Egy Maulana, Lechia Gdansk, dan Kekuatan Sepakbola yang Mengubah Polandia Selamanya

Cerita

by redaksi Pilihan

Egy Maulana, Lechia Gdansk, dan Kekuatan Sepakbola yang Mengubah Polandia Selamanya

Pertanyaan ke mana Egy Maulana Vikri akan berlabuh sudah terjawab. Salah satu kesebelasan di pantai utara Polandia, Lechia Gdansk, menjadi pelabuhan bagi pemain kelahiran Medan ini. Bukan hal kebetulan, kota Gdansk memang merupakan kota pelabuhan.

Dibandingkan dengan kota atau kesebelasan lain di Polandia, Gdansk tidak setenar Warsawa, Poznan, atau Krakow. Namun jika membicarakan sejarah Polandia kontemporer, kita tak akan bisa lepas dari tiga nama ini: Lech Walesa, Solidarnosc, dan Lechia Gdansk.

Nama terakhir hanya dikenal sebagai kesebelasan “kurcaci” di Polandia, meski kita harus tahu, Lechia Gdansk bukan sembarang kurcaci.

Sepakbola sebagai Simbol Perlawanan

Di abad 20, Polandia jadi salah satu contoh bangsa yang tak henti-hentinya mengalami represi sekaligus menggelar perlawanan. Melawan serbuan Rusia pada 1920-an, mengalami pendudukan sekaligus melawan rezim NAZI Jerman, dan melawan represi rezim komunis sepanjang era 1970-1980an. Jangan lupa, serbuan blitzkrieg Jerman ke Polandia pada 1 September 1939 adalah “kick-off” dimulainya Perang Dunia ke-II.

Selepas Perang Dunia II, menyusul bergabungnya Jerman Barat ke NATO, negara-negara Eropa berhaluan komunis di bawah pengaruh Soviet menggelar pertemuan di Warsawa pada 1955. Di sana mereka membentuk aliansi militer untuk menghadapi Sekutu melalui sebuah perjanjian yang masyhur dengan sebutan "Pakta Warsawa".

Setelah itu, Polandia sepenuhnya berada di bawah kontrol rezim komunis. Sampai kemudian, melalui para buruh di galangan kapal di kota Gdansk, Lech Walesa muncul menjadi pemimpin gerakan buruh melawan rezim komunis. Walesa menjadi salah satu pendiri organ perlawanan bernama Solidarnosc (Solidaritas).

Dipelopori oleh tidak lebih dari 50 buruh, Solidarnosc dengan cepat menjadi organ perlawanan terpenting terhadap rezim komunis. Walesa menuai sukses besar saat berhasil memimpin pemogokan 17 ribu buruh galangan kapal di Gdansk. Rezim komunis terpaksa berdialog dengan Solidarnosc dan berujung kesepakatan penghentian mogok kerja pada 31 Agustus 1980.

Butuh waktu sampai 1989 sampai akhirnya rezim komunis tersingkir dari pemerintahan. Akan tetapi, orang-orang tahu, semua berawal dari Gdansk, Solidarnosc, dan Lech Walesa. Sejarah mencatat bagaimana Gdansk menjadi retakan pertama dari arus sejarah keruntuhan komunisme di Eropa yang memuncak dengan runtuhnya Uni Soviet pada 1991.

Walesa mengakui peran penting sepakbola dalam aktivisme perlawanan pada rezim komunis di Polandia. Sepakbola saat itu menjadi katarsis bagi rakyat Polandia.

Keberhasilan Polandia menjadi juara 3 di Piala Dunia 1982 membuat antusiasme pada sepakbola menjadi makin menggebu. Pertandingan-pertandingan sepakbola menjadi tempat pertemuan berbagai orang dan berbagai pendapat.

Orang-orang Polandia di luar negeri juga menggelar perlawanan, lagi-lagi sepakbola menjadi salah satu mediumnya.

Ketika timnas Inggris U21 menjamu Polandia U21 pada 7 April 1982 di London, anggota organisasi Polish Solidarity Campaign yang berbasis di Inggris menyusup ke stadion dan membentangkan spanduk serta menyanyikan lagu-lagu perlawanan.

Aksi itu bukan hanya didengar mereka yang ada di stadion, tapi juga jutaan orang lain yang menyaksikannya lewat televisi. Jangan heran jika siaran langsung pertandingan Timnas Polandia di Piala Dunia 1982 di Spanyol sampai harus di-delay beberapa menit untuk mengantisipasi munculnya pesan-pesan perlawanan di layar kaca.

Demokrasi 1-0 Komunisme

Momen penting yang mengaitkan Lech Walesa, sepakbola, dan perlawanan terhadap rezim komunis yang diorganisir Solidarnosc muncul pada 28 September 1983 saat kesebelasan Lechia Gdansk menjamu Juventus di babak kualifikasi Piala Winners 1983.

Walesa baru saja dibebaskan dari penjara dan dikenai kewajiban melapor secara berkala. Di hari pertandingan, Walesa berhasil “diselundupkan” para pengawalnya ke dalam stadion.

Lechia memang kalah 2-3 dari Juventus. Akan tetapi, kehadiran tiba-tiba Walesa di stadion menjadi salah satu momen penting Solidarnosc yang sempat redup menyusul penangkapan sejumlah tokoh pentingnya. Walesa saat itu muncul di tribun pada pertengahan babak pertama.

