Peninggalan Terakhir Schmeichel di Man United

Cerita

by Evans Simon

Evans Simon

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Peninggalan Terakhir Schmeichel di Man United

Ironi selalu ada di sekitar kita, termasuk di jersey kandang Manchester United musim 2019/20 ini. Bermaksud merayakan 20 tahun Treble Winners, mereka justru tidak bermain di Liga Champions.

Membicarakan sejarah Man United tidak akan lengkap tanpa musim 1998/99. Sebelumnya, tidak ada tim Inggris yang mampu mempoligami tiga trofi terbesar - Premier League, Piala FA, dan Liga Champions - dalam satu musim di era modern. Sebagai pengingat, Treble Liverpool pada 1983/84 adalah Divisi Utama, Liga Champions, dan Piala Liga.

Pencapaian ini semakin berkesan mengingat jalannya pertandingan melawan FC Bayern yang digelar di Stadion Camp Nou tersebut. Mimpi Man United menuntaskan misi mustahil terkubur hampir sepanjang laga; tertinggal 0-1 sejak menit ke-6 akibat gol Mario Basler.

Keajaiban, atau beberapa orang menyebutnya pemenuhan takdir, bagi Man United baru terjadi setelah wasit keempat mengumumkan ada tambahan waktu tiga menit untuk dimainkan. Teddy Sheringham dan Ole Gunnar Solksjær masing-masing mencetak satu gol, Man United berbalik unggul. Wasit utama, Pierluigi Collina, sampai harus menyemangati para pemain Bayern yang bergelimpangan di atas lapangan. Manajer Sir Alex Ferguson dan kiper Peter Schmeichel, yang mengemban ban kapten, mengangkat `Si Kuping Besar` di bawah langit Barcelona.

Bagi Man United, keberhasilan menjuarai Liga Champions lebih dari sekadar menyempurnakan treble. Ini sekaligus ajang pembuktian bahwa mereka mampu berprestasi dengan pemain-pemain muda jebolan akademi sendiri; angkatan yang kini dikenal dengan sebutan The Class of `92.

"Anda tidak bisa memenangi apapun dengan anak-anak," kata mantan legenda Liverpool, Alan Hansen, dalam program BBC. Pernyataan tersebut muncul setelah Man United kalah 1-3 dari Aston Villa dalam laga pembuka Premier League 1995-96.

Ucapan Hansen, ketika itu, terbilang masuk akal. Ferguson memutuskan untuk melego tiga pemain andalan: Paul Ince (ke Inter Milan), Andrey Kanchelskis (Everton), dan Mark Hughes (Chelsea) tanpa mendatangkan pengganti. Satu-satunya pembelian hanya kiper Tony Coton dari Manchester City. Ia memercayakan Ryan Giggs, David Beckham, Phil Neville, Gary Neville, Nicky Butt, dan Paul Scholes sebagai tulang punggung tim.

Pria asal Skotlandia tersebut memang terbilang nekad. Di musim sebelumnya, hanya Giggs yang menjadi penghuni tetap tim utama. Scholes, Butt, dan G. Neville masih berstatus pelapis. Adapun Beckham dan P. Neville hanya penggembira (keduanya total hanya bermain sembilan kali di seluruh kompetisi).

Kebenaran pernyataan Hansen bertahan kurang lebih setengah musim berjalan. Performa Man United naik-turun. Mereka sempat tertinggal 12 poin dari pemuncak klasemen Newcastle United pada Januari 1996.

Beruntung bagi The Red Devils, skuat asuhan manajer Kevin Keegan terpeleset; kalah empat kali dalam enam pertandingan. Selisih poin mengecil menjadi empat angka kala kedua tim bertemu pada 4 Maret. Dalam pertandingan inilah, momentum perebutan titel juara pindah ke tangan Man United, dan bintangnya adalah Schmeichel.

---

Ketika didatangkan dari Bröndby IF pada awal musim 1991/92, Schmeichel langsung menjadi penjaga gawang utama Man United, namun bukan berarti Ia langsung dipercaya dan dapat diandalkan. Butuh proses baginya beradaptasi dengan permainan keras Liga Inggris.

Ferguson, dalam autobiografinya, mengatakan sempat pesimistis dengan masa depan Schmeichel di klub, terutama setelah melihat sang kiper merengek kepada wasit ketika di-bully `The Crazy Gang`-nya Wimbledon.

Dalam pertandingan lain melawan Leeds United, Schmeichel berlari menjauhi gawangnya untuk memotong umpan. Tetapi, seperti kata Ferguson, Schmeichel terlambat "dua hari".

Bagaimanapun, Ferguson tetap melihat ada potensi dalam diri Schmeichel. Meski gagal menjuarai Liga Inggris pada musim pertamanya, Man United menjadi tim dengan jumlah kemasukan gol paling sedikit (33 gol dalam 42 pertandingan).

Setelah mengejutkan dunia dengan menjuarai Piala Eropa 1992 bersama Denmark, performa apik Schmeichel berlanjut di klub. Mereka kembali menjadi tim dengan pertahanan paling rapat (31 gol dalam 42 pertandingan).

Bedanya dengan musim lalu, kali ini Man United juara divisi utama Liga Inggris yang baru berganti nama menjadi Premier League; mengakhiri puasa juara liga klub sejak 1967, sekaligus titel juara liga pertama dari awal kedigdayaan Man United-nya Ferguson.

