European Super League: Lagu Lama Musuh UEFA

Cerita

by Redaksi 7 Pilihan

Redaksi 7

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

European Super League: Lagu Lama Musuh UEFA

Pembentukan European Super League resmi diumumkan pada 18 April 2021 atau Senin (19/4) pagi waktu Indonesia. 12 tim menjadi partisipan kompetisi ini. Mereka adalah enam klub Inggris, Manchester United, Liverpool, Arsenal, Tottenham Hotspur, Chelsea, Manchester City; tiga klub Spanyol, Real Madrid, Barcelona, Atletico Madrid; serta tiga klub Italia, Juventus, AC Milan, dan Inter Milan.

Dalam sebuah pernyataan bersama, ke-12 klub tersebut mengaku masih menunggu tiga klub lain, yaitu Bayern Muenchen, Borussia Dortmund, serta Paris Saint-Germain untuk bergabung ke barisan pendiri. Namun, PSG menolak keras, sementara dua klub Jerman dilaporkan tidak menyambut proposal ini dan menyatukan sikap dengan European Club Association (ECA) yang menentang Super League.

“Ke depannya, klub-klub pendiri menantikan diskusi dengan UEFA dan FIFA untuk bekerja sama dan mencari hasil terbaik bagi liga baru ini dan sepakbola secara umum,” tulis pernyataan bersama tersebut.

Super League diniatkan untuk menggantikan Liga Champions, bukan liga domestik. Pertandingan rencananya digelar tengah pekan. Sedangkan pada akhir pekan, klub tetap melakoni pertandingan domestik seperti biasanya.

Kompetisi ini rencananya akan diikuti 20 tim, terdiri dari 15 klub pendiri (kini baru 12 yang setuju) dan lima klub undangan. Sepak mula hendak dihelat pada Agustus 2021, sesuai kalender sepakbola Eropa pada umumnya.

Akan tetapi, rencana 12 klub pembelot sepertinya tak akan berjalan mulus. European Super League mendapat tentangan dari banyak kalangan. Sejak The Times pertama kali memberitakan peluncuran liga sempalan tersebut, UEFA dan pihak-pihak terkait segera menyuarakan penolakannya.

UEFA, asosiasi terkait (FA, RFEF, FIGC), serta liga (Premier League, La Liga, Lega Serie A) mengeluarkan pernyataan bersama. UEFA pun menyinggung dukungan FIFA serta enam konfederasi anggota dalam menentang European Super League.

“Kami akan mempertimbangkan segala upaya yang bisa ditempuh di setiap level, baik secara hukum dan keolahragaan untuk mencegah ini terjadi. Sepakbola itu didasari kompetisi terbuka dan merit keolahragaan; tidak ada jalan selain itu,” tulis pernyataan resmi UEFA.

Klub-klub peserta European Super League diancam akan dicongkel dari liga domestik dan kompetisi lain. Tak hanya itu, para pemain yang berlaga di kompetisi tandingan tersebut hendak dilarang membela tim nasional, secara efektif tak bisa tampil di Euro 2020 (digelar 2021) serta Piala Dunia 2022.

“Kami memanggil segenap pencinta sepakbola, suporter, dan politisi untuk bergabung dengan kami melawan proyek semacam ini jika itu hendak diumumkan. Egoisme persisten dari beberapa pihak telah dibiarkan terlalu lama. Cukup, sudah cukup,” lanjut pernyataan UEFA.

UEFA adalah pihak yang paling dirugikan oleh dibentuknya European Super League. Pemberontakan klub-klub elite diproyeksikan akan membuat pendapatan Liga Champions berkurang dengan nilai signifikan. Kompetisi antarklub sendiri adalah sumber dana reliabel UEFA, terutama untuk melakukan reinvestasi (via dana solidaritas) kepada negara dengan persepakbolaan yang selama ini kalah saing.

Pada 2018/19, melansir laporan finansial UEFA, kompetisi antarklub menyumbang 3,2 miliar euro bagi pendapatan konfederasi. Sebagai perbandingan, kompetisi antarnegara (UEFA Nations League) dan sumber pendapatan lain hanya menghasilkan 640 juta euro pada periode yang sama. Pada 2019/20, Liga Champions sendiri menghasilkan pendapatan kotor 3,25 miliar euro.

Pangkal dari pembentukan European Super League adalah konflik antara klub-klub elite dengan UEFA terkait Liga Champions. Klub-klub besar ingin kekuasaan lebih atas pengambilan keputusan terkait kompetisi dan distribusi pendapatan.

