Ironi Marco van Basten

Backpass

by Redaksi 35

Redaksi 35

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Ironi Marco van Basten

Pembicaraan tentang Van Basten adalah pembicaraan tentang ironi pesepakbola.

Paragraf pembuka buku Marco van Basten: De Jaren in Italic en Oranye yang ditulis oleh Zeeger van Herwaarden menjelaskan seperti apa Van Basten di hadapan para pendukungnya. Katanya, Basten berbeda dengan Maradona yang gemar membaur dan menjadi satu dengan para penggemarnya. Di hadapan para pendukungnya, ia selalu tampil sebagai pesepakbola yang tak tersentuh. Makanya, kata Zeeger, “Sementara anak Argentina itu (baca: Maradona) hidup di hati masyarakat, kecintaan pada Van Basten ada di kepala.”

Cara terbaik untuk mengagumi Van Basten adalah dengan mengaguminya dari jauh. Cukup lakukan dengan mengagumi gol-gol ajaibnya. Basten bukan tipe pesepakbola yang menganggap kalau sesi foto bersama atau permintaan tanda tangan dari para penggemar sebagai hal yang penting. Agaknya, sebagai pesepakbola, Basten sadar betul kalau tugas utamanya adalah mengupayakan kemenangan buat kesebelasannya, bukan beramah-tamah dan tebar pesona kepada para penggemarnya.

Semasa karirnya, Basten memberikan banyak gelar buat klub-klub yang dibelanya. Ia berhasil mengantarkan Ajax juara liga pada musim 1981-1982, 1982-1983 dan 1984-1985. Konon, sejak kecil Basten ditempa oleh sang ayah dalam bersepakbola. Ayahnya yang seorang pelatih amatir membentuk Basten sebagai anak yang tak cepat puas. Sebaik apapun permainan Basten, ia tak pernah menerima pujian dari sang ayah. Jika Basten kecil ditempa oleh sang ayah, Basten dewasa, saat bermain untuk Ajax, menerima tempaan langsung dari sang legenda, Johan Cruyff.

Jika ada banyak orang yang percaya kalau kejemawaan itu bisa menggiring pesepakbola kepada kehancuran, Cruyff justru menanamkan pentingnya sikap jemawa kepada pesepakbola bergelar "Angsa dari Utrecht" ini. Basten datang ke Ajax saat usianya masih 17 tahun. Barangkali karena usianya yang terlalu muda dan kemampuannya yang dinilai masih begitu mentah oleh pelatih Ajax waktu itu, Basten cukup sering menjadi penghangat bangku cadangan. Namun sebagai pesepakbola yang sudah matang, Cruyff paham, sementah apapun kemampuan yang waktu itu dimiliki Basten, ia bukan pesepakbola sembarangan.

Makanya, atas pemahamannya ini, Cruyff  tak sudi kalau pesepakbola seperti Basten hanya menghabiskan tahun-tahun pertama karirnya di bangku cadangan. Berkali-kali, Cruyff dengan nada menghasut sekaligus mengejek, berkata kepada Basten kalau Basten adalah penyerang terbaik di dunia. Ia harus terus bermain sebagai penyerang, jika tidak, lebih baik tak bermain sama sekali.

Dan benar saja, hasutan Cruyff memang tak sia-sia. Selain tumbuh sebagai pesepakbola dingin dan terkesan angkuh, Basten juga kerap tampil sebagai pesepakbola bengis.

Bengisnya Basten ditunjukkan oleh pencapaiannya bersama klub-klub yang dibelanya. Di awal-awal karirnya, ia berhasil mengantarkan Ajax juara liga pada musim 1981-1982, 1982-1983 dan 1984-1985. Hijrah ke Milan, Basten tak kalah saing dari senior-senior senegaranya yang telah lebih dulu bermain di sana. Bersama Milan, Basten memenangkan empat scudetto dan Super Copa Italiana. Belum lagi gelar Piala Champion musim 1986-1987 serta UEFA Super Cup tahun 1989 dan 1990. Gelar individu juga melimpah. Basten tiga kali menerima gelar Baloon d’Or: 1988, 1989 dan 1992, serta dua Seria A Golden Boot musim 1989-1990 dan 1991 dan 1992.