Video aksi-aksi Peter Schmeichel saat membela Manchester United dalam Premier League 100 (Link)

Tanyakan kepada setiap penyerang yang pernah berhadapan, betapa sulitnya meruntuhkan kekokohan `The Great Dane` - julukan Schmeichel. Postur tubuhnya besar - harus menggunakan seragam berukuran XXXL - tetapi tetap memiliki refleks tinggi. Ia mampu menjadikan kotak penalti sebagai daerah kekuasaan; mampu mengawasi, mengantisipasi, serta memprediksi arah bola dan gerak-gerik pemain lawan.

Schmeichel tak pernah takut untuk maju keluar dari gawangnya. Penyerang Liverpool, Robbie Fowler, bercerita selalu kesulitan mencetak gol, terutama ketika Schmeichel merenggangkan tangan dan kaki seperti bintang laut raksasa, membuat gawang terlihat kecil.

Kualitas lain yang dimiliki oleh ayah dari Kasper Schmeichel tersebut adalah kemampuannya mendistribusi bola. Ia dapat memberikan bola dengan cepat kepada rekan satu tim, pola serangan yang menguntungkan mengingat Man United punya winger berkualitas dalam diri Giggs dan Beckham.

Schmeichel adalah sosok berkarakter kuat di atas lapangan dan dalam ruang ganti. Mental tangguhnya bersinar terang dan kerap memenangkan pertandingan bagi Man United, seperti yang terjadi di St. James Park pada Maret 1996.

Les Ferdinand, David Ginola, Faustino Asprilla, Peter Beardsley, hingga Rob Lee mampu memporak-porandakan barisan bek Man United. Namun, tak sekalipun mereka bisa menaklukkan Schmeichel.

Ketika turun minum, Ferdinand sampai meminta maaf kepada rekan-rekannya karena merasa gagal mengakhiri peluang. "Namun, ini bukan seperti Ia (Ferdinand) buang-buang peluang, melainkan Schmeichel menyelamatkannya," tutur John Beresford seperti yang dikutip Esquire.

Bagi Schmeichel, sebenarnya pekerjaan sempurna sebagai kiper adalah tidak menyentuh bola sama sekali dalam sebuah pertandingan. Ini artinya, Ia berhasil menjalankan peran sebagai pemimpin di lini belakang; berteriak, bahkan kalau perlu memaki, mengkoordinasi para pemain bertahan.

Situasi yang sepenuhnya terbalik terjadi dalam laga melawan The Magpies. Schmeichel harus jatuh bangun demi menghindarkan gawangnya dari kebobolan. Pun demikian, Ia tetap patut berbangga. Oleh sebab kerja kerasnya, Man United mampu pulang dengan poin penuh berkat gol tunggal Eric Cantona.

Ketika musim 1995/96 berakhir, Man United memuncaki klasemen dengan keunggulan empat angka dari Newcastle. Mereka menjadi tim dengan rataan usia termuda yang pernah menjuarai Premier League (26 tahun 137 hari, hanya menghitung pemain yang tampil minimal 10 kali), sebelum dipecahkan Chelsea pada 2004/05 (25 tahun 312 hari).

Trofi Premier League tersebut dikawinkan dengan Piala FA. Sementara, Newcastle tidak pernah pulih dari duka - menjadi tim yang paling lama memuncaki klasemen (212 hari) tanpa menjadi juara.

Schmeichel kemudian membawa Man United meraih dua titel juara Premier League dan satu Piala FA lagi, sebelum mengangkat trofi Liga Champions untuk yang pertama dan terakhir kalinya pada 1999. Ia hengkang dari Man United setelah mengantarkan mereka ke `Tanah Perjanjian`.

Kepergian Schmeichel adalah kehilangan besar bagi Man United. Dalam misi mencari penggantinya, Ferguson seperti "melempar banyak bola ke udara, berharap salah satu jatuh ke tangan yang tepat". Kita sama-sama tahu, Ferguson harus menunggu hingga 2005 untuk salah satu bola tersebut jatuh ke tangan Edwin van der Sar.

Selain urusan kemampuan, yang mampu mengubah teriakan kegembiraan suporter lawan menjadi kekecewaan hanya dalam sepersekian detik, Schmeichel dan Van der Sar sama-sama punya jiwa kepemimpinan. Mereka tak sungkan untuk membimbing para pemain muda.

Schemichel melakukan hal tersebut kepada Fergie`s Fledling. Dalam film dokumenter tentang Class of `92, Beckham menceritakan pengalamannya mengambil sepak pojok yang menentukan 20 tahun lalu.

Ketika bersiap mengeksekusi di sudut lapangan Camp Nou yang terasa sempit, Becks melihat Schmeichel berlari ke kotak penalti Bayern. Ia berpikir, jika gagal mengirimkan umpan bagus, maka Ia harus bersiap menghadapi murka Schmeichel. Entah benar-benar ada dampaknya atau tidak, bola umpan Beckham berakhir di jala gawang Oliver Kahn.

Perasaan takut tersebut berasal dari rasa hormat. Schmeichel, bersama dengan Roy Keane dan Dennis Irwin, menjadi pelindung bagi Beckham dkk.

Situasi yang serupa tapi tak sama terjadi ketika Van der Sar tiba direkrut dari Fulham. Ia menghadirkan ketenangan dan kematangan. Pengalamannya yang segudang berperan besar atas peningkatan kualitas duet bek tengah Rio Ferdinand dan Nemanja Vidic. Hasilnya, Ferguson mendapatkan trofi Liga Champions kedua di Moskow pada 2008.

Harapan besar setiap suporter Man United: David De Gea, yang baru memperbaharui kontrak akan mampu mereplika jejak Schmeichel dan Van der Sar, menjadi pemimpin bagi skuat muda asuhan Solksjaer. Namun, untuk sementara, nikmati saja petualangan di Liga Europa.

VIDEO: Premier League 100 Peter Schmeichel (Link)

Komentar