Super League diumumkan pada 18 April juga diduga sebagai jawaban klub elite atas rencana perubahan format Liga Champions oleh UEFA. Konfederasi rencananya akan mengumumkan perubahan format pada 19 April. Karena langkah mereka untuk lebih menguasai Liga Champions gagal, rencana Super League yang telah dibicarakan sejak lama pun diumumkan secara terbuka.

Sebagai catatan, klub-klub elite selalu menekan UEFA mengenai format dan distribusi Liga Champions. Wacana European Super League tak ubahnya kartu as untuk mewujudkan dan mempertahankan posisi istimewa klub-klub klub elite. Jika UEFA enggan menuruti permintaan klub-klub tersebut, wacana liga tandingan selalu digulirkan. Alhasil, perubahan format dan distribusi pendapatan Liga Champions selama ini selalu menguntungkan klub-klub besar dari liga-liga mapan.

Sejarah European Super League: Mulai 1990-an hingga Gagasan Florentino Perez

Wacana European Super League sejatinya sudah digulirkan sejak lama. Arthur Hopcraft, penulis The Guardian, mengungkapkan rencana ini pada 1968. Dalam buku The Football Man, Hopcraft menyebut ada rencana kompetisi antarklub besar Eropa yang menyempal dari liga domestik. Namun, rencana ini tak terealisasi.

Pada 1998, klub elite tidak puas atas pengelolaan Liga Champions yang baru enam tahun di-rebranding. Media Partners, perusahaan asal Italia, menyambut kesempatan ini dengan mengajukan proposal European Super League. 12 klub, di antaranya AC Milan, Manchester United, Liverpool, dan Real Madrid mendukung rencana ini.

Melansir Independent, Media Partners menjanjikan hadiah yang jauh lebih besar kepada klub peserta. Mereka menjanjikan uang senilai 750 juta paun. Sebagai perbandingan, uang Liga Champions yang dibagikan ke klub-klub peserta waktu itu hanya 100 juta paun.

Namun, rencana itu gagal setelah UEFA setuju untuk mengubah format dan jumlah peserta kompetisi. Peserta Liga Champions (sejak babak grup) ditambah dari 24 menjadi 32 kontestan. Hal ini membuat jumlah pertandingan bertambah yang secara otomatis memperbesar pendapatan.

Pada 2000-an, wacana European Super League memang tidak ramai dibicarakan. Tetapi, wacana tersebut tetap mengancam UEFA via G-14, kelompok klub elite yang digawangi dua klub Spanyol (Real Madrid dan Barcelona), dua Inggris (Manchester United dan Liverpool), tiga Italia (Inter, Juventus, AC Milan), dua Perancis (Marseille dan Paris Saint-Germain), dua Jerman (Bayern Muenchen dan Dortmund), dua Belanda (Ajax dan PSV Eindhoven), serta FC Porto dari Portugal.

Menurut laporan The Athletic, G-14 adalah kelompok penekan yang rutin menekan UEFA (juga FIFA) untuk mengakomodasi kepentingan mereka. Kelompok ini berhasil menekan konfederasi untuk memberi kompensasi ketika pemain mereka bertanding di Piala Dunia atau Piala Eropa, juga ketika pemain cedera di dua turnamen itu.

G-14 juga berhasil menekan UEFA untuk memberi bagi hasil Liga Champions yang lebih besar ke klub-klub elite. Sebagai gantinya, klub-klub tersebut setuju membubarkan G-14 dan menggantinya dengan European Club Association (ECA), beranggotakan lebih dari 200 klub (bukan hanya klub elite) dan terkesan lebih egaliter.

Sepanjang perjalanan Liga Champions, UEFA sendiri cenderung mengalah kepada kemauan klub-klub elite. Penentuan jatah Liga Champions berdasarkan koefisien - hitung-hitungan performa tim atau asosiasi dalam lima musim terakhir - mempertahankan status quo klub besar dan klub-klub anggota asosiasi dengan wakil yang tampil baik. Untuk periode 2018-2021, UEFA bahkan menjamin Inggris, Jerman, Italia, dan Spanyol memiliki empat wakil di fase grup tanpa perlu melalui kualifikasi.

Sistem koefisien pun akhirnya juga digunakan untuk membagi pendapatan Liga Champions. Pada 2019/20, misalnya, 30% pendapatan (585 juta euro) dibagi berdasarkan koefisien sepuluh tahun. Kebijakan ini tentu memperkaya klub besar yang rutin lolos ke fase gugur.

