Sejarah Indonesia dalam Formasi 3-5-2

Editorial

by Zen RS Pilihan

Zen RS

Board of director | Panditfootball.com

Sejarah Indonesia dalam Formasi 3-5-2

Sejarah menempati posisi yang khusus dalam pikiran kami. Sejak awal mulai menulis untuk detik.com di sub-kanal About the Game, kami cukup sering menulis perihal sejarah. Bahkan tulisan-tulisan perdana kami di sana berisi serial sejarah politik sepakbola Indonesia, sejak era kerajaan Melayu hingga Indonesia kontemporer. Belum menghitung cerita-cerita sejarah sepakbola yang diambil dari khasanah sepakbola luar negeri. Jumlahnya niscaya nyaris di atas 100an naskah.

Kami percaya bahwa sejarah itu penting. Bukan untuk merawat masa lalu sebagaimana mengelep-lap album foto keluarga. Sejarah itu penting sebab merawat ingatan merupakan hal penting. Sebab salah satu kekhasan yang menonjol dari manusia adalah kemampuannya mengkhidmati tiga dimensi waktu: yang-lampau (past), yang-kini (present), dan yang-menjelang (future).

Ketidakmampuan menghidupkan salah satu dimensi hanya akan membuat kita menjadi manusia yang tuna-sejarah.

Kegagalan menghidupkan imajinasi perihal yang-menjelang hanya akan membuat kita menjadi manusia yang tak punya rencana, tak kenal target dan cita-cita, sehingga waktu hanya dihabiskan untuk segala urusan yang-kini dan yang-di-sini saja. Ketidakmampuan menyelesaikan urusan-urusan yang terkait dengan kini dan di sini hanya akan membuat kita menjadi manusia yang cupet, tertutup, tak punya jarak pandang, sehingga kehidupan pun akan menjadi terasa begitu sempit dan sesak. Sementara keengganan untuk menghidupkan dimensi yang-silam, atau sejarah, hanya akan membuat kita menjadi pelupa yang mudah terjerembab pada kesalahan yang sama, kekeliruan yang serupa, dan akhirnya kegagalan akan menjadi hal yang sangat biasa.

Khusus untuk yang terakhir itu tadi, keengganan menghidupkan dimensi yang-silam, menjadi salah satu persoalan serius bangsa ini. Dari waktu ke waktu, kita begitu gampang berurusan dengan hal yang sama, lagi dan lagi. Kita menjadi bangsa yang kelewat gampangan menjadi reaktif. Ketika muncul sebuah kasus, semua beramai-ramai berbicara, mengutuk, dan mencerca. Lalu kemudian lenyap seakan tidak ada apa-apa. Lalu kemudian muncul hal yang sama kembali, dan semua kembali beramai-ramai berbicara, mengutuk dan mencerca.

Perihal artikel-artikel mengenai sejarah sepakbola Indonesia, anda bisa menelusuri puluhan artikelnya di sini:

Sejarah Sepakbola Indonesia



Persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi bangsa Indonesia, bisa dikatakan, hampir semuanya bukan barang yang baru. Sebutlah itu korupsi, sebutlah itu resiko disintegrasi, sebutlah itu kekurangan pangan, sebutlah itu kekerasan yang dilakukan negara dan aparatnya, dan lain-lain, dan sebagainya. Semua dengan gampangnya berkomentar seakan-akan tiap kali ada kasus-kasus itu muncul orang berpikir sebagai sesuatu yang sepenuhnya baru dan tak pernah terjadi sebelumnya di masa lalu.

Kegagalan menghidupkan yang-silam membuat kita menjadi bangsa yang tuna-ingatan, tuna-sejarah. Sekali lagi "menghidupkan", bukan "merawat", apalagi sekadar "mengelap-lap" sejarah seperti menyeka album foto yang berdebu. "Menghidupkan sejarah" bukan berarti terus-menerus mengingat-ingat masa lalu. "Menghidupkan sejarah" berarti menjadikan masa silam sebagai sebuah kesadaran yang dari sanalah kita bisa selalu waspada terhadap jebakan-jebakan batman yang sebenarnya gampang dihindari jika masa silam benar-benar dipelajari konteksnya, dan bukan sekadar menghafal tanggal, bulan dan tahun.

