Seperti Dendam, Rindu (Juara) Gagal Dibayar Tuntas

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Seperti Dendam, Rindu (Juara) Gagal Dibayar Tuntas

Sejujurnya, kalau mau berbicara Piala AFF yang pertama kali saya tonton, maka saya akan menjawab edisi 2010 sebagai “debut” bagi saya. Akan tetapi, memori 2010 terasa menyakitkan untuk diingat dan diceritakan kembali. Saya yang waktu itu masih bocah kelas 6 SD, harus menahan sesak melihat “Harimau Malaya” angkat trofi di Senayan, setelah mengalakan Indonesia. Edisi 2012 dan 2014 yang diharapkan lebih baik, nyatanya malah lebih ambyar. Timnas “Garuda” gagal di penyisihan grup dalam dua edisi berturut-turut. Praktis, tak ada yang bisa dibanggakan dari kegagalan tersebut.

Edisi 2016, Timnas Indonesia kembali tampil di Piala AFF, tepat setelah sanksi FIFA terhadap sepakbola Indonesia dicabut. Dan seperti yang tahu juga, (lagi-lagi) kita gagal juara. Saya yang saat itu kelas 3 SMA, untuk pertama kalinya menyaksikan AFF bersama teman-teman sekelas. AFF 2016 pun kemudian meninggalkan kesan tersendiri bagi saya pribadi. Ada hal-hal yang pertama kali saya rasakan di gelaran ini, meski ujungnya tetap pada konklusi yang sama.

Babak Grup: Diragukan di Awal, Menghentak di Akhir

Untuk pertama kalinya, Timnas Indonesia datang sebagai tim dengan peringkat FIFA terendah, dibanding tujuh peserta lainnya. Sebelum pengundian grup di bulan Agustus, Indonesia berada pada peringkat 191 FIFA, bahkan lebih buruk dibanding Laos (177) dan Timor-Leste (185) yang tidak ikut serta di AFF 2016. Praktis, Indonesia berada di pot terendah bersama Kamboja, dan kemudian satu grup dengan tuan rumah Filipina (135), Thailand (121), dan Singapura (158).

Bagi saya dan mungkin jutaan pendukung timnas saat itu, terasa berat untuk timnas berbicara banyak di AFF 2016. Bahkan, untuk pertama kalinya saya pesimis timnas bisa meraih kemenangan dari tiga tim itu. Sudah kalah peringkat, timnas pun harus mendapat kebijakan aneh dari federasinya sendiri, PSSI. Timnas hanya boleh diperkuat maksimal dua pemain dari satu klub liga Indonesia, dengan dalih liga masih berjalan. Otomatis, kebijakan ini menghalangi pelatih timnas saat itu, Alfred Riedl, untuk memilih pemain timnas.

Rasa pesimis itu pun bahkan semakin menguat di pertandingan pertama. Menghadapi Thailand, Indonesia harus menerima dikalahkan 4-2 oleh tim “Gajah Putih”. Di pertandingan berikutnya, Timnas harus puas ditahan imbang Filipina, meski sempat dua kali unggul lewat goal Fachrudin dan Boaz. Setelah pertandingan kedua, Thailand berhasil lolos sebagai juara grup, dengan dua kemenangan. Sementara Indonesia, Filipina dan Singapura harus saling sikut untuk amankan posisi kedua. Untuk lolos pun, Indonesia wajib memenangkan pertandingan melawan Singapura, sembari mengharap The Azkals kalah lawan Thailand.

Pertandingan melawan Singapura menjadi salah satu pertandingan yang tak bisa saya lupakan. Saat itu, saya nobar bersama teman-teman sekelas saya. Meski berusaha untuk tetap percaya bisa menang, namun rasa pesimis tetap tak bisa hilang. Rasa pesimis itu bahkan sempat menguat, setelah Singapura menjebol gawang Indonesia terlebih dahulu. Namun, gol Andik Vermansah dan Lilipaly sukses menjadi pembeda pada laga ini. Skor pun menjadi 2-1 untuk Indonesia, dan bertahan hingga peluit panjang dibunyikan. Di laga lain pun, Filipina kalah 1-0 dari Thailand. Indonesia pun lolos sebagai runner up grup A menemani Thailand.

Dan kami pun yang menonton kini bukan hanya teriak, tapi loncat kegirangan. Ya, comeback is real.

Antara Belakang Gawang dan Layar Kaca

Di babak semifinal, Indonesia telah ditunggu Vietnam. Disini status Vietnam bukan main-main, yakni sebagai juara grup B. Seperti yang sudah-sudah, semifinal pun diadakan dua leg. Indonesia jadi tuan rumah di leg pertama, dan Vietnam jadi tuan rumah leg kedua. Menjelang leg pertama semifinal, kepercayaan diri Indonesia mulai naik. Setelah sebelumnya diragukan lolos, kini Indonesia mulai dekat dengan gelar juara, yang sudah diidam-idamkan dari tahun 1996.

