Kajian Historis Makna Asma Persis: Menjadi Persis Agar `Persis`

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Kajian Historis Makna Asma Persis: Menjadi Persis Agar `Persis`

Oleh: Ardian Nur Rizki

“Apalah arti sebuah nama? Andaikan Anda memberikan nama lain untuk setangkai bunga mawar, wanginya akan tetap sama.” (Sececah percakapan maknawi antara Romeo dan Juliet, buah karya William Shakespeare).

Nama, sebagaimana nukilan karya Shakespeare di muka tulisan ini, acap dianggap nihil makna. Namun, bisa pula dianggap sebagai pendarasan sebuah doa. Nama, dapat menggambarkan gurat masa, bisa pula sirna ditelan masa, tetapi dapat jua melanggeng dan melenggangi batas masa. Nama, dapat dimaknai semata-mata formalitas nir-arti dan sekadar penghias. Akan tetapi, dapat pula dikultuskan bak lencana atau emblem kudus sebuah identitas.

Nama, bagi klub sepak bola di Indonesia, dapat dijadikan sebagai akta sahih legitimasi sejarah. Arema, Persija, Persebaya, hingga Persis pernah terpecah menjadi dua entitas klub berbeda, bermain di kompetisi berbeda (ISL dan IPL), meski masih menggunakan nama senada. Masing-masing pihak mengklaim dirinya menjadi pewaris sejarah yang absah sehingga layak menyandang nama klub.

Tahun 2011-2013 (masa dualisme PSSI-KPSI) laksana dark age bagi persepakbolaan nasional. Bagaimana tidak? Ketika itu terdapat dua induk organisasi, dua kompetisi, hingga dua kubu suporter yang beradu taji. Alhasil, lambang dan nama beberapa klub sampai digandakan. Sejarah dan legalitas klub dinafikan. Muatan politis, dendam, dan aroma kepentingan menyeruak tajam. Bukan hanya fans dari klub-klub yang didera dualisme saja yang merasakan kegamangan. Namun, seluruh pencinta sepak bola hingga para sejarawan pun juga mengalami kebingungan. Bahkan dualisme semacam ini, di Solo (dalam bentuk yang berbeda) dan Malang, masih berdenyut hingga sekarang

Nama sebuah klub berkelindan dengan sejarah dan muruah. Oleh karena itu, sangat lumrah jika Bambang Pamungkas dalam Bepe 20 Pride menyatakan ketidakrelaan jika satu bintang yang tersemat di atas lambang Persija ISL diplagiarisme oleh Persija IPL.

Bambang, dalam autobiografinya, juga menyatakan bahwa Persija ISL (yang dibela Bambang saat itu) adalah tim yang sarat sejarah. Pasalnya, masih menurut Bambang, dari tahun ke tahun, Persija memiliki kultur sebagai penyumbang pemain dalam penggawa timnas, Persija juga merupakan satu dari dua klub di Liga Indonesia yang tidak pernah terdegradasi sejak awal berdirinya, tahun 1928.

Itulah dalih kemurkaan Bambang terhadap Persija IPL. Sebuah klub antah berantah yang lahir baru saja, tetapi dengan lantang dan lancang, hendak menganeksasi lambang dan nama Persija, tentu beserta muatan estetis dan nilai historisnya. Sejatinya bukan Persija saja, karena separuh dekade lalu, Persis juga mesti menjalani episode kelam serupa. Bahkan bisa dibilang Persis lebih nahas, karena masih saja dihunjam polemik peng-kloning-an nama klub dan lambang, hingga sekarang!

Bukan ihwal mengherankan jika asma agung Persis diperebutkan. Pasalnya, Persis –sebagai klub yang lahir di era pra-kemerdekaan–merupakan klub yang memaktubkan mutiara sejarah nan berkilau kirana. Bahkan, perihal pencetusan nama klub pun, kelahiran asma ‘Persis’ mengandung hakikat bermunajat. Tidak seperti kebanyakan klub-klub di zaman perserikatan, asma luhur ‘Persis’ bukan sekadar akronim dari “Persatuan Sepak Bola Indonesia Surakarta” semata.

Asma Persis dan Perjuangan

Persis dibentuk pada zaman penjajahan Belanda sehingga terlahir dengan nama Vorstenlandsche Voetbal Bond (VVB). Sama halnya dengan Persija (terlahir dengan nama Voetbalbond Indische Jacatra), Persib Bandung (Bandoengsche Indonesische Voetbal Bond), Persebaya (Soerabajasche Indonesische Voetbal Bond), dan klub-klub lain yang dilahirkan sezaman.