Mempelajari konteks berarti memahami proses. Seseorang menjadi pahlawan bukan karena ia membacakan naskah ini atau itu atau karena dia tertembak di pertempuran ini atau itu. Mempelajari konteks, dan dengan demikian memahami proses, berarti mempelajari mengapa seseorang sampai pada satu titik historis: entah itu dengan menjadi seorang pejuang atau pun menjadi seorang pengkhianat.

Inilah yang dimaksud sebagai "cara berpikir historis".

Persoalannya adalah pendidikan di Indonesia sangat tidak menarik menyampaikan pikiran. Bukan hanya pelajaran sejarah, tapi kebanyakan pelajaran disampaikan dengan cara-cara yang tak menarik, tak membangkitkan pikirkan, tak menghidupkan imajinasi. Pelajaran di sekolah tidak diabdikan untuk menghidupkan subjek yang dipelajari dalam semesta kesadaran para siswa, namun diabdikan untuk menjawab soal-soal ujian belaka. Akibatnya, memahami konteks sering terabaikan dan mempelajari proses kerap terpinggirkan.

kesebelasan-para-bapak-bangsa

Saya beberapa kali bereksperimen membuat bahan ajar di kelas-kelas yang pernah saya ampu, baik kelas-kelas formal di institusi pendidikan maupun informal. Salah satu yang pernah coba saya lakukan adalah memperkenalkan tokoh-tokoh bangsa dengan cara yang menarik, melalui medium kebudayaan populer yang disukai banyak orang. Tidak selalu berhasil, memang, tapi saya pernah mencoba dan berusaha.

Tahun lalu, misalnya, untuk memperingati kemerdekaan Indonesia yang ke-69, saya membuat esai berjudul "Kesebelasan Para Bapak Bangsa". Tujuan esai itu sederhana saja: mencoba menyodorkan sebuah pintu masuk kepada para penggila sepakbola untuk mulai berkenalan dengan para tokoh penting Indonesia. Dengan cara yang ringkas, karena terbatasi ruang, saya sodorkan beberapa nama dengan kisi-kisi peranan sejarahnya dan konteks mengapa mereka penting. Esai itu, sekali lagi, hanya sebagai pintu masuk saja. Harapannya, ketika pintu masuk itu sudah terbuka, beberapa orang akan memutuskan melanjutkan perjalanan ke ruangan dalam, dengan mempelajarinya lebih lanjut, melalui bacaan-bacaan tambahan yang dicari secara mandiri.

Guna memperingati kemerdekaan Indonesia yang ke-70, esai tersebut sengaja kami unggah kembali untuk para pembaca yang tahun lalu mungkin belum sempat membacanya. Selamat membaca. Dan merdeka!


KESEBELASAN PARA BAPAK BANGSA

Hari ini, Indonesia merayakan hari kemerdekaannya yang ke-70 tahun. Bukan usia yang pendek, tapi masih jauh untuk disebut tua dan matang. Setidaknya lebih tua dari Soviet yang bubar jalan di usia 69 tahun.

Untuk udara bebas yang dinikmati hari ini, generasi sekarang berhutang pada nama-nama besar yang pernah memberikan tenaga, waktu, pikiran dan pengorbanannya untuk merealisasikan mimpi-mimpi kemerdekaan. Nama mereka akan abadi dalam ingatan kolektif kita, dan kitalah yang akan ikut mengabadikan mereka lewat kerja dan bakti yang tiada henti.

Guna ikut merayakan kemerdekaan Indonesia ini, redaksi Pandit Football Indonesia mencoba menyusun kesebelasan Indonesia yang diisi oleh nama-nama para pahlawan itu. Bukan pekerjaan mudah, karena ada begitu banyak nama yang layak mendapat tempat, ada begitu banyak pilihan yang patut masuk daftar starting line-up. Tapi sebagaimana "manajer" mana pun yang kadangkala sulit menentukan susunan pemain jika diberkahi pemain-pemain dengan kualitas yang mutunya setara, pilihan toh harus tetap diambil.

