Karier Singkat Van Basten

Backpass

by redaksi

Karier Singkat Van Basten

Tiga Ballon d`Or dan satu gelar pemain terbaik FIFA jadi bukti kehebatan Marco van Basten. Pada periode 1980-an hingga akhir 1990-an, dia adalah penyerang jaminan gol dan trofi. Ajax Amsterdam, AC Milan, dan Timnas Belanda dibuat sukses olehnya. Tak heran karena dari 373 kali berlaga, 277 gol berhasil dia cetak. Artinya, persentase Basten mencetak gol per laga sekitar 74%.

Bersama Van Basten, Ajax nyaris selalu meraih gelar juara—entah itu Eredivisie, KNBV Cup, maupun UEFA Cup Winners Cup. Pun begitu saat membela AC Milan. Kecuali pada 1991, Van Basten selalu mengangkat trofi juara—3 Serie A, 2 Super Coppa, 2 Liga Champions, 1 Piala Super Eropa, dan 2 Piala Interkontinental.

Keberhasilan Van Basten di Milan cukup luar biasa karena sejak pindah dari Ajax pada 1987, serangkaian cedera pergelangan kaki menimpanya. Bahkan di musim pertama dia hanya mampu bermain sebanyak 11 laga Serie A. Sejak musim kedua, Van Basten mengabaikan cederanya itu dan tetap berusaha bermain maksimal ketika diperlukan.

Basten menjadi penyerang andalan Fabio Capello ketika itu. Pada 1991/92, Milan yang diujungtombaki Van Basten merupakan salah satu kesebelasan terbaik dunia. Basten saat itu dimanjakan oleh kompatriotnya di Timnas Belanda: Ruud Gullit dan Frank Rijkaard. "Kesempurnaan di sepakbola tidak ada, tapi musim ini kami nyaris mendekati sempurna," ujarnya kala itu.

Kenyamanan bermain yang dirasakan Van Basten saat itu tak bertahan lama. Musim 1993/94 menjadi akhir dari era Gullit-Rijkaard-Basten. Gullit dan Rijkaard hengkang, sementara Basten tak bisa lagi bermain di setiap laga. Cedera pergelangan kakinya kambuh dan parahnya cedera tersebut bukan cedera ringan seperti sebelumnya.

Di luar harapan, operasi yang dijalani Van Basten gagal. Pria kelahiran 31 Oktober 1964 itu divonis harus menepi selama dua musim. Sempat menyimpan asa untuk kembali bermain, rumput hijau yang ia rindukan pada akhirnya harus dilupakan. Pada usia 30 tahun, ia menyatakan pensiun.

Sempat menghilang, Van Basten kembali ke lapangan hijau 8 tahun sesudah pensiun. Kali ini sebagai pelatih. Sempat menjadi asisten pelatih di Ajax B, Timnas Belanda menunjuk eks mesin gol Belanda tersebut sebagai kepala pelatih usai kegagalan Belanda di Piala Eropa 2004.

Kontroversi langsung menyeruak karena Van Basten, sehebat apa pun saat ia bermain, tidak punya pengalaman sebagai pelatih. Tapi Van Basten mampu memberikan sinyal positif dengan mengandalkan para pemain muda seperti Ryan Babel, Dirk Kuyt, Ron Vlaar, Joris Mathijsen, dan lain-lain. Tidak ada tempat untuk pemain-pemain senior seperti Edgar Davids, Clarence Seedorf, Roy Makaay, Mark van Bommel, Boudweijn Zenden, atau Ruud van Nistelrooy. Kritikan mereda ketika Van Basten mengantarkan Belanda ke Piala Dunia 2006 dengan tanpa kekalahan di babak kualifikasi.

Semua berubah ketika Belanda kalah di babak 16 besar oleh Portugal. Keputusannya lebih memilih Kuyt ketimbang Nistelrooy dianggap jadi penyebab kegagalan Belanda. Bahkan intrik semakin berlanjut ketika secara terang-terangan Van Basten tidak akan lagi memanggil Nistelrooy selama Belanda dilatih olehnya.

Di sisi lain, federasi sepakbola Belanda, KNVB, cukup percaya pada kemampuan Van Basten. Bahkan kegagalan Belanda di Piala Eropa 2008 pun KNVB masih berencana memperpanjang kontraknya hingga Piala Dunia 2010. Sebaliknya, Van Basten memilih mengundurkan diri dan menerima tawaran Ajax Amsterdam, kesebelasan yang membesarkan namanya sebagai pemain.

Tapi tidak seperti sebagai pemain, karier kepelatihan Van Basten kurang bersinar. Di Ajax, Heerenveen, hingga AZ Alkmaar, tak ada satu pun kesebelasan yang berhasil diantarnya menjadi juara. Hanya saat di Heerenveen ia berhasil mencatatkan poin terbanyak dalam sejarah klub, walau hanya menempati posisi lima.

Bahkan tampaknya Van Basten menyadari kemampuan taktisnya tak sebaik kehebatannya bermain. Alih-alih membantu sepakbola Belanda yang sedang krisis prestasi, ia lebih menerima tawaran dari FIFA sebagai Direktur Teknik. Padahal saat itu ia tengah menjabat asisten pelatih Timnas Belanda yang dilatih Danny Blind.

"FIFA menawari saya sebuah kesempatan untuk mengembangkan dan mereformasi sepakbola. Mereka sedang berupaya memperbarui dan mereformasi sepakbola dan membutuhkan ide serta pandangan saya terkait aturan, regulasi, dan program kerja," tulis Van Basten dalam pernyataan resmi hijrahnya ke FIFA, yang dimuat di laman KNVB.

Posisinya di FIFA membuatnya bisa mengajukan inovasi-inovasi di sepakbola. Ia pernah mengusulkan penghapusan offside, yang sampai saat ini masih menjadi wacana. Tapi salah satu usulnya yang mampu mengubah sepakbola adalah penggunaan Video Assistant Referee alias VAR.

"Strategi ini [penerapan VAR] bertujuan mengingatkan kembali keadilan dan integritas pertandingan, membuat pertandingan bisa diakses oleh siapa saja lewat penggunaan teknologi. Sejak disetujui, fokus VAR adalah meningkatkan perilaku dan rasa hormat pemain, dan tentu saja agar pertandingan tetap berjalan atraktif," kata Van Basten pada situs FIFA dalam rencana penerapan VAR.

VAR pun akhirnya digunakan di Piala Dunia 2018 dan beberapa liga Eropa, salah satunya La Liga. Van Basten mewujudkan ambisinya: mereformasi sepakbola. Tapi pada pertengahan Oktober 2018 ini, ia akhirnya memutuskan untuk berhenti dari jabatan Direktur Teknik FIFA agar bisa menghabiskan waktu lebih banyak bersama keluarga.

“Setelah dua tahun yang baik dan menarik, saya memutuskan untuk mengakhiri tugas saya di FIFA, terutama untuk dapat menghabiskan lebih banyak waktu bersama keluarga saya di Amsterdam,” ujar Van Basten dikutip Voetbal International. Ini artinya, baik sebagai pemain, pelatih maupun pejabat FIFA, karier Van Basten kembali tak berlangsung lama.

Komentar