Di luar pembayaran berbasis koefisien pun, klub besar telah merengkuh duit berjumlah signifikan dari pendapatan Liga Champions. Rincian pendapatan klub dari Liga Champions 2019/20 sebagai berikut, 25% (€488jt) biaya partisipasi, 30% (€585jt) hadiah performa—ditentukan dengan hasil pertandingan dan seberapa jauh laju klub, dan 15% (€292jt) pembayaran market pool relatif. Market pool, sederhananya, adalah pembayaran yang ditentukan melalui nilai pasar siaran TV di masing-masing negara peserta Liga Champions, prestasi tim anggota asosiasi sepakbola negara itu, serta kiprah klub di liga domestik.

Melalui sistem bagi hasil seperti di atas, jelas bahwa UEFA selama ini sudah menguntungkan klub-klub besar — mereka yang unggul riwayat kompetitif dan berasal dari asosiasi dengan reputasi mentereng; sebut saja Jerman, Inggris, Italia, dan Spanyol. Bercokolnya tim-tim seperti Real Madrid, Juventus, dan Manchester United di papan atas sepakbola Eropa tidak bisa dilepaskan dari dukungan tak langsung UEFA. Namun, rupanya, segelintir klub elite ingin meminta lebih dan pilih memberontak.

Di lain sisi, European Super League sendiri sejak lama sudah menjadi impian Presiden Real Madrid, Florentino Perez. Pada 2009, ia secara terbuka menginginkan kompetisi yang mempertemukan “klub-klub terbaik” Eropa. Angan-angan Perez tidak terpenuhi oleh hadirnya Liga Champions, kompetisi yang notabene mempertemukan klub-klub terbaik.

Terbaik, dalam angan-angan Perez, bukanlah pertunjukan Real Madrid lawan kuda hitam seperti Atalanta, tetapi ketika Los Blancos secara rutin bisa menghadapi Liverpool atau Bayern Muenchen.

“Kita harus menyetujui sebuah European Super League baru yang menjamin bahwa yang terbaik selalu melawan yang terbaik—sesuatu yang tidak terjadi di Liga Champions,” katanya sebagaimana dilansir Telegraph pada 2009 silam.

Dalam proposal Super League yang sekarang, Perez diketahui menjadi tokoh aktif di baliknya. Sejumlah kalangan bahkan meyakini bahwa kompetisi tersebut adalah ide Perez yang mulai bisa diwujudkan akibat pandemi dan ketertarikan investor Amerika Serikat di klub Premier League (Manchester United, Liverpool, Arsenal).

Presiden La Liga, Javier Tebas, terang-terangan menuduh Perez adalah otak di balik persekongkolan ini. Hal ini dinyatakannya ketika Josep Maria Bartomeu, presiden Barcelona dulu, mengumumkan bahwa timnya mendukung pembentukan European Super League pada Oktober silam.

“Bartomeu diarahkan oleh Florentino, itulah yang saya yakini. Ini [European Super League] adalah mimpi dari presiden Real Madrid. Dia telah bekerja untuk ini sejak lama, tidak ada yang baru. Tetapi ini adalah kesalahan besar karena dia [Perez] tidak paham konsekuensi finansialnya,” kata Tebas kepada Associated Press.

Tebas tidak merinci tuduhannya atas Perez. Namun, agenda presiden Real Madrid itu sudah menjadi rahasia umum yang diawasi UEFA. Pada Januari silam, Andrea Agnelli, presiden Juventus yang selama ini menjadi “sahabat” UEFA, dicurigai usai menggelar pertemuan dengan Perez.

Pada Desember 2020 lalu, Perez menyinggung rencana ini dalam rapat dengan para anggota (socio) Real Madrid. Dalam pidatonya, Perez menyebut perlunya formula kompetisi baru dan mengungkit peran bersejarah Real Madrid dalam perkembangan sepakbola. Bersama sekelompok jurnalis L’Equipe, klub ini berperan penting dalam pembentukan European Cup (Liga Champions) pertama. Los Blancos juga menjadi satu-satunya klub yang ikut mendirikan FIFA.

“Sepakbola butuh formula baru untuk membuatnya lebih kompetitif, lebih menarik, lebih kuat. Seperti biasa, Real Madrid harus menjadi pelopor dalam olahraga ini. Saya ingin [hadirin] mengingat bahwa klub kita telah ambil bagian, sejak pembentukannya pada 1902, dalam semua inovasi penting yang dibutuhkan, dan juga melindungi tradisi sepakbola ketika dalam bahaya,” katanya sebagaimana dikutip The Athletic.

