Pasca-Blatter: Jangan Biarkan Blatter dan Kroninya Menarik Nafas

Editorial

by redaksi

Pasca-Blatter: Jangan Biarkan Blatter dan Kroninya Menarik Nafas

Mengejutkan! Sepp Blatter (akhirnya) mengundurkan diri jabatan sebagai Presiden FIFA. Pengunduran diri itu dinyatakan langsung oleh Blatter kemarin (2 Juni waktu Zurich). Jabatan Presiden FIFA yang belum sepekan diduduki oleh Blatter itu pun kini kosong kembali.

Beberapa orang bertanya: mengapa mundur setelah mencalonkan diri kembali sebagai Presiden FIFA dengan begitu keras kepalanya menafikan berbagai kritik, terutama setelah penangkapan beberapa pejabat teras FIFA oleh FBI?

Blatter mencoba menjawab pertanyaan itu melalui pidato pengunduran dirinya. Ia berkata: "Saya mencintai FIFA lebih dari apa pun dan saya hanya ingin yang terbaik bagi FIFA dan olah raga ini. Saya merasa perlu untuk mengikuti pemilihan ulang kemarin karena saya percaya bahwa ini adalah hal terbaik bagi organisasi. Pemilihan itu telah usai tapi tantangan FIFA belum. FIFA perlu pembongkaran masif."

Jadi, cukup jelas, Blatter merasa bahwa pencalonannya kembali sebagai Presiden FIFA pada kongres yang berlangsung pada 29 Mei lalu sebagai hal terbaik untuk sepakbola. Anda boleh tidak setuju, tapi begitulah ia menjelaskan sikapnya.

Akan tetapi, kendati mendapatkan suara mayoritas dari anggota FIFA dan akhirnya kembali terpilih sebagai Presiden FIFA, tapi Blatter menghadapi kenyataan lain: penolakan terhadap dirinya bukannya mengendur, tapi justru makin kencang. Penolakan itu kian deras ketika beberapa pejabat teras FIFA, termasuk Wakil Presiden FIFA periode sebelumnya, ditangkap FBI. Penolakan itulah yang, bagi Blatter, membuatnya sulit untuk bergerak.

Masih dari pidato pengunduran dirinya itu, Blatter menjelaskan situasinya: "Walau saya telah mendapat mandat dari anggota FIFA, saya merasa dunia sepak bola tak membagi mandat tersebut – para pemain, para fans, klub, dan semua yang mencintai olahraga ini."

Arus penolakan itulah, sekali lagi dengan merujuk pernyataan Blatter sendiri, yang akhirnya mendorong Blatter untuk mengundurkan diri sebagai Presiden FIFA.

Menariknya, Blatter justru menawarkan beberapa agenda reformasi versinya sendiri, yang dalam batas tertentu sebenarnya juga sudah didengungkan oleh banyak orang. "Karena saya tak akan menjadi kandidat, saya akan fokus ke reformasi fundamental dan mendalam yang telah kami lakukan sebelumnya. Selama bertahun-tahun kami bekerja keras untuk menerapkan reformasi administratif, tapi jelas bagi saya usaha ini belum cukup," katanya.

Inilah salah satu poin paling menarik dari pernyataan pengunduran diri Blatter. Beberapa agenda perubahan/reformasi FIFA yang ditawarkan Blatter di antaranya adalah:

Pertama, restruktirusisasi Komite Eksekutif (Exco) FIFA. Blatter bahkan menginginkan agar jumlah Exco FIFA dikurangi. Tak hanya itu, ia juga menginginkan agar anggota Exco FIFA dipilih melalui Kongres FIFA (sebagaimana jabatan Presiden FIFA).

Kedua, Blatter menawarkan agar diadakan pembatasan masa jabatan presiden FIFA dan Exco. Ini tawaran yang mengejutkan, sekaligus lucu. Siapa yang sebelumnya membayangkan Blatter akan menyetujui ide pembatasan masa jabatan Presiden FIFA? Padahal sudah banyak orang yang menginginkan hal itu.

