Sebuah Kisah dari Benteng: Tentang Agustusan dan Azan Magrib Itu

Cerita

by Redaksi 33

Redaksi 33

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Sebuah Kisah dari Benteng: Tentang Agustusan dan Azan Magrib Itu

***

Hari semakin beranjak sore. Namun, semakin waktu mendekati petang, justru malah makin banyak warga yang datang ke lapangan. Bersamaan dengan mulai berdatangannya penonton ke lapangan, lomba sepakbola yang tadinya diramaikan oleh anak-anak, mulai berganti diramaikan oleh orang dewasa. Hebatnya, saya pun dimasukkan oleh teman saya ke dalam tim.

"Geus maneh maen we. Te nanaon da. Kurang euy pamaenna (Udah kamu main aja. Gapapa kok. Lagian pemainnya kurang)," ujar teman saya. Saya tak bisa menolak, tidak bisa juga mengiyakan. Namun, pada akhirnya saya tetap ikut bagian di dalamnya.

Berkaki telanjang, dan mengenakan pakaian seadanya, saya pun ikut menjadi bagian dari tim tarkam sore itu. Bisa disebut saya pemain gacong, karena saya bukan berasal dari desa, RT, ataupun RW setempat. Malah, beberapa penonton ada yang bilang saya mirip Carlos Puyol, alias marquee player. Saya tidak terlalu memerhatikan hal tersebut. Yang saya tahu saat itu hanya bermain bola dan berbahagia bersama pemuda lain yang juga bermain bersama saya.

Ada yang berambut kribo di dalam lapangan. Itulah saya!

Waktu memang kerap berlalu begitu cepat ketika kita melakukan sesuatu yang kita sukai. Itulah juga yang saya rasakan ketika menjadi bagian sesaat dari tim tarkam dalam pertandingan di Benteng tersebut. Tak terasa waktu pun beranjak mendekati waktu magrib. Menurut sebuah aturan tak tertulis, waktu magrib adalah waktunya menyudahi pertandingan. Tak lama setelah itu, azan magrib pun berkumandang. Waktu bermain bola telah usai.

Semua pun mulai kembali ke peraduannya masing-masing. Keringat membasahi tubuh pemuda-pemuda yang tadi bermain bersama saya. Ada sebuah senyum tersungging di wajah saya, menandakan sebuah kepuasan tersendiri yang mungkin belum lagi saya rasakan sejak sekian lama. Sebuah atmosfer sepakbola tradisional yang apa adanya, tanpa ada embel-embel tertentu. Sepakbola yang, hanya bisa dihentikan oleh waktu magrib semata.

Rasa-rasanya, seperti kembali ke masa kecil yang indah itu. .

***

Salah seorang pemain yang main bersama saya, Demet, mengungkapkan bahwa ajang ini kerap diadakan setiap tahun. Partisipasinya pun tidak hanya dari warga Benteng saja. Warga luar Benteng kerap ikut meramaikan acara yang dibuat menyambut HUT Kemerdekaan Indonesia ini.

"Acara ini ada setiap tahun, partisipasi tidak hanya dari warga Benteng tapi juga dari warga-warga luar Benteng. Mereka semua merayakan hari kemerdekaan bersama-sama," ujarnya.

Menurutnya, banyak jenis lomba sepakbola yang dimainkan di sini yang juga mendapatkan dukungan dari aparat pemerintahan setempat. Ada sepakbola ibu-ibu, anak-anak, bahkan orang dewasa yang berpakaian layaknya ibu-ibu. Dari sekian banyak jenis lomba sepakbola, ia menyebut bahwa sepakbola orang dewasa lah yang punya perhatian khusus di hatinya. Ada semacam laga klasik yang terjalin dalam ajang sepakbola dewasa.

"Saya ingat dulu pernah berantem, yaitu pas RT 1 sama RT 2 ketemu. Udah kaya clasico. RT 1 itu golongan rakyat menengah ke bawah, sedangkan RT 2 itu golongan orang kaya. Ini kadang jadi pemicu keributan juga di lapangan," ungkapnya.

Terlepas dari segala yang Demet ucapkan, saya benar-benar bersyukur menghabiskan sore itu di Benteng, ikut dalam tim tarkam meski hanya dalam satu pertandingan saja. Di situ, saya menyadari bahwa kemuliaan sepakbola tradisional masihlah ada dan hidup. Sepakbola yang diadakan untuk merayakan kemerdekaan Indonesia, sekaligus hanya bisa dihentikan oleh azan magrib.

Terima kasih atas sore yang indah, Benteng. Kelak, jika saya kembali ke sini lain waktu, kemuliaan sepakbola tradisional ini masih bisa saya rasakan di dalamnya.

Komentar