Sriwedari, Stadion Bersejarah yang Nihil Gairah

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Sriwedari, Stadion Bersejarah yang Nihil Gairah

Oleh: Ardian Nur Rizki*

Manajemen Persis Solo masih sibuk menentukan stadion yang akan dijadikan kandang bond kebanggaan wong Solo di musim depan. Wacana penggunaan Stadion Candrabhaga Bekasi sempat terdengar santer sejak akhir bulan lalu. Namun manajemen akhirnya mengurungkan rencana ini setelah mendapat kritikan bertalu-talu.

Ratusan suporter Persis mengadakan longmars dari depan Taman Sriwedari menyusuri Jalan Slamet Riyadi hingga menuju kompleks Balaikota pada Minggu (27/01) untuk menyuarakan aksi menolak Bekasi. Pasalnya, Stadion Candrabhaga dinilai terlampau jauh. Apalagi, Persis memiliki pengalaman buruk kala bertanding di stadion tersebut.

Kini, muncul episode baru. Manajemen berencana menjadikan Stadion Maguwoharjo, Sleman, sebagai kandang Persis dalam mengarungi Liga 2 musim depan. Bahkan manajemen bertindak cepat dengan mengadakan konsolidasi bersama suporter dan stakeholder sepakbola Sleman.

Sambutan suporter pun beragam. Ada yang senang, ada pula yang masih gamang. Infrastruktur yang representatif, hubungan dengan suporter Sleman yang kondusif, sarana transportasi yang beragam, dan jarak Stadion Maguwoharjo yang relatif dekat tentu menjadi nilai positif.

Namun, perlu diingat bahwa perjalanan ke Sleman acap tidak semulus yang dibayangkan. Pertandingan PSS kontra Persis dalam laga bertajuk Celebration Game yang dihelat di Stadion Maguwoharjo Januari (19/01) lalu, misalnya, harus dibayar dengan satu nyawa melayang akibat serangan oknum suporter yang antipati terhadap “persahabatan” suporter Solo dan Sleman. Manajemen tidak boleh tutup mata dengan hal ini!

Sementara itu Walikota Solo, FX Rudi Hadyatmo, menghendaki Persis tetap berkandang di Solo. Akan tetapi, dia menandaskan bahwa hal ini baru dapat terealisasi pasca-pemilu. Selama ini, Stadion Sriwedari yang terletak di jantung Kota Solo, tidak pernah dijadikan opsi pengganti Stadion Manahan yang tengah direnovasi. Sukarnya pengurusan izin keamanan menjadi alasan klise.

Logika sesat yang sarat kepandiran, tetapi diterima khalayak dengan penuh permakluman. Alih-alih dianggap sebagai hiburan yang membawa kesenangan, keceriaan, dan kesatupaduan, sepakbola malah dihakimi sebagai sebuah permainan yang mengancam keamanan dan mengoyak kesatuan. Pemkot Solo, maupun pihak keamanan, bukannya memberikan wahana edukasi maupun ruang diskusi bersama para suporter, malah justru menempuh “langkah seribu”, yakni: tidak memberi izin keamanan pertandingan. Tidakkah ini lucu?

Alhasil, Stadion Sriwedari kini alpa dari ingar-bingar. Aura dan binar sejarahnya dibiarkan hilang menguar. Padahal, Stadion Sriwedari bukan sekadar gelanggang olahraga semata. Tegak bangunannya menyematkan nyalang obor perjuangan. Konstruksinya nan pagan memaktubkan kukuhnya harkat bangsa. Rindang lingkar pepohonan menimbulkan kesan permai dan damai.

Bermula di Alun-Alun

Sebelum Stadion Sriwedari dibangun, aktivitas olahraga, khususnya sepakbola, masyarakat Solo terpusat di Alun-Alun Kidul. Surat kabar Darmo Kondho edisi 24 Februari 1923 mewartakan ihwal laga amal antara klub P.S. Mars melawan S.S. yang diselenggarakan Alun-Alun Kidul, di pungkasan warta tertulis, “Penonton ada sangat banjak hingga ampir penoeh sama sekali (…) soeara soerak tepoek tangan jang sangat hebat teroes terdengar (…) inilah ada pertandingan loear biasa.”

Darmo Kondo edisi 21 Maret 1923 kembali memberitakan membeludaknya animo penonton, “Di aloen-aloen kidoel terdengar soerak sangat rioeh karena riboean publiek sama melihat Paloma dengan Mars (…) soerak terdengar dari loewar kota Solo”. Warta-warta senada terus menghiasi surat kabar sezaman, apalagi setelah berdirinya Persis pada tanggal 30 Maret 1923.

