Kurniawan Hingga Egy: Kisah Diklat Sepakbola dan Pendidikan Pemain Muda

Cerita

by redaksi 27109

Kurniawan Hingga Egy: Kisah Diklat Sepakbola dan Pendidikan Pemain Muda

Bergabungnya Egy Maulana Vikri ke kesebalasan asal Polandia, Lechia Gdansk, mengangkat nama Indonesia di sepakbola Eropa. Tapi mungkin masih banyak juga yang tak menyadari bahwa keberhasilan Egy ke Eropa ini merupakan buah dari pendidikan sepakbola (atlet secara lebih umum) yang digalakan pemerintah.

Sebelum ke Gdansk, Egy masif terdaftar sebagai pemain Sekolah Khusus Olahragawan (SKO) Ragunan. Sekolah tersebut merupakan sekolah gratis untuk para atlet dan olahragawan. Tak banyak SKO semacam ini. Di Indonesia hanya ada beberapa yakni SKO Jawa Timur, SKO Riau, SKO Kalimantan Timur, dan SKO Aceh. Itu pun sebagian hanya SMA, tidak seperti Ragunan yang memiliki SMP dan SMA.

SKO Ragunan sendiri seringkali menelurkan atlet-atlet terbaik. Di sepakbola, selain Egy, sekolah yang berdiri pada 1977 tersebut merupakan tempat ditempanya pemain-pemain nasional seperti Andritany Ardhyasa, Ruben Sanadi, Ramdani Lestaluhu, Kurnia Meiga, Muhammad Hargianto, hingga legenda sepakbola Indonesia, Sudirman. Selain pesepakbola, Ragunan juga melahirkan atlet berprestasi lain seperti Icuk Sugiyarto di bulutangkis dan Yayuk Basuki di tenis.

Terkhusus sepakbola, bukan hanya SKO Ragunan yang rajin melahirkan bakat-bakat potensial untuk timnas Indonesia. Ada satu nama lain yang juga menjadi tempat para pesepakbola nasional menimba ilmu, yakni Diklat Salatiga. Bahkan Diklat Salatiga ini lebih dikenal sebagai primadona produsen pemain-pemain berbakat Indonesia.

Kurniawan Dwi Yulianto dan Bambang Pamungkas adalah salah dua alumni terbaik Diklat Salatiga. Bayu Pradana yang saat ini menjadi penggawa timnas Indonesia pun alumnus Diklat Salatiga. Legenda-legenda lainnya, seperti Oyong Liza, Risdianto, Iswadi Idris, Sartono Anwar, sampai Anjas Asmara, juga merupakan jebolan Diklat ini. Jika kita sekarang mengenal istilah "Diklat Sepakbola", hampir semuanya dimulai dari Diklat Salatiga ini.

Diklat Salatiga sendiri sudah ada sebelum SKO Ragunan karena berdiri sejak 1963. Awalnya Diklat Salatiga ini semacam pusat pelatihan atau training center untuk para pemain muda hasil kerja sama antara PSSI dengan Departemen Olahraga. Ketika itu dikenal dengan nama TC Ngebul Salatiga.

Ngebul merupakan nama sebuah tempat di Salatiga. Di era kolonial, Ngebul memiliki bandara. Ngebul di Salatiga dipilih sebagai tempat TC karena udaranya yang sejuk dan segar, juga agak sepi dan lumayan terpisah dari keramaian dan hiruk-pikuk kota besar seperti Jakarta atau Semarang.

TC Ngebul Salatiga kemudian berubah formatnya menjadi Pusat Pendidikan dan Latihan (Diklat) Salatiga. Fase ini dimulai pada 1973 saat PSSI dipimpin oleh Kosasih Poerwanegara.

