Tak Berdaya Menghadapi Rasisme

Editorial

by Ardy Nurhadi Shufi

Ardy Nurhadi Shufi

Juru Taktik Amatir
ardynshufi@gmail.com

Tak Berdaya Menghadapi Rasisme

Awal April 2019, Moise Kean menghebohkan jagat bola. Selain karena gol-gol yang diciptakannya, dia jadi tajuk utama karena Kean dengan berani melawan rasisme yang menimpanya. Pemuda berusia 19 tahun itu "menantang" orang-orang Cagliari yang meledek warna kulitnya lewat gol dan selebrasi: membuka tangannya lebar-lebar, menghadap mereka yang "menyerangnya", tanpa satu kata pun.

Rasisme memang perlu dilawan. Tak heran aksi Kean itu mendapatkan dukungan dari banyak pihak. Pasalnya sekarang, rasisme telah menjadi penyakit kronis di sepakbola yang bisa kapan saja menyakiti mereka yang "berbeda". Semakin banyak pemain yang telah jadi korban rasisme ini.

Korban Rasis Terus Bertambah

Salah satu definisi rasisme, menurut Steve Garner dalam bukunya Racisms: An Introduction, adalah superioritas salah satu ras terhadap ras yang lain, yang dalam hasilnya berupa diskriminasi dan prasangka terhadap orang lain berdasarkan ras atau etnis. Walau begitu, rasisme tidak terpaku pada definisi di atas.

Namun secara garis besar, rasisme adalah salah satu bentuk diskriminasi sosial karena perbedaan ras. Diskriminasi sosial sendiri terbagi ke dalam beberapa objek. Tapi di sepakbola, rasisme adalah jenis diskriminasi yang paling sering terjadi. Para pemain berkulit hitam paling sering menjadi korban.

Kick It Out, sebuah organisasi yang dibentuk untuk melawan diskriminasi di sepakbola, khususnya di Inggris, mencatat korban rasisme di sepakbola terus meningkat. Di Inggris, pada musim 2017/18, terdapat 273 (atau 52,5%, tertinggi, dari total 520 kasus diskriminasi) kasus rasisme jika mengalkulasikan kejadian-kejadian dari sepakbola profesional, amatir, akar rumput, dan perempuan. Angka tersebut meningkat 22% dari 2016/17.

Musim 2018/19 pun tak luput dari kasus rasisme. Dimulai dari apa yang dialami Danny Rose saat membela Timnas Inggris kala menghadapi Montenegro sampai kejadian yang dialami pelatih Ipswich Town U18 dan pemainnya. Mereka "disakiti" karena perbedaan warna kulit.

Perlu diketahui, Kick It Out dibentuk pada 1993. Sudah seperempat abad mereka menjadi lembaga yang berusaha menolong para korban dan menyuarakan kesetaraan selantang-lantangnya. Namun diskriminasi, di mana rasisme merupakan objek terbesar (dibanding keyakinan, homofobia, disabilitas, dan gender), tetap terjadi dan terus bertambah.

Pertumbuhan rasisme terus meningkat seiring perkembangan zaman. Kini media sosial adalah alat paling populer sekaligus terdekat dengan para pelaku rasisme untuk "menghujam" para korban. Masih menurut Kick It Out, peningkatan rasisme lewat media sosial pada 2017/18 meningkat sebesar 18,4% ketika objek diskriminasi lain (kecuali disabilitas) persentasenya menurun.

FIFA selaku organisasi sepakbola terluhur bukannya diam menghadapi kasus-kasus rasisme, melainkan mereka memang tak berdaya. Mereka tidak punya landasan regulasi yang kuat untuk bisa menendang jauh-jauh rasisme dari sepakbola. Karenanya walaupun sudah menggalakan slogan "Say No to Racism", korban rasis tetap terus bertambah.

Mario Balotelli adalah salah satu pemain yang cukup sering mendapatkan aksi rasisme. Pada sebuah momen, dia diduga menangis di bench setelah "mendapatkan" suara monyet dari tribune. Dari Italia, ke Inggris, sampai sekarang bermain di Perancis, dia tetap mendapatkan serangan rasisme dari tribune.

Pada 2013, Kevin-Prince Boateng juga memutuskan meninggalkan lapangan ketika pendukung lawannya, Pro Partia, menirukan suara monyet setiap kali dia menguasai bola. Aksi tersebut mengundang simpatik dan dukungan terhadap Boateng karena memang tidak banyak yang dengan lantang melawan rasisme di sepakbola.

Setahun berikutnya, Daniel Alves mendapatkan lemparan pisang dari penonton ketika pertandingan berlangsung (diresponsnya dengan memakan pisang tersebut). Hal yang kurang lebih sama dialami Pierre-Emerick Aubameyang ketika pendukung Tottenham Hotspur melempar kulit pisang kepadanya.

Raheem Sterling lebih dahsyat. Dia bahkan kerap diberitakan "aneh-aneh" sehingga namanya terus tercoreng oleh pemberitaan sejumlah media, khususnya The Sun. Sterling kerap jadi sasaran rasisme justru karena dia semakin menunjukkan kapabilitas dan prestasinya ketika semakin banyak orang yang hanya melihat negatif dirinya karena warna kulit yang berbeda.

Rasisme kerap terjadi tentu bukan karena sepakbolanya. Rasisme adalah masalah sosial. Lingkungan sosial para pelaku jadi faktor paling utama.

Namun selain itu, efek jera terhadap para pelaku juga jadi penyebabnya. Mayoritas kasus tidak berbuah hukuman berarti untuk para pelaku, terlebih respons federasi menyikapi hal ini lebih sering berupa denda atau hukuman tanpa penonton. Secara tidak langsung, rasisme terpelihara karena tidak adanya regulasi yang bisa membentuk sosial yang menjauhkan para individu dari aksi rasial.

