Izinkan Aku Menonton Sepakbola untuk Terakhir Kalinya

Cerita

by redaksi Pilihan

Izinkan Aku Menonton Sepakbola untuk Terakhir Kalinya

Jika sudah tahu kapan ajal akan menjemput, apa yang akan anda lakukan? Hal penting apa yang akan anda nikmati di sisa-sisa hidup anda?

Pertanyaan macam itu, tentu saja, hanya bisa diajukan kepada mereka yang sudah tahu kapan kira-kira ajal akan menjemputnya. Inilah "keistimewaan" yang dimiliki oleh orang-orang yang sudah tahu hari kematiannya. Orang yang tak tak tahu kapan maut akan menjemput, tentu saja tak bisa "menikmati keistimewaan" melakukan hal-hal yang disukai sebelum hari perpisahan itu datang.

Para terpidana mati, misalnya, yang sudah diberi tahu waktu eksekusi sudah dekat, biasanya akan ditanyakan permintaan terakhirnya. Dari minta dipertemukan dengan keluarga, minta diperkenankan untuk dieksekusi dalam keadaan mata terbuka, hingga jenis-jenis makanan yang ingin disantap.

Maka mestikah diherankan jika seorang penggemar berat sepakbola yang sudah tahu hari kematiannya akan berusaha dan meminta untuk menonton kesebelasan yang disayanginya. Dan itulah yang terjadi pada Lorenzo Schoonbaert dan Rooie Marck.

Lorenzo adalah seorang suporter Club Brugge, kesebelasan dari Belgia. Pria berusia 41 tahun ini menghabiskan separuh hidupnya dengan bertarung melawan penyakit yang memaksanya bolak-balik naik ke meja operasi. 37 kali ia mengalami operasi, tapi penyakitnya tak kunjung sembuh. Sampai akhirnya, dengan mempertimbangkannya masak-masak, Lorenzo memutuskan untuk melakukan euthanasia.

Euthanasia adalah tindakan legal untuk mengakhiri hidup seseorang. Biasanya dengan menggunakan suntikan. Euthanasia hingga kini masih menjadi debat yang belum tuntas di kebanyakan negara, tapi hukum di Belgia mengizinkan dilakukannya euthanasia.

Permohonan euthanasia Lorenzo dipenuhi oleh otoritas Belgia. Dan hari penjemputan el-maut pun sudah diputuskan. Tapi euthanasia terpaksa ditunda sehari karena Lorenzo meminta untuk diberikan waktu menonton Club Brugge, kesebelasan yang sangat dicintainya. Permohonan pun segera dikirimkan pada manajemen Club Brugge, dan hari terakhir Lorenzo menikmati sepakbola pun diputuskan: 1 Maret 2015.


Hari itu berlangsung laga antara Club Brugge vs Royal Mouscron-Pruwelz. Lorenzo datang ke stadion Jan Breydel bersama putri kecilnya bernama Dina. Ia datang di tengah 20 ribu suporter yang memadati stadion. Ia mengenakan celana jeans biru, cardigan berwarna hitam menyelimuti tubuhnya yang kurus kering, dan syal berwarna abu-abu yang melilit di lehernya.

Wajahnya terlihat pucat, bentuk wajahnya sudah amat tirus, memperlihatkan tulang-tulang pipi dengan kentara. Tubuhnya sudah sangat kurus. Kelopak matanya memang sudah cekung, tapi sorot matanya terlihat bercahaya -- seakan hendak mengutarakan bahwa ia masih bisa merasakan kebahagiaan terakhir dengan menyaksikan kesebelasan yang dicintainya berlaga.

Manajemen Club Brugge memberinya tempat yang sangat nyaman di tribun VVIP bersama putrinya. 20 ribu orang yang hadir berkali-kali memberikan aplaus panjang. Sebuah spanduk raksasa bertuliskan "You`ll Never Walk Alone" terbentang di tribun ditujukan pada Lorre, sapaan akrab Lorenzo. Ia diberi kehormatan untuk memasuki lapangan bersama Dina, putri kecilnya yang berusia tujuh tahun. Lorenzo diberi kesempatan untuk melakukan tendangan kehormatan sebelum laga bersama putrinya.

ad_161902312

Mungkin karena ditonton oleh seorang suporter setia yang sedang meregang nyawa, para pemain Club Brugge tampil trengginas. Kesebelasan yang raihan gelar juara liga domestiknya hanya kalah dari Anderlecht ini (meraih 13 kali gelar juara liga) akhirnya unggul telak 3-0 di bawah tatapan kelopak mata yang cekung namun dengan sorot mata yang bersemangat dari Lorenzo.

Setelah pertandingan, dengan mata yang berlinangan air mata, Lorenzo mengaku sangat berbahagia. "Sekarang saya sangat berbahagia. Mimpi terakhir saya sudah terpenuhi. Kini saya bisa mati dengan tenang. Saya akan merayakan ini di surga," katanya.

Ia berterimakasih atas sambutan dan penghormatan yang diberikan oleh manajemen Club Brugge, juga 20 ribuan suporter yang hadir. Ia kemudian berbicara tentang putri kecilnya, Dina. "Ini akan menjadi kenangan yang luar biasa berharga bagi putri saya, dia bisa menikmatinya sepanjang hidupnya," pungkasnya.

Keesokan harinya, tindakan euthanasia pun dilakukan. Pada akun facebook milik keluarga Lorenzo, keluarga mengumumkan bahwa suntikan terakhir sudah diberikan dan ia sudah wafat.