Dalam formatnya yang baru ini, sepakbola masih menjadi pusat kegiatan, tetapi aktivitas belajar para pemain muda juga menjadi perhatian. Mereka berlatih dan sekolah di tempat yang sama. Guru-guru disediakan agar para pemain muda ini tidak ketinggalan pelajaran sekolah. Itulah kenapa Diklat Salatiga saat itu melibatkan Departemen Pendidikan & Kebudayaan (P&K), bukan lagi Departemen Pemuda dan Olahraga.

Keberhasilan Diklat Salatiga ini mendorong Gubernur DKI Jakarta untuk mendirikan Diklat Ragunan yang diresmikan oleh Wakil Presiden Sri Sultan Hamengkubuwono pada 1976. Sejak itulah, alumnus-alumnus kedua diklat itu banyak mewarnai skuat tim nasional Indonesia dari berbagai kelompok usia.

Godokan dari kedua diklat inilah yang membuat Indonesia mampu menjadi salah satu kekuatan penting sepakbola junior di Asia. Berkali-kali Indonesia berhasil lolos ke final dan bahkan menjadi juara Piala Pelajar Asia.

Kerja sama yang intens dan terbukti memberi hasil bagus antara PSSI dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (P&K) ini kemudian dikembangbiakkan pada awal 1990an saat PSSI dipimpin oleh Azwar Anas. Mulailah format diklat ini disebarkan ke berbagai penjuru Indonesia, seperti Medan, Padang, Bandung, Bontang, Malang, Makassar, Manado dan Jayapura.

Pada masa inilah Diklat seperti ini lebih dikenal dengan sebutan Pusat Pembinaan dan Latihan Pelajar (PPLP). Pengembangan itu pun terbukti langsung membuahkan hasil karena banyak lulusan PPLP daerah setempat yang berhasil memunculkan bintang-bintang baru di sepakbola Indonesia.

PPLP Papua, misalnya. Tak lama begitu berdiri, mereka langsung menggebrak pentas sepakbola Indonesia. Dengan tulang punggung pemain didikan PPLP Papua (Chris Yarangga, Aples Tecuari, sampai Izaac Fatari), Papua secara sensasional menjuarai PON XIII. Di partai final, mereka mengalahkan tim Provinsi Aceh dengan skor telak 6-3 melalui permainan indah dan menyerang.

Kini Diklat Salatiga dan Ragunan masih eksis, juga berbagai PPLP dan PPLD. Berawal dari sepakbola, pusat-pusat pendidikan dan latihan itu kini juga mendidik atlet-atlet cabang olahraga yang lain.

***

Alas dasar prestasi sepakbola (juga olahraga lain) memang ada di pembinaan pemain muda. Akan tetapi bibit-bibit berbakat di Indonesia seringkali terbentur dengan masalah pendidikan sehingga harus memilih untuk menekuni salah satunya saja. Pilihan yang cukup berat, dan tak sedikit yang akhirnya meninggalkan sepakbola untuk memilih pendidikan.

Baca juga: Pilih Mana, Pendidikan atau Sepakbola?

Bagaimanapun, para pemuda adalah remaja-remaja yang masih punya kewajiban mengenyam pendidikan. Suatu skema pembinaan pemain muda yang memadu-padankan sepakbola dan pendidikan menjadi hal mutlak, karena itulah juga yang dilakukan negara-negara maju sepakbola.

Indonesia melakukannya dengan SKO dan PPLP. Sekarang tinggal bagaimana semua pihak bisa memanfaatkan betul skema ini agar tak ada lagi pesepakbola-pesepakbola berbakat yang tersia-siakan karena pendidikan. Bukankah kita akan berbahagia jika melihat Kurniawan atau Egy-Egy lain di masa yang akan datang?

Baca juga:

Egy Maulana Vikri Menuju Gdansk, Kota Pelabuhan Primadona Para Imigran

Egy Maulana Vikri, Lechia Gdansk, dan Kekuatan Sepakbola yang Mengubah Polandia Selamanya

Egy Maulana Vikri Punya Siapa?

foto: ssbterbang.blogspot.com

Komentar