Sabtu, 3 Desember 2016, kami pun tiba di Stadion Pakansari untuk menyaksikan laga semifinal, sekaligus mendukung tim “Garuda”. Bagi saya pribadi, ini adalah pertama kalinya saya nyetadion. Sebelumnya, tak pernah saya datang ke stadion untuk nonton bola. Paling kalau nonton bola, ya lewat layar kaca. Selama itu pula, saya hanya bisa terkesima sekaligus ngiri ingin merasakan magisnya atmosfer nyetadion. Apalagi, suporter Indonesia dikenal dengan semangat dan militan dalam mendukung. Tak henti teriakan dan nyanyian suporter “Garuda” akan berdengung untuk membakar semangat punggawa “Garuda”, sekaligus menjatuhkan mental tim lawan.





Dan pada akhirnya, saya ikut larut dalam suasana sorak sorai ketika Hansamu Yama berhasil cetak gol cepat, memanfaatkan umpan sepak pojok Rizky Pora. Saat gol itu terjadi, posisi saya berada di belakang gawang Vietnam, membuat saya bisa melihat dengan jelas detil proses gol nya. Ketika Vietnam berhasil menyamakan gol melalui penalti, terlihat segelintir suporter Vietnam yang hadir langsung bergembira. Tapi, ketika Boaz Solossa yang berhasil mencetak gol lewat penalti, maka giliran kami suporter Indonesia yang melonjak kegirangan. Skor 2-1 untuk kemenangan Indonesia. Selama pertandingan pun, saya ikut bernyanyi dan berteriak menggelorakan dukungan untuk Indonesia. Tak lupa, beberapa kali Mexican Wave dilakukan. Sungguh sebuah pengalaman unik yang tak mudah dilupakan.

Pada leg kedua, saya dan teman-teman kembali mendukung Boaz Solossa dkk dari layar kaca. Kami kembali nobar dan mendoakan agar langkah “Garuda” dapat lancar ke Final. Berbekal kemenangan di leg pertama, Indonesia lebih diunggulkan untuk lolos ke final. Tapi, langkah “Garuda” tak betul-betul lancar kali ini. Indonesia sempat mengejutkan dengan unggul terlebih dahulu, melalui gol Stefano Lilipaly. Tapi Vietnam bisa membalas, bahkan membalikan kedudukan menjadi 2-1. Pertandingan pun lanjut ke babak perpanjangan waktu. Sebuah situasi yang menegangkan bagi kami yang nonton di layar kaca. Padahal, saat itu Vietnam bermain dengan 10 pemain, setelah kiper mereka dikartu merah. Namun, gol penalti Manahati Lestusen kali ini menjadi pembeda. Skor pun imbang 2-2, tetapi Indonesia lah yang lolos berbekal kemenangan agregat 4-3. Saya dan teman-teman tak kuasa meloncat kegirangan, setelah sempat deg-degan melihat timnas sempat hampir dicomeback.

Dendam Tak Terbalas, Rindu Tak Terbayar Tuntas

Di babak final, Indonesia kembali menghadapi Thailand. Sudah dua final AFF menyajikan pertemuan kedua tim, yakni tahun 2000 dan 2002. Dan dari dua final itu, tak sekalipun Tim “Garuda” berhasil menjungkalkan “Gajah Putih”. Tentu, ini momen yang tepat untuk balas dendam. Apalagi, Indonesia sempat dihancurkan dibabak penyisihan grup oleh Thailand. Selain itu, inilah momen yang tepat untuk menuntaskan rindu gelar bagi timnas senior, setelah terakhir medali emas SEA Games 1992.

Harapan itu sempat membuncah di leg pertama partai final. Indonesia berhasil menang 2-1 lewat gol Rizky Pora dan Hansamu Yama, setelah sebelumnya kebobolan oleh Teerasil Dangda. Saat itu, saya tak menyaksikan langsung di Pakansari seperti partai semifinal lalu. Kami tak berhasil mendapat tiket, buntut chaosnya penjualan tiket di Makostrad. Sebagai pelipur lara, kami pun akhirnya mengadakan nobar. Berbekal kemenangan leg pertama, optimisme kami membuncah.

Di leg kedua pun kami kembali nobar, dan bersiap menjadi saksi sejarah Indonesia juara. Tapi sayang disayang, (lagi-lagi) Thailand menjadi batu sandungan. Dua gol Siroh Chattong tak mampu dibalas oleh Indonesia. Tak banyak momen berkesan yang bisa diingat dari pertandingan itu, salah satunya yakni tendangan Abduh Lestaluhu ke bench Thailand. Pada akhirnya, Thailand kembali menjadi juara untuk keempat kalinya, dan Indonesia kembali gagal untuk kelima kalinya di final.

Pada akhirnya, Piala AFF 2016 kembali menjadi de javu bagi Indonesia. Meski begitu, Piala AFF 2016 meninggalkan kesan yang baik bagi saya. Untuk pertama kalinya setelah 2010, Indonesia kembali melaju ke final. Hasil akhir yang jauh melampaui ekspektasi. Akan tetapi, ada kerinduan yang masih belum bisa dituntaskan, yakni kerinduan gelar juara untuk timnas senior. Selain itu, dendam dua kekalahan di final melawan Thailand, juga belum terbalaskan. Hingga saat ini, kita pun masih harus menunggu, agar rindu dan dendam itu bisa tertuntaskan.

Meminjam judul novel karya Eka Kurniawan, perjuangan timnas Indonesia di AFF 2016 layaknya seperti dendam, rindu harus gagal dibayar tuntas.

(ditulis tahun 2016)



Komentar