Football?s Coming Home: Nyanyian Piala Eropa 1996 yang Semakin Nyaring

Cerita

by Redaksi 7 Pilihan

Redaksi 7

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Football’s Coming Home: Nyanyian Piala Eropa 1996 yang Semakin Nyaring

Frasa “it’s coming home” selalu nyaring terdengar ketika Timnas Inggris berlaga di turnamen mayor. Tak hanya suporter di stadion, fans di media sosial pun ramai membicarakannya, terutama ketika hari pertandingan The Three Lions.

Istilah “football’s coming home” berasal dari lagu berjudul “Three Lions” yang dinyanyikan band rock asal Liverpool, The Lightning Seeds. Tembang itu dirilis pada 1996 sebagai lagu ofisial Piala Eropa 1996 di Inggris. “Three Lions” kemudian diadopsi secara luas sebagai nyanyian dukungan ketika Inggris bertanding.

Seiring kesuksesan timnas di Piala Dunia 2018 dan Piala Eropa 2020, dengung “football’s coming home” semakin lantang. Anak asuh Gareth Southgate berhasil menembus semifinal tiga tahun lalu. Sejauh ini, mereka juga sampai ke semifinal Piala Eropa.

Ketika lagu itu dibuat, maksud dari “coming home” adalah sepakbola (turnamen besar) kembali digelar di “tanah kelahiran”. Inggris dianggap sebagai tempat asal sepakbola modern karena rumusan awal permainan ini dicetuskan di Britania pada abad 19. Kini, istilah “sepakbola kembali pulang” bermakna kembalinya trofi turnamen antarnegara ke pelukan Timnas Inggris yang terakhir juara di Piala Dunia 1966.

Lirik yang dibawakan The Lightning Seeds rupanya tak lekang oleh waktu. Ia selalu relevan berkat pemaknaan baru. Mengingat besarnya legasi lagu ini bertahun-tahun kemudian, keputusan FA untuk mengganti lagu ofisial Piala Eropa 1996 dengan “Three Lions” tepat belaka.



Berawal dari Dokumen Agensi

Tadinya, lagu ofisial untuk Piala Eropa 1996 bukanlah “Three Lions”. Jack Pitt-Brooke, dalam laporannya untuk The Athletic, menyebut bahwa pihak penyelenggara awalnya menetapkan “We’re In This Together” yang dinyanyikan Simply Red sebagai lagu ofisial. Namun, lagu itu dianggap tak cukup menarik untuk memantik euforia.

Rick Blaskey, serang mantan eksekutif perusahaan rekaman, diminta FA untuk mencari lagu yang bisa menambah daya tarik Piala Eropa 1996. Saat rapat dengan FA, ia disodori dokumen yang dibuat Saatchi & Saatchi, sebuah agensi yang dijadikan konsultan promosi turnamen. Dokumen itu berjudul “Football Comes Home”.

Baca juga: Makna di Balik "Football`s Coming Home"

Blaskey segera mendapat ide topik yang akan digarap. Frank Skinner dan David Baddiel, dua presenter Fantasy Football League, acara komedi yang terkenal di Inggris waktu itu, diminta menulis lirik. Vokalis The Lightning Seeds, Ian Broudie ditunjuk mengompos musiknya. Pada 20 Mei 1996, lagu “Three Lions” pun dirilis ke publik.

Lagu ini segera menjadi hit di Inggris. Petikan lirik “footbal’s coming home” disukai suporter dan menjadi nyanyian di stadion. Tak lama setelah rilis, lagu ini menempati peringkat pertama dalam tangga lagu UK Singles Chart.

“Three Lions” kemudian memecahkan rekor sebagai lagu pertama yang bisa menempati tempat teratas UK Singles Chart dalam empat kesempatan berbeda. Menariknya, pada 2018, lagu ini juga memecahkan rekor sebagai lagu dengan penurunan peringkat paling drastis. Usai kekalahan Inggris dari Kroasia di semifinal Piala Dunia, rangking tembang itu anjlok dari tempat teratas ke posisi 97.

Lagu ini tak hanya diapresiasi secara luas di Inggris. “Three Lions” juga diputar di negara lain dan sempat menembus posisi top 20 di tangga lagu Jerman, Irlandia, Norwegia, serta Eurochart Hot 100 Singles yang dikompilasi oleh Billboard dan Music & Media.

Setelah 1996, beberapa versi baru dari lagu “Three Lions” juga dirilis. Sejumlah band pun mengover atau menyadur lagu ini. Salah satunya adalah band asal Jerman, Original Deutschmacher yang mengolahnya jadi lagu penghormatan bagi klub tradisional Bundesliga, Werder Bremen.