Pihak keluarga juga mengatakan: "Seperti yang pernah ia katakan, kami harus melihat ke atas... dan di sana terlihat sebuah bintang yang bercahaya, itulah Lorre. Dia akan selamanya menjadi orang yang berharga, dicintai dan dirindukan. Lorre berani sampai menit-menit terakhirnya dan menikmati saat-saat terakhir dengan orang-orang yang dekat dengan hatinya."








Lain lagi cerita Rooie Marck, seorang fans berat Feyenord Rotterdam. Ia memang tidak mengambil keputusan untuk melakukan euthanasia, tapi umurnya sudah sangat dekat dengan akhir. Penyakit kanker yang menggerogoti tubuhnya sudah benar-benar mengganas dan sangat sulit untuk dienyahkan.

Di hari-hari terakhir hidupnya itu, Rooie yang berusia 54 tahun memutuskan untuk berkunjung ke De Kuip, kandang Feyenord. Tidak ada pertandingan, karena saat itu musim belum dimulai. Feyenord bahkan baru memulai sesi latihan pra-musim. Rooie datang di sesi pertama latihan pramusim 2003/2014.

Tapi Feyenord memang punya suporter yang gila. Bahkan sesi latihan pra musim pun bisa disesaki oleh para suporter. Saat Feyenord pergi ke Verona untuk mengadakan laga pra musim, 700 suporter mereka menempuh jarak hampir 1500 mil hanya untuk sebuah laga pra-musim.

Simak juga bagaimana Feyenord menikmati sesi latihan pertama di pra-musim 2007/2008. Musim sebelumnya mereka hanya duduk di peringkat ke-9 di klasemen akhir Eredivisie, level tertinggi dalam kompetisi sepakbola di Belanda. Tapi itu tak membuat antuasiasme suporternya mengendur. Di hari pertama latihan pra-musim 2007/2008, sebanyak 20 ribu suporter datang ke stadion menonton pemain-pemain pujaan mereka berlatih.

Tentang fanatisme suporter Feyenord, simak beberapa cerita yang pernah kami tuliskan:

Rekam Jejak Kekerasan SCF, Hooligans Feyenoord
F-Side, Sisi Buas Suporter Ajax Amsterdam
Saat Giordano Bruno Menertawai Perusuh dari Rotterdam

Tapi ada yang berbeda di sesi pertama latihan pra-musim 2013/2014. Bukan karena jumlah suporter yang datang sedikit, sama sekali bukan itu. Suporter yang datang juga banyak. Bendera, spanduk dan flare mewarnai menit demi menit sesi latihan itu. Kali itu berbeda karena kedatangan Rooie Marck, penderita kanker yang sedang sekarat.

Rooie memang sangat ingin melihat kembali Feyenoord. Ia tahu waktunya sudah semakin dekat, tapi kompetisi masih agak lama dimulai. Masih sekitar sebulanan lagi. Ia tak tahu apakah usianya masih bisa menjangkau laga pembuka Feyenord musim 2013/2014 ataukah tidak. Maka ia memutuskan untuk melihat Feyenord berlatih.

rooie

Ditemani oleh beberapa kerabat dan rekan-rekannya, Rooie memasuki De Kuip dalam posisi rebahan di atas ranjang rumah sakit. Ribuan suporter yang ada di stadion langsung memberinya aplaus panjang sembari menyanyikan lagu "You`ll Never Walk Alone". Di salah satu tribun, terbentang spanduk raksasa bergambar Rooie yang sedang berdiri di bawah tower lampu stadion.

Di area belakang gawang, serentak para suporter Feyenord menyalakan flare. Asap berwarna merah pun mengepul ke udara, sementara air mata meleleh dari sepasang bola mata Rooie yang masih dalam posisi rebah di ranjang rumah sakit. Ia terlihat menutup mulutnya, seakan hendak menahan lompatan emosi yang mungkin hendak meloncat keluar dari mulutnya.

Rooie yang mengenakan kaos berwarna hijau dengan celana bewarna krem segera bangkit dari rebahnya. Ia balas memberikan aplaus kepada suporter. Saat itulah, para pemain Feyenord yang ada di seberang lapangan berjalan menuju arahnya. Semua pemain, tanpa kecuali, menyalami dan memeluk Rooie.





Rooie tak kuasa menahan tangis. Dengan menahan emosi, ia mengepalkan tangannya dan berkali-kali memukulkan lengannya perlan ke dada kirinya.

Ia sempat berbincang-bincang sejenak dengan para pemain. Lalu ia pun melangkah, dengan langkah kaki yang berat dan tersaruk-saruk sehingga harus dipapah, mengelilingi lapangan, dengan bendera Feyenord berkibar di sebelahnya.

Rooie kemudian berhenti di salah satu curva stadion di mana spanduk bergambar dirinya terbentang jelas. Rooie melempatkan ciuman jauh kepada suporter Feyenord yang memberinya aplause, sembari diselingi menepuk-nepuk dada kirinya dengan tangan kanan yang terkepal.

Tiga hari kemudian Rooie akhirnya meninggal. Suporter Feyenord melepas kepergiannya dengan berkonvoi sepanjang jalan dari De Kuip ke pemakaman, sembari menyanyikan lagu-lagu Feyenord, juga menyalakan flare.

Asap berwarna merah menyala dan membumbung ke udara. Di langit sana, Rooie mungkin melihatnya dan kemudian menepuk-nepuk dada kirinya dengan kepalan tangan kanannya.

Sepakbola menjadi denyut nadi yang masih bisa memompa gairah bagi orang-orang yang sedang sekarat sekali pun. Dan sepakbola yang menggairahkan itu pula yang mungkin mereka bawa ke alam baka.

Baca juga puluhan cerita yang kami tuliskan tentang dinamika fanatisme suporter di LAMAN INI.

Komentar