Pada saat kelahiran Persis (tahun 1923), bahasa Indonesia belum dicanangkan sebagai bahasa persatuan. Nantinya, setelah Kongres Pemuda II (28 Oktober 1928) yang melahirkan Sumpah Pemuda, bahasa Indonesia didaulat menjadi bahasa persatuan. Klub-klub sepak bola di Indonesia pun, berduyun-duyun turut mengubah namanya jadi meng-indonesia.

Pada masa-masa awal penjajahannya di nusantara, Belanda tidak memiliki kepentingan untuk memasyarakatkan bahasa Belanda. Penyebaran bahasa Belanda di kalangan rakyat Indonesia baru dimulai sejak dibukanya sekolah untuk mendidik pegawai negeri dan pegawai perkebunan pada pertengahan abad ke-19, kemudian semakin digetolkan pada awal abad ke-20 sebagai dampak dari pelaksanaan Politik Etis. Meskipun demikian, bahasa Belanda tetap saja bersifat eksklusif dan belum dapat dimafhumi kebanyakan masyarakat akar rumput.

Prof. Dr. Slamet Muljana dalam Kesadaran Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme Jilid I (2008) menyatakan bahwa pemerintah kolonial Belanda baru menyadari pentingnya sosialisasi bahasa Belanda untuk dijadikan ‘lingua franca’ pada tahun 1925. Apalagi pada saat itu, muncul beberapa kaum terpelajar yang terbius dan gandrung menggunakan bahasa Belanda untuk meningkatkan prestise.

Sebagaimana yang dilakukan oleh Amerika dan Perancis di negeri jajahannya, pemerintah kolonial Belanda ingin mengekalkan hegemoninya di negeri jajahan dengan pertautan dan perpagutan bahasa. Tujuan penyebaran bahasa kolonial yakni untuk ‘menolong’ Indonesia dalam membangun masa depannya dan membantu Belanda mempertahankan keberlangsungan pengaruhnya di nusantara.

Bukan isapan jempol semata, Dr. G.J. Niewenhuis memaktubkan secara lengkap dasar teoretis-politis untuk penyebaran bahasa Belanda dalam Bronnenboek; Buku Sumber yang terbit pada tahun 1925. Namun, nahas bagi Belanda. Ikhtiarnya untuk mem-bahasa-Belanda-kan nusantara mesti merurut gugur prematur.

Pasalnya, tiga tahun setelah Bronnenboek diterbitkan, para pemuda Indonesia yang telah mengenyam pendidikan dan mampu memahami gerak zaman berhasil memufakati ikrar sakral yang dikenal dengan Sumpah Pemuda. Sebuah sumpah kudus yang berisikan iktikad untuk hidup senusa, sebangsa, dan sebahasa; Indonesia. Bukan saja dalam medan politik, tetapi juga olahraga, khususnya sepak bola.

Arkian, pada tanggal 19 April 1930 –satu setengah tahun setelah Sumpah Pemuda— dibentuklah suatu induk organisasi sepak bola Indonesia yang bernama Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI). Pembentukan PSSI tidak lepas dari gejolak nasionalisme yang menggelora dan dikatalisasi oleh perlakuan segregatif penjajah di lapangan sepak bola. Oleh karena itu, bukan berlebihan jika Maulwi Saelan, dalam bukunya yang berjudul Sepak Bola (1970), menyatakan bahwa PSSI adalah anak kandung gerakan kebangsaan, sekaligus juga merupakan pengejawantahan Sumpah Pemuda di rumput hijau.

Kongres II PSSI pada tahun 1932 di Jakarta adalah bukti sahih sokongan PSSI terhadap pergerakan nasional, wabil chusus Sumpah Pemuda. Salah satu amar putusan dalam kongres bersejarah tersebut adalah imbauan untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam keseharian klub-klub sepak bola bumiputera, tentunya termasuk nama klub. Tidak dapat dipungkiri bahwa pada masa itu, sepak bola juga menjadi alat pergerakan untuk mengerek martabat bangsa. Sudah jadi rahasia umum bahwa embrio kelahiran PSSI dilatarbelakangi oleh penistaan terhadap bakat-bakat pesepakbola bumiputera oleh NIVB (induk organisasi sepak bola kolonial).

Persis dan Homonimi ‘Persis’

Perseteruan PSSI dan NIVB semakin lama kian buncah. Aroma persaingan dan konflik turut merekah. Untuk mempertegas identitas dan mentalitas kebangsaannya, VVB membuang ‘nama asingnya’, dan berganti menggunakan bahasa Indonesia, yaitu Persis.

