Persija Pun Tak Murni Lagi

Cerita

by Ardy Nurhadi Shufi Pilihan

Ardy Nurhadi Shufi

Juru Taktik Amatir
ardynshufi@gmail.com

Persija Pun Tak Murni Lagi

Dalam laporan terbaru Tirto, fakta tentang kepemilikan Persija Jakarta menyibak polemik tersendiri. Persoalan siapa yang menjadi pemilik Persija ini menjadi penting karena sebelumnya Persija merupakan role model tentang bagaimana sebuah kesebelasan Indonesia tetap menjaga tradisi Perserikatan meskipun harus tetap mengikuti modernisasi.

Pada 2015 lalu, perihal kepemilikan Persija sendiri sudah menjadi isu besar. Apalagi ketika itu Persija terlilit utang yang cukup besar. Dari situ banyak pihak meminta Pemprov DKI turun tangan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Tapi yang terjadi kemudian, meski sempat diisukan akan membeli saham Persija sebanyak 20%, pemerintah DKI tak bisa berbuat banyak karena Persija tetap dengan kepemilikan yang ada.

Kini, Persija, disebutkan Tirto, dimiliki tiga pihak besar; PT Persija Jakarta Hebat, Yayasan Persija Muda, dan PT Persija Jaya Jakarta. Yang patut kita soroti adalah bagaimana Yayasan Persija Muda yang sebelumnya menjadi nyawa eks Perserikatan mencengkeramkan sejarahnya di sana kian tergerus dari kue kepemilikan klub. Sempat memiliki 30% saham klub, kini hanya 5% saja yang dimiliki Yayasan Persija Muda.

Sebelumnya, di antara eks kesebelasan-kesebelasan Perserikatan, Persija menjadi kesebelasan yang masih mencontohkan bagaimana seorang ketua umum klub bisa dipilih melalui musyawarah daerah seperti era perserikatan. Pada 2011 misalnya, Ferry Paulus ditunjuk menjadi ketua umum Persija setelah unggul dari Toni Tobias dan Benny Erwin lewat pemungutan suara. Cara ini yang dilakukan oleh Barcelona atau Real Madrid dalam menunjuk Presiden klub.

Hal di atas menunjukkan bahwa Persija sebagai kesebelasan eks perserikatan masih terlihat bahwa Persija masih milik bersama, milik klub-klub anggota (atau bond) Persija itu sendiri sebagaimana era Perserikatan. Bagaimanapun, Perserikatan sebenarnya pengejawantahan semangat dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Ini menunjukkan ketika klub Perserikatan lain dimiliki oleh sekelompok pihak yang tidak jelas struktur kepemilikannya, Persija tetap mengusung semangat Perserikatan meski tetap harus mengikuti perkembangan zaman.

Ketika itu Persija benar-benar mewujudkan "against modern football" seperti yang diserukan oleh komunitas-komunitas suporter Eropa sana. Menghamba pada modernitas memang bisa sangat merugikan suporter itu sendiri, yang paling kentara tentu bisa seenaknya menaikkan harga tiket untuk kepentingan bisnis semata. Beberapa kesebelasan Indonesia pun merasakan hal tersebut saat ini.

Namun Persija pun nyatanya termakan oleh zaman. Kepemilikan Persija tak murni lagi setelah masuknya investor baru pada 2017 lalu. Bahkan investor baru Persija yakni PT Persija Jaya Jakarta memiliki kue terbesar dalam kepemilikan Persija yakni sebesar 80% (Yayasan Persija Muda 5% dan PT Persija Jakarta Hebat yang dimiliki Ferry Paulus beserta anaknya 15%) setelah disebut-sebut membayar utang Persija yang mencapai 90 miliar rupiah.

Menariknya, PT Persija Jaya Jakarta ini sahamnya dimiliki oleh PT Jakarta Indonesia Hebat, yang saham mayoritasnya (95%) dimiliki oleh Joko Driyono, Wakil Ketua Umum PSSI yang saat ini menjadi Plt Ketua Umum PSSI mengisi kekosongan Edy Rahmayadi yang cuti. Gede Widiadi yang selama ini muncul sebagai sosok yang paling berpengaruh bagi Persija nyatanya "hanya bekerja sebagai profesional" semata.

Bisa dibilang kepemilikan Persija pun mulai seperti kepemilikan klub-klub Indonesia lain di mana "investor asing" punya kekuasaan lebih mengenai nasib klub. Maka tak heran ini juga sebenarnya bisa mengancam identitas Persija jika perlahan-lahan bond-bond Persija tak lagi punya saham di masa yang akan datang. Hal itu juga ditakutkan oleh mantan Ketua Umum Jakmania, Richard Achmad.

"Saya khawatir soal itu (kepemilikan klub anggota Persija hilang). Hal itu harusnya dipertanyakan oleh semua pihak stakeholders Persija Jakarta untuk keberlangsungan sistem industri sepakbolanya dan soal kepemilikan. Jangan sampai ada satu kelompok yang menguasai klub-klub itu," kata Richard saat kami hubungi.

"Kalau dari saya, konsorsium atau apa itu namanya yang menguasai Persija ini, dari segi industri ada baiknya. Tapi kalau dikuasai monopoli gak bagus. Haknya Persija kan ada di 30 klub internal itu. Kalau itu hilang berarti Persija ini bisa pindah ke kota mana, ke provinsi mana, identitas Jakarta-nya bisa hilang," sambungnya.

Dari pihak Yayasan Persija Muda sendiri, diwakili oleh Budiman Dalimunte, mengatakan bahwa mereka meski hanya memiliki sedikit saham, punya hak veto dalam beberapa kebijakan. Salah satunya soal perpindahan Persija ke luar Jakarta. "Meski sedikit dan saham kami cenderung delusional, kami diberi kekuatan veto dalam beberapa kebijakan. Di antaranya kami akan menentang keras jika Persija dibawa keluar dari Jakarta, berganti logo atau nama," kata Budiman yang juga menjabat sebagai komisaris di PT Persija Jaya Jakarta.

Dengan saham minoritas dari Yayasan Persija Muda, kekhawatiran Richard sebenarnya tetap masuk akal. Kesebelasan-kesebelasan internal, termasuk di kesebelasan lain, memang tidak punya uang untuk mendanai kesebelasan profesional selama satu musim sehingga harus mengandalkan pihak lain. Semakin berkembangnya industri sepakbola jelas tidak menghilangkan kemungkinan bahwa Yayasan Persija Muda bisa terus bertahan tanpa adanya kontribusi nyata bagi klub.

Tidak seperti di era Perserikatan, kesebelasan-kesebelasan anggota saat itu menjadi jantung setiap kesebelasan itu sendiri. Tak ada klub anggota, tak ada pemain. Sementara sekarang pemain bisa didapatkan dengan mudah dari luar daerah. Industri sepakbola, yang juga saat ini juga nyatanya telah benar-benar menjangkiti sekujur tubuh Persija, membuka jalan itu dan menandakan bahwa sisa-sisa Perserikatan dalam tubuh Persija pun bisa kapan saja tak bersisa.

Komentar