Kami membatasi pilihan dengan hanya memasukkan nama-nama yang berkiprah di era modern, tepatnya yang memulai era perjuangan modern (apa yang dalam pelajaran sejarah kerap disebut era pergerakan nasional). Dengan batasan ini, nama-nama yang mengorbankan dirinya untuk menyatakan "TIDAK" pada kolonialisme di abad-abad sebelumnya, seperti Diponegoro, Antasari, dll., tidak masuk daftar ini.

Karena patokan yang dipakai adalah sejak era pergerakan nasional, yang bisa dibilang dimulai di awal abad-20, maka nama-nama pejuang yang muncul belakangan pasca proklamasi juga tidak kami masukkan ke dalam daftar.

Berikut susunan -- apa yang kami sebut sebagai -- Kesebelasan Para Bapak Bangsa dalam formasi 3-5-2.

Kiper: Raden Mas Tirto Adi Soerjo

Posisi kiper kami serahkan pada sosok yang dalam bentuk fiksi-nya Pramoedya diberi nama Minke ini. Dia bukan hanya generasi awal para nasionalis (lahir pada 1880), tapi juga aktif dalam momen-momen penting pembenihan nasionalisme lewat kiprahnya mendirikan Sarekat Prijaji, Boedi Oetomo dan Sarekat Dagang Islam (SI) yang kemudian menjadi Sarekat Islam.

Dia pula yang memperkenalkan metode perjuangan lewat pena dan suratkabar dengan menerbitkan Medan Prijaji, surat kabar yang mempraktikkan apa yang di kemudian hari dikenal sebagai "jurnalisme advokasi". Kiper adalah posisi sunyi, dan Tirto memang mengalami kesunyian dalam masa akhir hidupnya, mati dalam kesendirian, dan nyaris tak akan dikenal dalam sejarah kita andai saja Pramoedya tak menghidupkannya kembali lewat Tetralogi Buru.

Bek Tengah 1: HOS Tjokroaminoto

Tjokro kami tempatkan di posisi bek tengah dari tiga bek tengah di lini pertahanan. Dia penting karena memulai tradisi baru kemunculan pemimpin nasional yang memaksimalkan mimbar sebagai cara perlawanan. Sebelum Sukarno muncul, dialah prototipe pemimpin yang membius dengan orasi, pemimpin yang dianugerahi aura messianik sampai disebut Heru Cokro, Ratu Adil.

SI memang didirikan atas inisiatif Samanhudi dengan dibantu Tirto, tapi popularitas Cokro-lah yang membuat SI menjadi organ pergerakan pertama yang diikuti oleh massa yang begitu berlimpah. Jangan lupa, dia juga "guru" bagi nama-nama penting di masa berikutnya: dari Sukarno, Musso hingga Kartosoewirjo.

Sebagai "guru" dari setidaknya dua nama lain yang masuk dalam daftar starting line-up (Sukarno dan Musso), Tjokro bisa diandalkan sebagai pemimpin di lini pertahanan Indonesia. Dialah Libero, dengan senioritasnya, yang diharapkan bisa mengendalikan setidaknya dua muridnya yang sangat agresif dan penuh syahwat perlawanan: Sukarno dan Musso.

Bek Tengah 2: Tjiptomangoenkosoemo

Ini juga nama veteran di era pergerakan. Dia sudah terlibat sejak pendirian Boedi Oetomo. Dokter ini terkenal karena sikap keras kepalanya dalam menyatakan sikap, baik terhadap kolonialisme maupun pada feodalisme Jawa.

Bersama Ki Hajar dan Douwes Dekker, dia salah satu triumvirat pendiri Indische Partij (IP), organisasi modern (yang tak sempat disahkan pemerintah) pertama yang sudah menggunakan kata Indische sebagai nama organisasi. Keberaniannya yang tanpa cadang membuat dia kerap disebut dengan mesra sebagai "Ontze Tjip" alias Tjip Kita.