Koran Adil edisi 23 Mei 1933 mewartakan “...bahwa oleh rapat, jang telah diadakan dalam minggoe jang baroe-baroe ini soedah diambil kepoetoesan boeat mengganti namanja Bond jang doeloe ialah V.V.B. mendjadi Persis, Persatoean Sepakraga Indonesia Soerakarta”.

Selain itu, Harian Darmo Kondo edisi 13 Mei 1933, merilis warta serupa, tetapi dengan imbuhan informasi berikut ini, “Maka dari itoe harap lantas diketahoei oleh publiek seoemoemnja, dan nama Persis diminta diboenjikan; Persis, agar soepaja bisa lantas bekerdja persis segala-galanja.”

Peresmian penggantian nama VVB menjadi Persis dicanangkan pada hari Jumat, 12 Mei 1933, yang diputuskan melalui permusyawaratan klub internal Persis. Pada awalnya, Persis merupakan akronim dari Perserikatan/Persatuan Sepakraga Indonesia Soerakarta. Nama Persis ditengarai telah dicetuskan secara informal sejak 1928 sebagai pengejawantahan amanat Sumpah Pemuda, tetapi peresmiannya baru dilaksanakan setengah dasawarsa setelahnya.

Uniknya, nama Persis sengaja dibikin berhomonim dengan kata ‘persis’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ‘persis’ memiliki arti: benar, secara pasti, tepat, tepat betul (tentang sasaran), sama besar, serupa. Pemilihan nama Persis memang disengaja menyamai arti kata ‘persis’ di dalam kamus, tujuannya supaya membawa berkah dan kekuatan, dapat bekerja persis dengan segala tujuannya, dan agar setiap visi-misinya dapat dicapai secara persis, persisi, dan berpresisi!

Jika menimang kecenderungan penamaan klub di era perserikatan yang getol memakai akronim, sebenarnya Persis bisa saja menggunakan nama selain ‘Persis’. Pasalnya, dari ketujuh klub pendiri PSSI (Jogjakarta, Surakarta/Solo, Bandung, Jakarta, Surabaya, Madiun, dan Magelang), hanya Solo dan Surabaya-lah yang berawalan ‘S’. Surabaya pun pada akhirnya lebih memilih menggunakan nama ‘Persibaja’ (pergantian nama inipun baru diresmikan pada tahun 1943, kemudian berganti menjadi ‘Persebaya’ pada tahun 1960).

Praktis, Solo sejatinya memiliki privilege dan keleluasaan untuk memilih nama terlebih dahulu. Misal menggunakan nama ‘PSIS’ (yang baru digunakan sebagai identitas klub asal Semarang pada tahun 1932) atau ‘PSS’ (baru digunakan sebagai identitas klub asal Sleman pada tahun 1976). Namun, asma ‘PSIS’ dan ‘PSS’ dianggap tidak menyiratkan makna dan hanya berupa akronim semata. Sementara asma ‘Persis’ dapat pula dimaknai ‘tepat sasaran’. Pada akhirnya, permufakatan klub internal Persis kukuh memilih nama ‘Persis’, agar menjadi ‘persis’.

***

Dewasa ini, nama Persis –beserta lambangnya— dikloning menjadi dua. Persis yang berlaga di Liga 2 adalah Persis yang memikul api sejarah, gelora gairah, dan muruah yang berpantang lungkrah. Sementara ‘Persis’ yang lain seakan terhuyung memikul dendam kesumat dan amarah.

Sadar bahwa plagiarisme mentah-mentah dapat menyulut gibah serapah, kemudian nama dan lambang Persis dimodifikasi dengan pembubuhan kata ‘gotong royong’, menjadi Persis Gotong Royong. Motifnya sungguh tidak jelas. Entah karena ingin mengelabui fans Persis. Entah karena terpukau oleh gilang-gemilang kejayaan Persis. Entah karena ingin menjadi Persis agar persis seperti munajat Persis.

Membingungkan bukan? Maka sudahilah, Wahai ‘Persis Doyong-Doyong’. Toh meski muda jalanmu tertatih-tatih bersempoyong.

foto: liga-indonesia.id


Penulis merupakan pegiat sejarah yang sedang menulis buku "Pustaka Sepakbola Surakarta". Bisa dihubungi di surel ardian1923@gmail.com. Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis lewat rubrik Pandit Sharing. Isi dan opini tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis.

Komentar