Harum Mawar Putih Yorkshire yang Terlupakan

Backpass

by Evans Simon

Evans Simon

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Harum Mawar Putih Yorkshire yang Terlupakan

Kilau pengemasan Premier League memudahkan kita lupa Liga Inggris punya wajah berbeda dahulu kala. Jadwal berantakan, dugaan pengaturan skor, hingga wabah hooliganisme menjadikan sepakbola sebagai olahraga hina (setidaknya di mata Margaret Thatcher). Rasanya wajar jika kisah sensasional sang kampiun terakhir, Leeds United, turut termakan zaman.

Kejatuhan pamor Leeds bukan salah pengelolaan liga semata. Bukan juga salah keterlambatan kehadiran media sosial yang memudahkan klub-klub zaman sekarang untuk mempertahankan diri dalam tataran teratas diskusi dunia maya. Faktanya, mereka sempat menikmati status sebagai salah satu klub elite Inggris di era modern.

Leeds hanya pernah mengakhiri musim di luar lima besar Premier League sebanyak dua kali dari tahun 1994 hingga 2002. Mereka bahkan mampu menjejakkan kaki di semifinal Liga Champions UEFA pada 2000/01. Sebuah skuat istimewa berisi para pemain muda potensial yang terasa bagai mitos bagi Generasi Z.

Potensi tersebut juga yang membuat cerita terdegradasinya Leeds pada 2004 begitu legendaris. Pengelolaan keuangan yang buruk berbuntut panjang. Alih-alih langsung bangkit dan kembali promosi, mereka justru pernah terjatuh sampai ke divisi ketiga (Football League One).

Leeds memang bukan klub populer secara umum. Mereka sudah berkutat di luar Premier League selama lebih dari satu dekade. Namun, bagi publik Inggris, Leeds tetap dan selamanya klub tradisional.

Leeds sebenarnya hanya pernah tiga kali merajai Inggris. Trofi Piala FA mereka hanya satu, begitu juga Piala Liga Inggris. Apa yang menjadikan mereka begitu berkesan? Jawabannya adalah arogansi di masa kejayaan.

Dirty Leeds. Begitu mereka dipanggil pada era 1970 hingga 1980-an. Hantaman keras, tekel tinggi, dan sikutan keras adalah tipikal permainan Billy Bremner dan kawan-kawan. Dipadu dengan kemampuan individu pemain serta racikan taktik manajer Don Revie.

Kombinasi permainan menawan dan kejam yang diperagakan membawa Leeds turut berprestasi di kancah internasional: menjuarai Inter-Cities Fairs Cup dua kali.

Bagi yang lain Dirty Leeds, bagi mereka sendiri adalah Super Leeds. Mereka menjelma sebagai salah satu kesebelasan ternama di seantero Inggris. Bocah-bocah di kota-kota wilayah Yorkshire, seperti Huddersfield, Bradford, dan Hull lebih banyak yang mendukung Leeds ketimbang kesebelasan lokal.

Perjalanan tandang Leeds menjadi berkah tersembunyi bagi tuan rumah. Para penonton akan berbondong-bondong ke stadion, meski sebenarnya datang bukan untuk mendukung yang punya rumah. Adalah permainan tim tamu yang menjadi daya tarik utama. Ditambah lagi kesetiaan para suporter Leeds menemani kesebelasannya jalan-jalan dalam jumlah besar. Tiket pertandingan hampir selalu ludes terjual.

Identitas Leeds sebagai klub kotor diterima para suporternya dengan penuh kebanggaan. Ketika para lawan mempertanyakan nilai fair play, mereka selalu menjawabnya dengan kemenangan di atas lapangan.


Simak cerita dan sketsa adegan Rochi Putiray tentang cara menjadi suporter yang baik:


Kesombongan tersebut menjadikan Leeds dan suporternya dibenci hampir seluruh kelompok suporter di Inggris. Suporter Liverpool dan Manchester United, misalnya. Jika mereka terpaksa bersatu, maka musuh bersama itu pasti bernama Leeds. Mengalahkan Leeds sama seperti mengalahkan orang jahat.