Sejauh ini, peran Perez dan investor lain dalam penggodokan Super League belum jelas. Perez memang akhirnya menjadi ketua kompetisi baru tersebut. Sementara Agnelli, Joel Glazer (pemilik MU), John W. Henry (pemilik Liverpool), dan Stan Kroenke (pemilik Arsenal) menjadi wakil ketua.

Selain Perez, terdapat beberapa upaya mewujudkan European Super League beberapa tahun terakhir. Pada 2016, Stephen M. Ross, pemilik Relevent Sports Group yang mengelola turnamen pramusim International Champions Cup, mengajukan ide ini ke klub-klub Premier League. Rencana ini tak terwujud.

Sementara pada 2018, Der Spiegelberdasarkan informasi yang dihimpun Football Leaks — melaporkan bahwa rencana European Super League diam-diam telah digodok. Media Jerman itu menyebut 11 klub terbesar Eropa bersiap membuat kompetisi sendiri, meninggalkan asosiasi negara dan UEFA. 11 klub yang dimaksud adalah Real Madrid, AC Milan, Arsenal, Barcelona, Bayern Muenchen, Juventus, Manchester United, Chelsea, Liverpool, Manchester City, dan Paris Saint-Germain.

Sepak mula kompetisi ini rencananya akan digelar pada 2021. Tetapi, setelah laporan Der Spiegel dirilis, peluncuran European Super League yang dimaksud tak terwujud.

European Super League, Mengapa Dibentuk?

Klub-klub pendiri sedianya akan mendapat dana sangat besar dari pembentukan European Super League. Kompetisi ini dibiayai dari utang bank Amerika Serikat, JP Morgan Chase. Financial Times melaporkan, bank tersebut bersedia memberi utang enam miliar dolar AS atau sekira 4,9 miliar euro.

Lewat pernyataan resminya, Super League telah mengumumkan keuntungan finansial yang jelas. Sebanyak 3,5 miliar euro akan dibagikan ke klub-klub pendiri untuk menanggulangi kerugian akibat pandemi dan untuk mendukung investasi infrastruktur mereka. Jika klub pendiri tetap berjumlah 12, maka masing-masing klub akan menerima sekitar 291,6 juta euro hanya dari partisipasi awal.

Angka itu sekitar dua kali lipat pendapatan klub jika menang Liga Champions. Di UCL, klub harus bersusah-payah menjuarai kompetisi lebih dulu untuk mendapatkan uang lebih dari 100 juta euro. Sedangkan di Super League, klub tinggal berpartisipasi untuk mendapatkan hampir 300 juta.

Super League berupaya menyaingi UEFA dalam hal pendapatan dari sponsor dan penyiaran. Menurut laporan The Athletic, klub-klub pendiri merasa yakin bahwa pendapatan besar Liga Champions selama ini berkat pertandingan-pertandingan mereka. Bagi 12 klub itu, mereka adalah atraksi besar yang menjadi magnet utama pasar siaran sepakbola.

Di lain sisi, Super League berupaya menepis imej serakah dengan menjanjikan dana solidaritas yang besar. Mereka menjanjikan dana solidaritas bagi pengembangan sepakbola Eropa senilai lebih dari 10 miliar euro per periode yang disepakati klub. Periode yang dimaksud mengacu pada kesepakatan sponsor dan penyiaran.

“Turnamen tahunan yang baru ini akan menyajikan pertumbuhan ekonomi yang lebih signifikan dan mendukung sepakbola Eropa via komitmen jangka panjang tentang pembayaran solidaritas yang tak terbatas, yang mana akan bertumbuh sesuai dengan pendapatan liga,” tulis pernyataan resmi Super League.

Pendapatan tinggi yang diproyeksikan dari Super League akan menyokong status elite klub-klub anggota. Pasalnya, kebanyakan klub pendiri saat ini terjebak situasi finansial yang sulit. Melansir data yang dihimpun https://twitter.com/SwissRamble/status/1384043509192085506">Swiss Ramble, ke-12 klub pendiri Super League memiliki total utang 7,4 miliar euro.

Tottenham Hotspur memiliki total utang terbesar 1,178 miliar euro. Sedangkan total utang Liverpool (387 juta euro) dihitung dari laporan keuangan 2018/19 mereka. Pasalnya, The Reds belum melaporkan kondisi keuangan usai 2019/20.

