Roy Keane: Si Pemarah dari Irlandia

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Roy Keane: Si Pemarah dari Irlandia

Oleh: Willy Febriandy

Roy Keane telah lama dikenal sebagai sosok pemain sepakbola yang keras, mudah marah, dan selalu blak-blakan ketika bicara. Keane tidak segan untuk mengumpat dan mengkritik siapapun yang ia anggap bermasalah. Bahkan, kepada para pemain Manchester United (MU) yang notabene-nya merupakan klub yang membesarkan dirinya, Keane tak pernah sungkan untuk mengutarakan apa yang baginya benar. Karakter yang demikian menjadi ciri yang membangun citra Roy Keane selama ini.

Sifat kerasnya ini masih berlanjut hingga ia berhenti menjadi pemain sepakbola. Beberapa waktu lalu, ketika Roy Keane dan Patrice Evra menjadi komentator pertandingan antara Tottenham Hotspurs melawan MU, dalam lanjutan Liga Primer Inggris, watak keras Roy Keane kembali muncul. Keane mengkritik keras penampilan dua bintang MU, David De Gea dan Harry Maguire. Menurut Keane, keduanya tidak menunjukan kualitas sebagai pemain top dunia. Ia sangat heran melihat pemain sekaliber Maguire dapat dengan mudah dilewati oleh Steven Bergwijn.

Saking geramnya, Keane sampai berkata, “Maguire dan De Gea seharusnya gantung diri karena sudah bikin malu. Jangan pulang bareng tim naik bus. Naik taksi aja sana ke Manchester. Saya jijik melihat penampilan mereka.”

VIDEO: Informasi terkini sepakbola dunia



Umpatan seperti di atas sebenarnya bukan yang pertama dilontarkan oleh Roy Keane kepada pemain MU. Jauh sebelum mengkritik De Gea dan Maguire, Keane sudah sering menyerang pemain MU lain yang dianggapnya tidak bekerja secara maksimal. Keane pernah menuduh pemain MU lemah dan cengeng. Ia juga pernah menyebut Paul Pogba sebagai pemain yang tidak konsisten.

Kalau dilacak ke belakang, Kebiasaan Keane dalam mengumpat sudah ia lakukan sejak sebelum dirinya pensiun dan menjadi komentator seperti sekarang. Sir Alex Ferguson dalam buku autobiografinya berjudul My Autobiography (2013), menceritakan bahwa saat Keane masih bermain untuk MU, ia pernah berkomentar pedas kepada beberapa pemain yang dia anggap tidak bekerja sebagaimana mestinya.

Dalam satu wawancara untuk MUTV misalnya, Keane menyebut Kieran Richardson sebagai bek pemalas. Keane juga sinis kepada Darren Fletcher dengan berkata, “kenapa orang Skotlandia suka sekali dengan Darren Fletcher?” Bahkan pemain sekaliber Rio Ferdinand pun tidak luput menjadi sasaran kritik dalam wawancara tersebut.

Menurut Sir Alex, bagian tertajam di tubuh Roy Keane adalah lidahnya. Lidahnya adalah setajam-tajamnya yang bisa dibayangkan. Dia bisa melemahkan orang yang paling percaya diri di dunia dalam hitungan detik dengan ketajaman itu. Tak heran jika di MU Keane disebut-sebut menjadi sosok paling ditakuti setelah Sir Alex Ferguson.

Kebiasaan Roy Keane dalam mengumpat pemain lain menjadi contoh dari watak keras dan mudah marah pria Irlandia kelahiran 10 Agustus 1971 ini. Fergie—sapaan akrab dari Sir Alex Ferguson—pun mengakui hal tersebut. Menurutnya, jika Roy Keane berpikir Anda tidak berusaha seperti yang diharapkannya, maka dia akan segera membereskan Anda. Banyak pemain dimarahi karena berbuat seperti itu dan tidak ada tempat untuk bersembunyi dari dia.

Keane adalah individu yang garang dan cenderung mengintimidasi. Kalau marah, dia bisa menyerang. Meski begitu, bagi Fergie, Keane merupakan seorang pemain dengan energi, keberanian, dan darah yang panas, dengan naluri tajam pada sepak bola dan strateginya. Keane menjadi pemain paling berpengaruh di ruang ganti United selama ia bermain bersama Fergie.

Gerard Pique adalah satu dari sekian pemain yang pernah merasakan intimidasi langsung dari Keane. Dalam sebuah wawancara, Pique menceritakan bahwa saat ia masih berseragam MU, dalam satu waktu ketika sedang berada di ruang ganti sesaat sebelum pertandingan, telepon selulernya tiba-tiba bergetar dan bersuara. Keane yang mendengar suara itu mencari-cari dari mana sumber suara tersebut, namun tidak berhasil menemukannya.

Keane lalu berteriak ke semua orang, “Ponsel siapa itu?.” Tidak ada satu pun yang menjawab. Ia bertanya lagi dan masih tidak ada yang menjawab. Ia kemudian mengumpat dan Pique pun akhirnya mengaku itu ponsel miliknya. Keane langsung meledak dan mencak-mencak di depan semua orang. Saking takutnya, menurut pengakuan Pique, ia sampai nyaris kencing di celana saat itu.