Stigma tersebut melekat erat dengan klub yang bermarkas di Stadion Elland Road ini, bahkan ketika terdegradasi ke divisi kedua pada 1982. Kecuali suporter sendiri, tidak ada yang mau mengingat perjalanan ajaib manajer Howard Wilkinson membawa klub promosi ke Divisi Pertama pada 1990 dan menjuarainya dua musim kemudian.

Leeds yang Baik

"Gelar juara itu hilang dalam sejarah. Orang-orang tidak lagi membicarakan tahun sebelum Premier League dimulai, karena menurut media, sepakbola diciptakan pada 1992," ucap Lee Hicken kepada inews.

Hicken adalah sutradara dari dokumenter Do You Want to Win? yang dirilis pada 2007. Tujuannya menceritakan salah satu pencapaian besar yang terlupakan dalam sepakbola Inggris. Sebuah keajaiban yang menurutnya lebih besar ketimbang kesuksesan Leicester City atau Blackburn Rovers.

Leeds pada awal 1990 memang bukan lagi berstatus sebagai klub ternama. Berada di Second Division selama delapan musim membuat magis itu pudar.

Semua orang memandang Leeds sebelah mata ketika baru promosi ke First Division (sekarang setara Premier League). Namun mereka justru langsung berhasil mengakhiri musim perdananya di peringkat empat klasemen dan lolos ke semifinal Piala Liga Inggris. Tren tersebut disempurnakan dengan titel juara pada musim berikutnya.

Orang yang paling berjasa adalah Howard Wilkinson alias `Sergeant Wilko`. Ketika ditunjuk sebagai manajer pada 1988, dia langsung merekrut Gordon Stratchan dari Manchester United. Pemain asal Skotlandia itu sudah berusia 31 tahun ketika berlabuh di Elland Road. Tidak sedikit yang menilai masa keemasannya sudah berlalu.

"Aku merasa masih punya banyak hal untuk diberikan. Aku di sini untuk mencoba mempertangguh Leeds dan mengembalikan ke tempat mereka seharusnya berada," tegas Stratchan ketika diresmikan.

Kepercayaan Wilkinson dibayar lunas oleh Stratchan. Dia menjadi jenderal di lini tengah Leeds. Kuartetnya bersama Gary McAllister, David Batty, dan Gary Speed memiliki segala yang dibutuhkan untuk meraih trofi: kecepatan, kecerdasan, pengalaman, kreativitas, kekuatan, dan kekompakkan.

"Ketika aku masih berstatus pemain muda di Leeds, aku melihat Gordon makan pisang dan rumput laut. Aku bertanya-tanya untuk apa dia makan itu," kenang Speed seperti yang tertulis dalam Gary Speed Remembered. "Sebelumnya, jika aku merasa lapar aku akan mampir ke Burger King. Kemudian, Gordon mampu berlari lebih cepat dariku dalam latihan dan aku sadar bahwa dia melakukan hal benar dan aku salah."

Jika Stratchan adalah otak permainan dan sumber kedewasaan, maka Speed dan McAllister menjadi semangat muda yang melengkapi lewat kecepatan dan ketajaman. Adapun Batty menjadi penyeimbang sebagai tukang jagal.

Di lini depan, Leeds memiliki duet Lee Chapman dan Rod Wallace. Keduanya merupakan penyerang kompeten, berjasa besar atas produktivitas Leeds (74 gol) yang hanya kalah dari Arsenal (81 gol).

Pola serangan Leeds dibangun melalui operan-operan pendek, tak jarang dimulai dari kiper John Lukic. Barisan pertahanan yang diisi Mel Sterland, Chris Fairclough, Chris Whyte, dan Tony Dorigo pun menjalankan tugasnya secara baik.