Klub-klub Premier League sendiri menyambut baik rencana ini usai gagasan Project Big Picture ditolak pada Oktober silam. Substansi dari Project Big Picture adalah klub-klub besar EPL — ditentukan oleh seberapa lama klub tidak terdegradasi dari Premier League — memiliki hak istimewa dalam penentuan aturan, pembagian jatah hak siar, bahkan hingga campur tangan urusan internal klub lain seperti proses akuisisi klub. Proyek itu juga menjanjikan 25% pendapatan Premier League dialirkan ke klub-klub English Football League yang rentan diterpa krisis finansial hingga bangkrut.

Akan tetapi, klub-klub Premier League tentu keberatan dengan hak istimewa yang diperoleh “klub besar”. Proposal ini akhirnya ditolak, karena Premier League butuh persetujuan minimal 14 klub untuk perubahan sebesar itu.

Sementara itu, duo raksasa Spanyol, Real Madrid dan Barcelona, saat ini menghadapi krisis finansial yang membuat mereka sangat butuh pendapatan tambahan. Real Madrid, menurut laporan The Athletic, mempunyai utang 900 juta euro. Sedangkan berdasarkan data yang dihimpun https://twitter.com/SwissRamble/status/1384043509192085506">Swiss Ramble, utang Los Blancos mencapai 651 juta.

Madrid sendiri harus menanggung biaya renovasi Santiago Bernabeu. Renovasi tersebut dilaporkan memakan biaya lebih dari 600 juta euro.

Sementara itu, situasi finansial Barcelona lebih memprihatinkan. Mereka memiliki utang lebih dari satu miliar euro. Jika Blaugrana gagal bayar utang, skenario paling parahnya adalah mereka bangkrut dan harus menjadi perusahaan terbuka — sahamnya dijual untuk umum.

Selama ini, Barcelona mempertahankan model kepemilikan klub berbasis anggota (socio), menjaga tradisi demokrasi dalam pengambilan keputusan klub. Di Spanyol, hanya empat klub tradisional, Barca, Real Madrid, Athletic Bilbao, dan Osasuna yang menerapkan model kepemilikan seperti ini. Empat klub itu dipandang penting secara kultural. Kehilangan status socio-nya tentu merupakan bencana besar bagi Barcelona.

Di Italia, motif untuk mewujudkan Super League juga tak jauh dari uang. Agnelli adalah sosok yang disebut getol mendorong kompetisi ini. Ia umum diketahui sering mengkritik pengelolaan liga oleh Lega Serie A.

Kekhawatiran Agnelli terkait pendapatan hak siar Serie A yang terus menurun. Kesepakatan penyiaran terbaru dengan DAZN disebut “hanya” bernilai 840 juta euro per musim. Sebagai perbandingan, empat liga top lain mendapat lebih dari 1 miliar euro per musim dari penjualan hak siar. Premier League mendapat uang penyiaran terbesar, bernilai sekitar 1,93 miliar euro per musim pada 2018-2021.

Pendapatan yang terus menurun membuat klub Italia kesulitan bersaing (secara finansial) dengan wakil Inggris, Spanyol, dan Jerman. Masa depan klub Italia di kancah Eropa pun semakin sulit akibat kesenjangan pendapatan tersebut.

Peran Agnelli di Super League cukup menarik. Kompetisi anyar akan membebaskannya dari ketidakpuasan terhadap Serie A. Tetapi, ia juga disorot karena dianggap “bermuka dua”. Agnelli, hingga Super League diumumkan, mengisi jabatan di Komite Eksekutif UEFA.

Sebelumnya, Agnelli adalah sosok yang dikenal dekat dengan Presiden UEFA, Aleksander Ceferin. Ceferin bahkan menjadi bapak baptis putri Agnelli.

Agnelli pun menjabat ketua European Club Association sebelum Super League diumumkan. Dalam perkara liga sempalan ini, asosiasi klub dengan lebih dari 200 anggota tersebut adalah sekutu UEFA.

Di lain sisi, peran John W. Henry, Joel Glazer, dan Stan Kroenke juga menarik untuk disorot. The Athletic melaporkan bahwa penggagas utama dari Super League edisi kali ini adalah Real Madrid, Manchester United (Glazer), Liverpool (Henry), dan Arsenal (Kroenke).

Tiga investor AS itu disinyalir ingin membawa model kompetisi tertutup, seperti di NBA dan NHL, ke sepakbola Eropa. Turnamen rutin tanpa degradasi akan membawa klub ke posisi finansial yang lebih stabil.