Untuk diketahui, Kongres FIFA berikutnya akan diselenggarakan pada Mei 2016. Terlalu lama untuk membiarkan posisi sepenting Presiden FIFA kosong melompong. Blatter juga menginginkan agar Exco FIFA bisa secepatnya memutuskan Kongres Luar Biasa untuk memilih Presiden FIFA yang baru, tidak usah menunggu Mei 2016.

Blatter mengaku ia akan menegrahkan kemampuannya untuk memastikan agenda reformasi FIFA itu bisa berjalan. Katanya, "Karena saya tak akan menjadi kandidat lagi, saya akan fokus ke reformasi fundamental dan mendalam yang telah kami lakukan sebelumnya. Selama bertahun-tahun kami bekerja keras untuk menerapkan reformasi administratif, tapi jelas bagi saya usaha ini belum cukup."

Kata-kata yang luar biasa dari seseorang yang bertahun-tahun menjadi musuh besar publik yang sangat ingin melihat perubahan mendasar di tubuh FIFA. Sekali lagi, siapa sebelumnya akan yang menyangka Blatter yang nyaris tak tersentuh itu bisa menawarkan agenda-agenda perubahan sepenting itu?

Tapi kata-kata itu juga bisa tidak berarti, atau malah berbahaya. Pernyataan bahwa Blatter akan terus berusaha mengerjakan agenda reformasi, padahal ia sudah mundur dari jabatan Presiden FIFA, menjadi menarik untuk dikaji: dalam kapasitas apa lagi dia akan merealisasikan agenda reformasi itu?

Agaknya pengunduran diri Blatter memang tidak serta merta dia mundur saat itu juga, melepas semua jabatan dan privilege yang dimilikinya. Dia masih akan berada di tubuh FIFA hingga Kongres Luar Biasa Berikutnya sampai terpilih presiden baru.

Justru di situlah letak persoalannya. Agar pengunduran diri Blatter ini sungguh-sungguh bisa berdampak sistemik kepada perubahan FIFA, maka otoritas Swiss (atau FBI) perlu segera memastikan bahwa hari-hari mendatang tidak digunakan Blatter untuk mengkonsolidasikan "pasukannya sendiri". Membiarkan Blatter melakukan konsolidasi semacam itu, tidak terkecuali merancang calon pengganti dirinya, bisa saja dibaca sebagai upaya Blatter membangun semacam proxy untuk menyiapkan exit plan yang sempurna baginya.

Otoritas Swiss, atau juga FBI, sudah seharusnya merespons pengunduran diri ini dengan secepatnya melakukan pemeriksaan terhadap Blatter. Tidak banyak waktu tersisa, karena Blatter tentu tak akan membiarkan dirinya dengan begitu gampang dijebloskan ke penjara. Jangan biarkan Blatter menarik nafas panjang guna menyusun langkah-langkah taktis untuk menyelamatkan diri.

Ingat, institusi sebesar, sepenting dan sekompleks FIFA tentu saja tak mungkin dikendalikan oleh Blatter seorang. Setidaknya ia membangun jejaring, menyusun lingkaran elit, merancang kroni-kroni, dan dengan itulah ia mengatur roda sepakbola dunia. Jadi, jelas, Blatter tak sendiri!

Kita menunggu, dunia menanti, dibongkarnya kejahatan yang terjadi di tubuh FIFA hingga ke akar-akarnya. Bukan hanya kroni-kroni Blatter, tapi juga siapa pun yang dicurigai menjadi bagian dari sistem Blatter-ian yang korup dan manipulatif ini.

Siapa pun. Entah itu di Qatar, Rusia, Burundi, Ethiopia, AFC, Concacaf, atau PSSI sekali pun. Bukan begitu?

Komentar