arnold dengan sapuan yang justru mengarah ke kaki Marco Asensio.

Namun, kesalahan Liverpool bermula dari pressing di sepertiga akhir yang kendur. Ini membuat Real Madrid leluasa memainkan umpan jauh. Kombinasi Vinicius Junior, Ferland Mendy, dan Karim Benzema pun membuat sisi kanan keteteran. Naby Keita, sebelum diganti pada menit ke-41, tak sigap turun membantu pertahanan ketika Alexander-Arnold dan Nathaniel Phillips direpotkan pergerakan licin Vinicius dan kehadiran penyerang Real Madrid yang lain.

Di lain sisi, Alexander-Arnold memang tak tampil dengan cukup baik dalam pertandingan tersebut. Selain satu kesalahan berujung gol, ia dua kali dilewati dribel pemain lawan. Namun, kegagalan pressing dan cover The Reds adalah problem utama.

Baca juga: Segudang Permasalahan Liverpool Musim Ini

Selain itu, membingkai profil defensif Alexander-Arnold dari satu performa buruk dapat menutupi progres yang ditunjukkan sang pemain. Musim ini, jebolan akademi Liverpool itu menunjukkan kemampuan bertahan yang lebih baik.

Di Premier League 2020/21, catatan tekel sukses Alexander-Arnold (61,9%) lebih baik dari dua musim sebelumnya, yakni 43% pada 2019/20 dan 49% pada 2018/19. Persentase tekel sukses sang pemain terhadap dribel lawan juga meningkat, 57,4% pada 2020/21 berbanding 40% (2019/20) dan 34,2% (2018/19).

Intersep (1,18 per pertandingan) dan blok (1,35 per pertandingan) Alexander-Arnold memang menurun pada musim ini. Hal ini dikarenakan ia bukanlah tipe pemain bertahan yang mengandalkan pemosisian untuk mengadang serangan. Faktanya, dari empat musim karier senior sang pemain, statistik intersep dan bloknya fluktuatif. Ia menorehkan rata-rata intersep dan blok tertinggi justru pada musim penuh pertamanya (2017/18).

Statistik di atas menunjukkan kecenderungan cara bertahan Alexander-Arnold. Sebagai full-back yang secara konstan hadir di area penyerangan, ia dituntut mundur ketika ada serangan balik. Dan untuk mematahkan serangan lawan, ia cenderung agresif berduel daripada penempatan posisi untuk memotong umpan.

Secara individual, kemampuan defensif Alexander-Arnold menunjukkan progres yang baik. Musim buruk Liverpool membuat perkembangan ini mudah dikesampingkan. Dia masih 22 tahun dan semakin matang sebagai full-back komplet.

“Saya tahu perihal pemain ini [Alexander-Arnold] lebih baik dari siapa pun dan pelatih mana pun. Saya dapat menyimpulkan bahwa dia adalah pemain kelas dunia, dan tidak hanya dari segi ofensif,” kata Klopp mengenai sang pemain.

Meskipun dilewatkan Gareth Southgate dalam satu jeda internasional, terlalu berlebihan jika mengira dia tidak akan disertakan untuk Euro. Di lain sisi, menghakimi Alexander-Arnold atas hasil-hasil buruk yang sering didapat Liverpool musim ini juga tak adil.

Hanya karena ia berpostur ramping dan lebih “terlihat” saat menyerang bukanlah indikasi kalau ia tak bisa bertahan. Ia bisa melakukannya dan terus mengembangkan aspek ini.

“Apakah performanya selalu kelas dunia? Tidak. Saya tidak tahu seorang pun pemain yang bisa melakukannya. Tetapi dia punya potensi,” tegas Klopp.

Komentar