Keberanian itu juga tercermin saat dia menjadi dokter pertama yang mendaftar sebagai sukarelawan memberantas wabah pes di Malang dengan resiko maut. Keberanian macam ini sangat penting bagi seorang bek tengah, yang di momen-momen darurat mesti melakukan segala cara untuk membendung serangan lawan, apa pun risikonya.

Bek Tengah 3: Douwes Dekker

Jika timnas Indonesia sekarang gemar menggunakan pemain naturalisasi, barangkali ini sebentuk kelanjutan dari sejarah Indonesia yang memang memiliki bibit-bibit "Indo" atau "hibriditas" dalam batang tubuhnya.

Douwes Dekker adalah seorang peranakan dengan darah Belanda mengalir di tubuhnya. Kenapa namanya masuk daftar? Karena inisiatifnya mendirikan Indische Partij. Ini bukan hanya organisasi pertama yang sudah menggunakan cikal bakal nama Indonesia sebagai nama organisasi, tapi ini pula organisasi pertama yang memperkenalkan metode perlawanan dengan mengumpulkan massa, rapat akbar dan tur kampanye dari kota ke kota.

Saking pentingnya Indische Partij, sejarawan Takashi Shiraishi menyebut bahwa era modern perlawanan atas kolonialisme baru benar-benar dimulai sejak berdirinya IP, khususnya setelah organ ini menerbitkan pamflet "Andai Saya Orang Belanda" yang ditulis Soewardi Soerjaningrat.

Dia bisa diandalkan sebagai inisiator serangan dari lini belakang, sebagaimana dia berperan meradikalisasi pergerakan nasional yang sebelum ide IP direalisasikan masih belum jelas merumuskan konsep kewargaan Hindia. IP memperkenalkan konsep "Hindia untuk orang Hindia" (tanpa peduli suku dan keturunan).

Gelandang Bertahan: Soedirman

Ini satu-satunya pengecualian: tokoh yang baru muncul pasca proklamasi yang bisa masuk daftar Kesebelasan Para Bapak Bangsa. Dia sosok penting yang mustahil diabaikan dalam epos perjuangan kemerdekaan. Namanya masuk juga untuk mengakomodasi debat klasik dalam sejarah Indonesia: kemerdekaan itu hasil diplomasi atau perlawanan bersenjata. Sulit membayangkan sejarah kemerdekaan Indonesia tanpa peran menghitung peranan angkatan perang. Dan untuk itulah nama Soedirman masuk.

Namanya masuk sebagai wakil dari sederet nama-nama penting yang ikut menjaga kemerdekaan Indonesia yang baru seumur jagung usianya dari penetrasi Belanda yang ingin kembali menduduki Indonesia melalui kekuatan senjata. Anggaplah dia Gelandang Pengangkut Air, walau pada praktiknya dia yang justru pernah diangkat-angkat oleh tandu dalam perang gerilya.

Dialah yang menambal lubang garis belakang pertahanan Indonesia saat Sukarno-Hatta-Salim memilih "menyerah" untuk ditangkap Belanda dalam Agresi Militer II.

Wingback Kiri: Musso

Musso masuk dalam daftar sebagai wakil dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Sejarah "resmi" boleh menghitam-hitam PKI, tapi bagaimana bisa membaca sejarah Indonesia tanpa menyebut PKI? Nyatanya, PKI-lah organ pertama yang resmi menggunakan nama "Indonesia". PKI juga organisasi pergerakan modern satu-satunya yang secara resmi pernah menyatakan perlawanan bersenjata terhadap kolonialisme Hindia Belanda -- saat organisasi lain masih "malu-malu" untuk berkata TIDAK dengan sekeras-kerasnya.

Musso adalah orang paling keras kepala yang menginginkan PKI tetap hidup walau kader-kadernya banyak yang terbunuh atau dibuang ke Diguel pasca perlawanan bersenjata yang gagal pada 1926. Lewat gerakan bawah tanah, dia terus menghidupkan sel-sel PKI. Nama Musso jadi berjelaga dalam sejarah "resmi" karena inisiatifnya pada peristiwa Madiun 1948. Tapi peristiwa itu harus dibaca sebagai sebuah tafsir alternatif tentang bagaimana sebaiknya kemerdekaan diisi, bagaimana perjuangan kemerdekaan sebaiknya diarahkan serta dengan ideologi apa Indonesia modern sebaiknya dijalankan.