Namun demikian, ingar bingar publik Solo dalam menyepak “si kulit bundar” tidak langsung beriring dengan prestasi. Dalam Kompetisi PSSI 1931, misalnya, Solo yang menjadi tuan rumah pagelaran, justru dipermalukan VIJ Jakarta dan PSIM Jogjakarta. Performa Persis menjadi bulan-bulanan “cacian” media. Alun-Alun Kidul yang menjadi venue pertandingan juga tidak luput dari kritikan. Alun-alun dianggap tidak representatif untuk menghelat laga sepakbola berskala nasional.

Buah Kepekaan Sang Raja

Akhirnya, pada 1932, Stadion Sriwedari mulai dibangun. Mr. Zeylman dan Raden Ngabehi Tjondrodiprodjo ditugasi untuk merencanakan pembangunan Stadion Sriwedari. Dengan menghabiskan biaya sekitar 30.000 gulden dan mengerahkan tenaga ratusan pekerja, pembangunan Stadion Sriwedari akhirnya dapat selesai dalam waktu 8 bulan. Stadion ini diresmikan pada tahun 1933 oleh G.P.H. Hargopalar sebagai utusan dari Sri Susuhunan (Sajid, 1984).

Seremoni peresmian Stadion Sriwedari dihadiri oleh beberapa tokoh penting, seperti Soeratin yang kala itu menjabat sebagai Ketua PSSI (Elison, 2014). Dengan gagah berani, Soeratin mengibarkan panji dwiwarna, merah putih, seperti hendak memberi sinyalemen bahwa pembangunan Stadion Sriwedari adalah tonggak bagi “kemerdekaan sepakbola” bumiputra. Begitu dramatis, sampai-sampai air mata haru Soeratin tak terbendung, mengiringi asa bangsa yang kian membumbung.

Jika ditelisik, pembangunan Stadion Sriwedari juga bermakna strategis bagi eksistensi sunan. Hak politik sunan yang terampas karena intervensi Belanda, membuat sang raja mesti menyelinap untuk membangun ruang “percintaan” antara raja dan kawulanya. Dan pembangunan stadion di kawasan Kebon Raja (taman raja) adalah wujud ikhtiar brilian dari sunan untuk merengkuh hati rakyatnya.

Tuah Stadion Sriwedari

Pembangunan stadion ini merias antero Kebon Raja menjadi kian solek dan molek dengan segala kelengkapan prasarana. Sriwedari kemudian menjelma sebagai paras modernitas Surakarta. Surat Kabar Soerabaiasch Handelsblad edisi 19 Januari 1933, menuliskan tentang ‘keindahan Taman Sriwedari’ yang mewadahi: taman kota dengan harmoni kehidupan fauna, tempat pergelaran sastra budaya, wahana kepujanggaan, pasar malam, rupa-rupa hiburan, ajang “keplek ilat”, dan juga medan laga sempurna bagi pertarungan gladiator sepakbola.

Keberadaan Stadion Sriwedari di jantung kota berhasil memompa darah dan gairah persepakbolaan Surakarta. Hasilnya pun mujur! Jika pada Kompetisi Perserikatan 1931 Persis dijadikan bulan-bulanan. Maka, pada tahun 1935, atau dua tahun pasca-Stadion Sriwedari diresmikan, Persis langsung menggarang. Selama sembilan pagelaran beruntun (1935 s.d. 1943), Persis tidak sekali pun absen di putaran final Kompetisi Perserikatan. Bahkan tujuh di antaranya berhasil dijuarai. Klub-klub dari luar negeri yang bertamu pun juga digagahi Persis di stadion—yang pada masanya—teramat megah ini.

Surakarta merupakan primadona untuk dijadikan tuan rumah pergelaran akbar (PON I, misalnya). Bukan semata karena letaknya yang strategis. Namun, juga karena tata kota modern yang ditopang sarana-prasarana necis dan estetis. Stadion Sriwedari adalah bukti bahwa Surakarta telah jauh meninggalkan peradaban arkais. Laksana katedral, stadion ini menjadi tempat bergaungnya misi perjuangan suci nan magis.

Belanda dipaksa menjilat ludahnya. Perihal ejekan sarkastis yang menganggap bahwa “kaum pribumi itu barbar dan arkais”, mestinya lekas dikikis. Stadion Sriwedari, sekali lagi, adalah bukti bahwa kaum bumiputra mampu menciptakan peradaban nan menawan.

Kini, tidak ada salahnya jika Persis kembali ke rumah sendiri. Suporter mesti mafhum akan besarnya sejarah dan muruah Stadion Sriwedari agar menjaganya tetap kondusif dan lestari. Mari kembali ke rumah, mengharapkan tuah, lantas menorehkan lagi tinta emas sejarah!


*Penulis adalah Buku Pustaka Sepak Bola Surakarta, Vice President Solo Societeit, dan kini tengah menjadi pendidik di Sekolah Indonesia Johor Bahru, Malaysia.

**Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis melalui kolom Pandit Sharing. Segala isi dan opini yang ada dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.

Komentar