Kerumunan massa di stadion menyambut Walesa dengan aplaus panjang disertai suara sambung menyambung meneriakkan nama Solidarnosc sepanjang pertandingan. “Untuk kami, itu adalah kemenangan yang diraih oleh kesebelasan hebat,” kenang Walesa, dikutip dari The Guardian. “Semuanya terdengar sangat sempurna.”

Lechia Gdansk memang kesebelasan “kurcaci” di Polandia dan lebih banyak bermain di divisi bawah, bahkan sempat terjun bebas ke divisi 5 dalam piramida sepakbola Polandia.

Prestasi terbesar Lechia adalah saat menjuarai Polish Cup pada 1983 secara luar biasa. Sebagai kesebelasan dari kompetisi level 3 saat itu, Gdansk mengalahkan kesebelasan-kesebelasan papan atas Polandia. Trofi Polish Cup 1983 itulah yang membuat Lechia mendapatkan tiket kualifikasi Piala Winners 1983 yang mempertemukan Lechia dengan Juventus tadi.

Kendati tak punya prestasi mentereng, Lechia akan dikenang sebagai bagian penting gerakan perlawanan yang diinisiasi oleh Solidarnosc. Sebagian besar anggota Solidarnosc di Gdansk, termasuk Lech Walesa, adalah suporter Lechia. Secara berkala, para suporter Lechia memasang spanduk Solidarnosc di laga kandang Lechia.

Laga melawan Juventus yang berakhir 3-2 sampai sekarang masih dikenang sebagai salah satu momen di mana sepakbola menjadi bagian inheren dari gerakan emansipasi di zaman modern.

Keberhasilan Walesa memasuki stadion pada laga Lechia Gdansk vs Juventus dengan terlebih dulu mengelabui polisi rahasia yang mengawasinya menjadi ilustrasi bagaimana stadion sungguh-sungguh bisa jadi tempat alternatif di mana kebebasan bisa dikerek tinggi-tinggi ke udara.

Kepada kolomnis Jonathan Wilson, Walesa berkata tribun di stadion saat itu menjadi satu-satunya tempat di mana polisi rahasia benar-benar kehilangan kontrol.

“Kami butuh untuk menunjukkan kepada Partai komunis jika mereka bukan satu-satunya yang berkuasa di Polandia saat itu,” kanang Walesa. “Kami benar-benar membuat kesal para komunis dan para polisi rahasia.”

Deskripsi Walesa itu sampai sekarang masih berlaku di tribun-tribun yang dikuasai para suporter garis keras (umum dikenal dengan sebutan “ultras”). Di tribun yang mereka kuasai itulah (umumnya di tribun utara atau selatan yang berada di belakang gawang) segala macam ekspresi yang terepresi bisa dibebaskan.

Seorang pemimpin Irriducibili Lazio dengan tegas berkata: “Stadion adalah satu-satunya tempat kami bisa berbicara dengan bebas tanpa takut didakwa subversif. Stadion jadi sepenuhnya milik kami dan di sana kami bisa memaksakan aturan kami sendiri.”

Perlawanan dari Atas Tribun

Solidaritas yang tumbuh dari pertandingan ke pertandingan membuat suporter mudah terlibat dalam gerakan perlawanan terhadap rezim penguasa.

Suporter Lechia Gdansk yang menjadi anggota Solidarnosc bukan satu-satunya contoh. Yang terbaru, ultras klub al-Ahly menjadi aktor penting gerakan perlawanan terhadap rezim Mubarak di Mesir. Mereka bukan hanya memimpin dan berada garis depan barisan para demonstran, tapi juga “mengajari” demonstran lain bagaimana seharusnya menghadapi polisi dalam bentrokan di jalan dan lorong-lorong kota Kairo.

Bahwa kelompok-kelompok suporter dengan soliditas di atas rata-rata ini juga seringkali menimbulkan masalah sosial, itu memang tak terhindarkan. Soliditas mereka, tidak bisa tidak, diikat oleh nilai-nilai tertentu yang mereka percayai, seringkali itu adalah ekstremisme berupa fasisme, rasisme, dan ultra-nasionalisme.

“Ketika kamu memainkan pertandingan di sini (Gdansk), kamu kadang bisa melihat sebuah bendera di kerumunan penonton dengan tulisan `Solidarity`,” kata penjaga gawang Lechia saat ini, Mateusz Radzewicz-Bak, yang lahir di tahun yang sama dengan pertandingan Lechia vs Juventus di atas.

“Para pendukung kami mengingat saat-saat itu karena itu terjadi di sini, tahu? Semuanya terjadi di sini,” katanya, dikutip dari wawancara dengan CNN pada Juni 2014.

Tak banyak yang tahu bagaimana sebuah pertandingan sepakbola di Gdansk bisa mengubah wajah demokrasi Polandia dan Eropa, tapi para pendukung dan pemain Lechia Gdansk tak akan pernah melupakan hal itu. Selanjutnya, Egy pun akan merasakannya langsung di Lechia Gdansk.

Baca juga:

Bukan Legia Warsawa, Klub Baru Egy Maulana Vikri: Lechia Gdansk

Egy Maulana Vikri Punya Siapa?

Egy Maulana Menuju Gdansk, Kota Pelabuhan Primadona Para Imigran

Egy Maulana, Lechia Gdansk, dan Kekuatan Sepakbola yang Mengubah Polandia Selamanya

(zen)

Komentar