Liga Champions dan Super League di Simpang Jalan

Super League ditentang secara luas. Konfederasi, asosiasi, liga, hingga asosiasi pemain, klub, dan kelompok suporter menentang rencana ini. Pemerintah Britania Raya dan Perancis pun demikian. Sejauh ini, ke-12 klub pendiri seakan menghadapi semua orang di Eropa.

UEFA telah mengambil langkah tegas. Mereka dilaporkan sedang mendekati pemangku kebijakan di Uni Eropa terkait masalah ini. Dari pernyataan UEFA, sinyalemen mereka toh sudah jelas.

Undangan kepada Bayern, Dortmund, dan PSG pun berbuah penentangan. Bayern dan Dortmund sepihak dengan ECA yang menentang Super League. Sedangkan PSG dilaporkan telah menentang rencana ini lebih awal.

PSG justru menolak undangan Super League ketika Ligue 1 gagal mendapatkan hak siar yang menguntungkan. Sikap Les Parisiens bisa dipahami jika meninjau status sang pemilik, Nasser Al-Khelaifi. Ia saat ini duduk di direksi UEFA dan merupakan pemilik beIN Media Group, perusahaan yang memegang hak siar Liga Champions.

Bayern, Dortmund, dan PSG mendukung perubahan format Liga Champions yang kini memakai “model Swiss”. UEFA mengumumkan perubahan ini pada Senin (19/4) petang waktu Indonesia.

Liga Champions, mulai 2024/25, akan diikuti 36 tim yang tergabung dalam satu tabel klasemen. Namun, setiap tim tidak akan bertemu satu sama lain. Setiap tim hanya akan bertanding 10 kali — lima kandang, lima tandang.

Melansir New York Times, penentuan lawan masing-masing tim dilakukan sebagaimana penentuan fase grup di edisi terdahulu. Rinciannya, 36 tim itu akan dibagi dalam empat pot. Satu tim akan menghadapi dua lawan dari pot yang sama dan delapan tim dari pot berbeda.

Misalnya begini: Bayern Muenchen ditempatkan di pot 1. Die Roten pun akan menghadapi dua tim dari pot yang sama. Mereka juga akan bertanding lawan tiga tim yang masing-masing berasal dari pot 2 dan 3. Bayern kemudian akan menghadapi dua tim dari pot 4—hanya dua tim karena pot 4 dipertimbangkan sebagai kelompok tim terlemah. Prinsipnya, klub “terkuat” akan menghadapi lebih sedikit klub “terlemah”. Demikian sebaliknya. Klub yang "selevel" pun tidak akan terlalu sering bertemu.

Perubahan format ini menyediakan jumlah pertandingan lebih banyak dan dengan demikian memiliki potensi pendapatan lebih besar. Sebagian pendapatan Liga Champions pun akan digunakan untuk menyubsidi European League dan European Conference League.

Rencana ini sedianya hendak diumumkan pada Maret lalu. Namun, melansir laporan The Guardian, “sebagian klub ECA” tidak setuju. Sebagian klub tersebut menginginkan kekuasaan lebih besar dalam mengatur aspek komersial kompetisi ini. Klub yang dimaksud diduga adalah segelintir pihak yang membentuk Super League saat ini.

UEFA tetap bersikukuh pada rencana awalnya untuk memperluas Liga Champions demi sepakbola Eropa yang lebih sejahtera. Sedangkan anggota Super League memiliki visi sendiri tentang bagaimana kesejahteraan itu mesti diraih. Selain aspek finansial, pro-kontra Super League dapat dipandang sebagai konflik segelintir klub elite vs UEFA terkait masa depan sepakbola Eropa. Secara garis besar, klub-klub elite ingin otonomi lebih luas, sedangkan UEFA bersikukuh bahwa sepakbola Eropa (termasuk level klub) sebaiknya memang diatur oleh konfederasi.

Sejauh ini, konflik Super League vs UEFA masih jauh dari titik terang. Jika sampai di meja perundingan, para pendiri Super League tentu menghendaki otonomi lebih dalam urusan Liga Champions. Seperti yang sudah-sudah, wacana Super League terbukti menjadi senjata ampuh untuk menekan UEFA.

Akan tetapi, kali ini para klub elite telah bertindak lebih jauh. Meskipun bagaimana jalannya kompetisi belum sepenuhnya jelas, mereka secara resmi sudah mengumumkan keberadaannya.

Akan ke mana, Super League? Jika buntu di meja perundingan, konflik ini sepertinya akan berujung di pengadilan.

Komentar