Dengan tipikalnya yang keras kepala dan sukar dikendalikan, koppig dalam bahasa Belanda, juga latar belakang sebagai seorang komunis tulen (kadang disebut Stalinis) Musso barangkali kami pasang sebagai wing-back kiri. Dia diharapkan bisa menggedor pertahanan lawan secara terus menerus dan keras kepala. Sebagai pejuang yang bolak-balik Eropa (Moskow) dan Indonesia, dia diharapkan bisa kuat melakukan gerakan urang-alik dari depan untuk menyerang dan kembali ke belakang untuk ikut bertahan.

Wingback kanan: Agoes Salim

Tokoh luar biasa cerdas ini mewakili faksi Islam dalam sejarah pergerakan nasional (dan itulah sebabnya dia menempati posisi wingback kanan). Bersama Abdoel Moeis, dia berhasil menendang "faksi kiri" dari tubuh SI. Berkat konflik internal inilah akhirnya faksi kiri (biasa disebut SI Merah) akhirnya memisahkan diri dan kemudian akhirnya menjadi PKI. Dia pembela paling cerdas dari nasionalisme Indonesia dalam sidang-sidang Volksraad.

Sebagai tokoh paling berpengalaman dari semua nama yang masuk daftar (dia sudah aktif sejak awal abad 20 dan masih sempat membantu diplomasi pasca proklamasi), Agus Salim amat layak menempati posisi wing-back kanan karena peranannya sebagai guru dari nama-nama penting dari kelompok Islam dalam sejarah politik Indonesia, seperti Natsir, Roem hingga Kasman Singodimedjo (tokoh-tokoh Masjumi), saat menjadi "mentor" melalui Jong Islamieten Bond.

Sebagai tokoh Islam dengan pandangan yang progresif, dia cocok menjadi wingback kanan. Rajin mendobrak pertahanan lawan, sebagaimana dia getol mendobrak kejumudan berpikir seperti saat merobek pembatas yang memisahkan ruangan perempuan dan laki-laki. Tapi ketakwaan dan pengetahuannya yang dalam di bidang agama, cocok untuk terus mengingatkan banyak orang bahwa agresifitas perlu diimbangi oleh ingatan yang kuat tentang latar/lini belakang: iman, religiusitas dan spirit beragama yang progresif.

Gelandang Serang Kiri: Tan Malaka

Mungkin dialah satu-satunya nama berkaliber internasional dalam kancah perjuangan bangsa-bangsa terjajah. Namanya harum di negeri-negeri jajahan di Asia saat menjadi wakil komintern untuk Timur Jauh dengan aktif mendirikan partai-partai komunis di beberapa negara.

Pascaproklamasi, Tan menjadi simbol dari perjuangan tanpa kompromi, simbol dari apa yang disebut sebagai "revolusi nasional". Dia adalah alternatif dari triumvirat Soekarno-Hatta-Sjahrir yang bagi beberapa kalangan dianggap kelewat lembek dan kompromis. Bagi Ben Anderson, misalnya, penangkapan Tan Malaka pada Maret 1946 menjadi akhir dari apa yang disebut fase Revolusi Kemerdekaan. Dengan ditangkapnya Tan, kata Ben, tak ada lagi nama yang punya lisensi teori, praktik dan pengalaman untuk berbicara tentang revolusi.

Sosok yang amat disegani oleh Soekarno, Hatta dan Sjahrir ini (dengan berbagai aksentuasi keseganannya) ini juga ikut menyiapkan konsep Indonesia modern dengan tulisan-tulisan visionernya, seperti Naar de Republiek Indonesia. Sebagai gelandang serang, dialah pemasok semangat yang tiada habis dan pengumpan revolusi yang tiada banding.