"Ini menyedihkan, ketika sebuah negara hanya didenda yang senilai dengan, mungkin, apa yang aku habiskan di London dalam satu malam. Apalagi yang bisa diharapkan?" respons Rose ketika mengingat kembali FIFA "hanya" menghukum denda sebesar 65 ribu euro pada Serbia atas tindakan pendukung mereka yang melakukan tindakan rasisme terhadap Rose di laga Serbia U21 vs Inggris U21 pada 2012 silam.

Perlu diketahui, gara-gara aksi rasis pendukung Montenegro, Rose sampai menyatakan ingin segera pensiun dari sepakbola. Teranyar, FIFA telah menjatuhkan hukuman pada Montenegro, yakni satu laga tanpa penonton plus denda sebesar 20 ribu euro. Yang disesalkan Rose kembali terjadi.

Ketika Balotelli mendapatkan aksi rasial dari pendukung Juventus pada 2009, untuk pertama kali, Juve hanya dihukum denda. Hukuman tersebut terbukti tak memberi efek jera karena beberapa bulan kemudian hal tersebut kembali terjadi ketika fans Juve meneriaki Balotelli dengan "Tidak ada orang Italia berkulit hitam!". Juve lantas kembali mendapat denda plus hukuman satu laga kandang tanpa penonton.

Sayangnya hukuman-hukuman yang diberikan pada Juventus sejak satu dekade lalu tak berdampak banyak pada para pelaku rasisme. Pada 2018 giliran bek Napoli, Kalidou Koulibaly, yang jadi sasaran rasisme mereka. Toh, klub-klub lain pun mulai bergiliran mendapatkan hukuman karena tindakan rasis pendukungnya, di mana ini menunjukkan bahwa rasisme telah menjadi masalah sosial di Italia.

Pelaku rasisme hanya segelintir, dan mungkin orang yang sama. Karena jarangnya ada hukuman spesifik terhadap para pelaku itulah yang tampaknya membuat aksi rasialisme terus menghantui dari tribune suporter. Pelaku seperti seorang pendukung Liverpool, Phillip Gannon, yang dihukum tidak boleh ke stadion selama empat tahun setelah menirukan gerakan monyet pada Patrice Evra sangat jarang terjadi.

Faktor Lain Penyebab Rasisme Terpelihara

Rasisme benar-benar terjadi di sepakbola. Sampai detik ini. Hal tersebut tidak bisa dimungkiri lagi. Sialnya masih banyak orang yang merasa bahwa rasisme bukan hal besar.

Leonardo Bonucci sempat mengatakan "kesalahannya 50:50" pada kasus Kean (yang kemudian dia klarifikasi) atau Pelatih Montenegro yang mengatakan tidak merasa ada yang aneh atas perilaku suporternya di laga melawan Inggris adalah sedikit buktinya. Atau Presiden FIFA kedelapan, Sepp Blatter, yang memberi pernyataan kontroversial ketika mengomentari insiden aksi rasialisme Luis Suarez pada Patrice Evra (2011) dengan mengatakan "Tidak ada rasisme, tapi mungkin ada kata atau gerakan yang kurang tepat. Apa yang terjadi saat itu harusnya diakhiri dengan jabat tangan."

Ben Carrington, seorang profesor sosiologi dan jurnalisme dari Universitas Southern California, berpendapat bahwa terus munculnya kasus rasisme di sepakbola dikarenakan masih banyak pihak yang menganggap rasisme tidak ada. "Aku pikir poin pentingnya adalah penolakan bahwa rasisme itu ada. Lalu ketika rasisme itu terjadi atau terlihat, hal tersebut akan dibingkai ulang atau dikesampingkan," kata Ben dalam wawancara dengan SB Nation.

Faktor lain yang keluar dari pernyataan Ben, dan cukup menarik, adalah bahwa aksi rasisme tetap ada di sepakbola karena adanya dukungan terhadap klub tertentu dari suporter yang tidak puas ketika pemain lawan bermain bagus.

Mungkin hanya suporter Urawa Reds yang melakukan aksi rasis dengan membentangkan banner bertuliskan "hanya untuk orang Jepang" untuk "mengusir" turis dan orang asing yang kerap menghadiri Stadion Saitama (beberapa pengamat menilai banner tersebut ditujukan pada turis Tiongkok dan Korea Selatan). Sisanya, kasus rasisme lebih banyak tentang seorang pemain "diserang" oleh pendukung tim lawan.

Buktinya adalah ketika, misalnya, sebagian pendukung Juventus yang "hanya" melakukan tindakan rasis pada Koulibaly yang berkulit hitam padahal di Juventus sendiri terdapat pemain hitam juga seperti Blaise Matuidi dan Moise Kean. Atau pendukung Chelsea yang mengatai Sterling karena warna kulitnya meski Chelsea punya N`Golo Kante, Antonio Rudiger, Willian Borges, dan Callum Hudson-Odoi yang juga berkulit hitam. Masih banyak lagi contoh kasus lain. Dan itu menunjukkan bahwa pelaku rasisme "menyerang" korbannya karena mereka berada di pihak tim lawan.

Sialnya, tanpa kegilaan suporter, sepakbola tidak akan menjadi olahraga yang paling digemari dunia. Setiap 90 menit pertandingan sepakbola punya tanggung jawab terhadap emosional penonton dan pendukung sebuah kesebelasan. Sepakbola tak bisa dipisahkan dari loyalitas tanpa batas suporter dalam mencintai kesebelasan yang didukungnya, yang terkadang diwujudkan dengan cara yang salah. Mungkin karena itulah sepakbola selalu tak berdaya menghadapi kasus rasisme yang dilakukan oleh para suporter.


Komentar