Simak infografis Marco van Basten sebagai mesin gol Belanda

Di level klub, Basten memang disegani. Namun di level timnas, ia tak bisa berbuat banyak.

Basten memang pernah mengantarkan Belanda juara Piala Euro tahun 1988. Golnya ke gawang Uni Soviet di partai final menjadi salah satu gol terbaik yang pernah ada. Kepahlawanan Basten ini tak diawali dengan hal yang baik-baik amat. Rinus Michels yang waktu itu menjadi pelatih Belanda tak memasukkan nama Basten dalam skuat utama dengan alasan yang masuk akal. Musim 1987-1988 yang sekaligus menjadi musim pertama Basten di Milan tak dilewatinya dengan baik. Ketimbang mencetak gol-gol spektakuler, Basten lebih sering menjadi penghuni bangku cadangan akibat cedera bawaannya.

Di perhelatan ini, Michels tak hanya mencadangkan Basten, tetapi juga memberikannya nomor punggung 12 yang berkali-kali disebutnya sebagai nomor tribun. Namun, berawal dari bangku cadangan dan nomor tribun itu, kita semua tahu kalau pada akhirnya, Basten lah yang menjadi pahlawan.

Berhasil menjadi pahlawan Belanda di Piala Euro 1988 tak seketika membikin Basten bisa berbuat banyak untuk negaranya pada kompetisi-kompetisi selanjutnya. Seumur hidup, Van Basten hanya punya kesempatan bertanding di Piala Dunia pada tahun 1990. Di perhelatan itu ia hanya bertanding empat kali tanpa sekali pun mencetak gol. Buruknya performa Basten juga diperparah dengan isu ketidakharmonisannya dengan Leo Beenhakker, yang saat itu ditunjuk sebagai suksesor Rinus Michels.

Ironi karir Basten sebagai pesepakbola bertambah mengenaskan akibat Piala Euro 1992. Sebagai juara bertahan, Belanda tentu punya percaya diri lebih. Belum lagi dukungan dan ekspektasi tinggi yang mau-tidak mau memaksa mereka untuk tampil habis-habisan.

Memasuki babak semifinal, Belanda jelas ada di atas angin. Apalagi lawan mereka waktu itu hanya Denmark yang “kebetulan lolos” babak kualifikasi Piala Euro. Namun siapa sangka, sampai babak perpanjangan waktu Denmark berhasil menahan imbang Belanda 2-2. Apa boleh buat, keduanya harus melakoni babak adu penalti. Lantas, Basten menjadi satu-satunya eksekutor Belanda yang gagal membikin Peter Schmeichel memungut bola dari gawangnya sendiri. Belanda pulang tanpa mencicipi partai puncak, sementara Denmark, melangkah ke final dan menjadi juara.

Ironi-ironi yang dialami Basten sebagai pesepakbola memang mengenaskan, namun tak ada yang berhasil mengalahkan kehebatan cedera engkelnya. Cedera ini didapatnya saat Milan bertanding melawan Ancola di kompetisi Serie A 1992-1993. Sebenarnya, ini bukan pertama kali Basten menerima cedera serius. Apalagi ia memang memiliki cedera bawaan. Namun, cedera inilah yang membuatnya harus berpindah dari satu meja operasi ke meja operasi lain.

Sampai akhirnya, perjuangan itu berakhir tanggal 17 Agustus 1995. Setelah menepi dari lapangan dan mengusahakan kesembuhannya selama lebih dari dua tahun, Basten pada akhirnya menyatakan menyerah dan mengundurkan diri sebagai pesepakbola walau usianya masih 28 tahun.

Komentar