Gelandang Serang Kanan: Soetan Sjahrir

Dialah yang termuda dari triumvirat Bung (Karno, Hatta, Sjahrir). Saat berusia 36 tahun, pada November 1945, dia sudah menjadi Perdana Menteri di bulan-bulan paling krusial kemerdekaan Indonesia. Bukan tugas yang mudah karena alat kelengkapan sebuah negara masih jauh dari lengkap, birokrasi masih belum jalan, uang tidak ada, angkatan perang masih tercerai-berai, sementara ancaman kembalinya Belanda benar-benar di depan mata.

Dialah "sekondan" Tan Malaka dalam hal menentukan arah perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Jika Tan memilih cara revolusi sosial melalui metode perlawanan bersenjata, Sjahrir memilih cara-cara yang lebih moderat dan mengedepankan diplomasi dalam berususan dengan Belanda.

Jika Tan adalah gelandang serang yang agresif dan tiada habis mengirimkan umpan revolusi ke lini depan (walau Sukarno-Hatta di lini depan tidak bisa mengkonversi umpan revolusionernya), Sjahrir adalah gelandang serang yang bisa mengimbangi politik revolusioner Tan dengan sikap tenang, dingin dan rasional dalam membaca medan permainan politik. Dia paham bahwa menghadapi lawan yang kuat seperti Belanda yang mempraktikkan total-voetbaal dengan kelengkapan amunisi yang lebih lengkap, Indonesia butuh sikap moderat dan sesekali perlu men-delay permainan melalui diplomasi.

Penyerang: Mohammad Hatta

Dalam skema duet kembar di lini depan, Hatta mendampingi Sukarno. Dia tokoh terpenting metode perjuangan non-kooperasi di era pergerakan nasional. Jika ada nama yang sejak awal sudah sadar pentingnya memikirkan dan menyiapkan konsep ekonomi bagi kemerdekaan Indonesia kelak, dia pula orangnya.

Seiring mendekati waktu proklamasi, posisinya semakin penting karena dia mewakili banyak hal yang tidak terwakili oleh Sukarno: luar Jawa, dianggap sebagai sosok muslim yang taat, dan yang terpenting sanggup menandingi birahi nasionalisme Sukarno yang kelewat menggelegak. Dia pula yang mencoba memastikan (dalam sidang BPUPKI dan PPPKI) nasionalisme dan negara Indonesia tidak tampil dalam wajah yang agresif dan ekspansif dengan mendesak dimasukkannya hak warga negara dan menolak gagasan dimasukkannya Malaya ke dalam wilayah Indonesia, bahkan ikut men-delay gagasan memasukkan Papua ke dalam wilayah Indonesia.

Di masa-masa "akurnya" dengan Sukarno, dialah supporting tiada banding bagi Sukarno sebagai ujung tombak. Saat Sukarno sibuk dengan gerakan-gerakan cepat lewat orasi-orasi yang membakar, Hatta yang terus mengerjakan tugas-tugas administratur yang sama pentingnya dengan mengobarkan semangat.

Penyerang: Sukarno

Bagaimana mungkin tidak memasukkan Sukarno? Itu kelewat mustahil. Dia bukan sosok agung yang tanpa cela, tapi peranannya keterlaluan jika diabaikan. Indonesia memang sebuah proyek bersama, dibangun, ditatah dan disungging oleh banyak nama. Tapi Sukarno-lah barangkali sosok yang paling bisa merepresentasikan rakyat Indonesia di fase-fase genting 1945. Bukan semata karena dia selalu mengidentifikasikan dirinya dengan rakyat, tapi dia pula yang sebenarnya paling dikenal oleh rakyat Indonesia.

Tak ada yang popularitasnya menandingi Sukarno dan dia paham benar mengkonversi popularitasnya itu untuk menggebyah-uyah kobaran nasionalisme (sebagaimana seorang penyerang tajam tahu cara mengkonversi peluang menjadi gol). Jika Hatta adalah rem, Sukarno-lah yang menjadi pedal gas dari kobaran nasionalisme itu.

Sukarno-lah bomber dari Kesebelasan Para Bapak Bangsa ini.

Komentar