Penyempurnaan skuat Leeds bukan jasa Wilkinson semata. Ada managing director bernama Bill Fotherby di belakang layar. Berkat kerja sama antara keduanya pula, Leeds mampu meningkatkan kepercayaan diri skuat serta para suporternya hanya melalui sebuah transfer pada pertengahan musim: merekrut Eric Cantona dari Auxerre.

Gelar juara liga ketiga sepanjang sejarah klub resmi dalam genggaman setelah mengalahkan Sheffield Wednesday dengan skor 3-2 pada 26 April 1992.

Menjuarai liga hanya dua musim setelah promosi jelas merupakan sebuah raihan istimewa. Hanya Nottingham Forest-nya Brian Clough yang punya catatan lebih baik. Lalu, mengapa bisa capaian ini mudah terlupakan?

Juara Inggris Terakhir

Andil terbesar ada di Leeds sendiri. Mereka hancur total di musim selanjutnya, musim perdana Premier League: gagal memenangi laga tandang dan mengakhiri musim hanya dua poin di atas zona degradasi.

Belum lagi, arogansi dan tingkah buruk suporter yang berhasil diredam selama beberapa tahun kembali muncul selepas Wilkinson dipecat pada 1996. Jelas tidak banyak suporter lawan yang rela merawat Leeds dalam ingatan.

Pengaruh lain (yang tak kalah signifikan) datang dari keglamoran Premier League yang menjadi babak baru sepakbola Inggris. Banyak borok yang perlu sesegeranya ditutup dan dilupakan. Bukan hanya per bagian, melainkan secara keseluruhan.

Jadwal pertandingan pra-Premier League sangat berantakan. Rival langsung Leeds dalam perebutan titel juara 1991/92, Manchester United, harus menjalani empat dari lima laga terakhir dalam kurun waktu tujuh hari. Mereka hanya mampu meraih satu poin, sementara tiga laga lain berakhir dengan kekalahan.

Leeds mengukuhkan gelar juara tepat pada kekalahan Man United yang ketiga secara beruntun (0-2 dari Liverpool). Lebih banyak yang melihat Man United dirampok ketimbang memuji Leeds.

Jangan lupa, Leeds juara hanya tiga tahun setelah Tragedi Hillsborough. Tragedi itu menjadi titik kulminasi kebencian nasional terhadap hooliganisme, menjadi dosa sepakbola yang sulit dimaafkan khalayak (sebelum akhirnya diketahui ada fakta investigasi yang ditutupi).

Namun itu semua tak kemudian menutup pintu sejarah. Bagi Wilkinson, Stratchan, McAllister, Batty, Speed, Chapman, Wallace, Dorigo, sampai Cantona, mereka bukan sekadar the champions (sang juara), melainkan the last champions (sang juara terakhir).

Leeds United adalah kampiun terakhir Inggris sebagai Football League (First Division) sebelum dibentuknya Premier League yang glamor: hak siar tinggi, stadion dengan semua-tempat-duduk, pemain-pemain asing yang mewah, transfer dan gaji multi-juta paun, dan pemilik-pemilik miliuner.

Sampai saat ini (2019) Howard Wilkinson masih menjadi orang Inggris (bukan Britania Raya seperti Alex Ferguson dari Skotlandia) terakhir yang bisa menjuarai Liga Inggris. Dengan para pemain yang bahkan saat itu rata-rata gajinya tak lebih tinggi daripada para penonton di tribune, menjadikan gelar juara liga pada 1992 menjadi gelar yang dimenangi oleh orang-orang biasa. Gelar ini adalah akhir dari sebuah era, yang menjadi awal untuk era yang lain (Premier League).

Dave Simpson, dalam bukunya yang berjudul The Last Champions, menulis: "Hampir sejak momen Wilkinson mengangkat trofi juara, sepakbola Inggris sedang mengalami revolusi."

Suka atau tidak, kehadiran Premier League yang mewah dilihat sebagai penyelamat. Masa-masa kelam penuh kekerasan dalam sepakbola Inggris dikubur dalam-dalam, termasuk harum terakhir Mawar Putih Yorkshire.

Komentar