Begitulah Roy Keane. Kalau ada sesuatu yang tidak beres di matanya, ia akan meledak begitu saja tanpa ragu sedikitpun. Bahkan manajer galak seperti Sir Alex pun berani ia lawan kalau memang ia anggap telah melakukan sesuatu yang tidak beres di matanya.

Watak keras Roy Keane ini terbawa sampai ke lapangan hijau. Keane adalah tipe pemain yang akan menerjang siapapun yang dia anggap bakal mengancam barisan pertahanan. Posisinya sebagai gelandang bertahan membuatnya leluasa melakukan itu semua. Keane sadar betul bahwa cara bermainnya tersebut akan berdampak pada dirinya yang mau tidak mau harus selalu berbenturan dengan pemain musuh. Benturan ini yang kadang membuat dirinya akan berselisih paham dengan musuh yang tidak terima dengan cara bermainnya.

Dalam kamus hidup Roy Keane, tidak pernah ada kata takut dan gentar untuk sesuatu yang ia anggap tugasnya. Ia tak segan berkelahi dengan siapapun demi menjaga agar gawangnya tidak kebobolan. Perselisihannya dengan legenda Arsenal Patrick Vieira adalah contoh dari konsekuensi permainannya yang keras dan tidak kenal kompromi tersebut.

Karakter Roy Keane yang keras, mudah marah, dan tanpa kompromi pada akhirnya memakan korban yang akan selalu dikenang dalam karir sepak bolanya. Pada pertandingan derby Manchester tahun 2001, Keane menerjang lutut Alf-Inge Haaland secara brutal hingga ia terkapar dan ditarik keluar karena cedera. Keane mengakui bahwa ia sengaja melakukan itu sebagai bentuk balas dendam terhadap perlakuan Haaland empat tahun sebelumnya, tepatnya pada September 1997, ketika MU berjumpa dengan Leeds United.

Dalam pertandingan itu, Haaland menuduh Keane berpura-pura cedera saat mereka berdua sedang berebut bola. Pada kenyataannya, Roy Keane memang cedera dan tidak lagi bermain pada sisa musim tersebut. Karena hal itulah Keane dendam, hingga akhirnya membalas perlakuan ayah dari Erling Haaland tersebut dalam pertandingan derby Manchester.

Roy Keane tahu persis bahwa apa yang ia lakukan berakibat fatal bagi karir Haaland. Tapi ia sama sekali tidak menyesal dengan perbuatannya tersebut. Dalam autobiografinya berjudul Roy Keane: The Second Half (2014), Keane secara terang-terangan mengaku bahwa ia sengaja menghantam kaki Haaland dan sama sekali tidak menyesal melakukan itu. "Ada sejumlah penyesalan dalam hidup saya. Tapi insiden dengan Haaland tidak termasuk ke dalamnya," kata Roy Keane. Bagi Keane apa yang ia lakukan setimpal dengan yang Haaland lakukan padanya empat tahun sebelumnya.

Dari sini terlihat bahwa di balik kegemilangannya menjaga lini tengah MU, Roy Keane menyimpan sisi lain yang membuat dirinya menjadi seperti sekarang. Keras, pemarah, dan tanpa kompromi, itulah identitas yang membentuk Roy Keane sepanjang karirnya dalam sepak bola. Tanpa ketiga hal tersebut, nama Roy Keane hanya akan dikenal sebagai sebatas gelandang bertahan dari sebuah kesebelasan tersukses di Inggris. Tidak lebih.

Uniknya, tiga karakter Roy Keane ini pulalah yang membuatnya terlempar dari skuad MU. Sir Alex dalam autobiografinya menjelaskan, bahwa salah satu alasan mengapa Roy Keane pergi dari United adalah karena pengaruh Roy Keane yang sudah terlalu berlebihan di ruang ganti. Hal ini berbahaya bagi perkembangan pemain muda MU yang baru promosi atau baru direkrut. Karena dengan watak kerasnya, Keane bisa menghancurkan mental para pemain muda yang sedang proses berkembang. Dari situlah kemudian mengapa Roy Keane akhirnya dilepas ke Glasgow Celtic tahun 2005.

Terlepas dari segala kontroversi dan perilakunya yang dianggap buruk oleh kebanyakan orang, Roy Keane tetap menjadi salah satu gelandang bertahan terbaik yang pernah ada di tanah Britania Raya. Ia selamanya akan menjadi legenda yang selalu dikenang tidak hanya bagi pendukung MU, tapi oleh seluruh pecinta sepak bola di manapun.


*Penulis adalah WillyVebriandy, Fans Manchester United yang kini sedang menetap di Sleman. Dapat dijumpai di @willyvebriandy (Twitter),@willyvebriandy (Instagram), dan @Willy Vebriandy (Facebook).

**Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis melalui kolom Pandit Sharing. Segala isi dan opini yang ada dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.

Komentar