Lagu tentang Fandom: Makna Football’s Coming Home

Sekilas, “football’s coming home” terdengar seperti optimisme atas kesuksesan Inggris. Namun, lagu “Three Lions” sebenarnya bukan nyanyian pujaan yang mengobarkan nasionalisme. Menurut Ian Broudie, salah satu pencipta lagu, mereka berupaya menjauhkan kesan nasionalistik dari lagu tersebut.

“Itu [lagu ‘Three Lions’] lebih tentang menjadi seorang fan sepakbola, yang mana 90% waktunya dihabiskan untuk mengalami kekalahan. Sebagian besar dari pengalaman penggemar sepakbola adalah kekecewaan,” kata Broudie sebagaimana dikutip The Guardian.

Para pencipta lagu menolak ide FA melibatkan para pemain untuk bernyanyi. Alasannya, mereka tak ingin “Three Lions” sebatas jadi lagu yang melulu menyuarakan kemenangan dan kejayaan. Selebihnya, mereka tahu kalau, setelah 1966, Timnas Inggris cenderung tampil mengecewakan. Emosi seorang suporter yang mengalami kekecewaan-kekecewaan itu, tetapi terus berharap, adalah topik yang ingin mereka rekam.

“Ketika kami duduk dan menulis, hal pertama yang saya bicarakan dengan Frank [Skinner] adalah realitas: realitas seorang fans Inggris. Daripada menulis lagu yang diidealkan atau terdengar jaya, seperti yang sudah-sudah, kami memutuskan untuk menulis lagu yang mengasumsikan bahwa kami, Inggris, akan kalah. Karena pengalaman mengajarkan demikian,” kata David Baddiel.

“’Three Lions`, sesungguhnya, adalah lagu tentang keajaiban. Tentang menduga bahwa kami akan kalah, secara rasional, berdasarkan pengalaman, tetapi berharap bahwa kami entah bagaimana tidak akan [kalah] Itulah mengapa liriknya berpindah dari: Everyone seems to know the score/They’ve heard it all before/They’re so sure/That England’s going to blow it away…. Menuju But I remember—fragmen-fragmen kejayaan dalam sejarah sepakbola Inggris, yang melampaui rasionalitas Anda, memberi Anda harapan,” lanjutnya.

Baca juga: Football`s Coming Home dan Arogansi Inggris

Sejak pembuatannya, lagu ini sama sekali bukan dengungan bagi kebesaran sepakbola Inggris. Namun, makna yang ingin disampaikan pembuat lagu tentu tidak berlaku secara absolut. “Three Lions” tetap bisa dicomot sebagai lagu yang berbicara tentang kemenangan.

Tak sedikit yang mengasosiasikan “football’s coming home” dengan persepakbolaan Inggris yang dicap arogan. Kapten Kroasia, Luka Modric menyatakannya setelah semifinal Piala Dunia 2018. Tak hanya Modric dan Kroasia yang menganggapnya demikian.

Gareth Souhgate, sebagai wajah Timnas Inggris, berupaya meluruskan ribut-ribut “it’s coming home” yang rupanya membuat banyak pihak kesal. Sang pelatih menyebut bahwa optimisme semacam itu hanyalah candaan.



Southgate berupaya mengesankan Inggris sebagai tim rendah hati dan penuh rasa hormat, mengikis stereotipe arogan The Three Lions. Namun, bukan salahnya jika nyanyian seperti “football’s coming home” disuarakan dengan nada penuh optimisme dan kejayaan. Sebagian kalangan mungkin menganggap bahwa itu hanyalah candaan, tetapi sebagian tidak.

Baru-baru ini, pertanyaan seorang reporter Inggris pun mengesankan bahwa “football’s coming home” diamplifikasi sebagai nyanyian kejayaan. Di konferensi pers pralaga Denmark vs Inggris, Kasper Schmeichel dibuat tersenyum lebar oleh pertanyaannya. Setelah menyinggung tentang “football’s coming home,” sang reporter bertanya, “Apa artinya bagi Anda untuk menghentikan itu [sepakbola] kembali pulang besok malam?”

“Apakah itu [sepakbola] pernah pulang? Saya tidak tahu, pernahkah kalian memenangkannya?” jawab Schmeichel. “Ya, pada 1966,” timpal sang reporter. “Ya, tapi bukankah itu Piala Dunia?”, lanjut kiper Timnas Denmark tersebut.

Southgate dan sejumlah kalangan mungkin bersikeras kalau “football’s coming home” sekadar candaan, bukan dengungan bahwa Inggris berhak memenangkan segalanya. Skinner, Baddiel, dan Broudie boleh jadi tetap pada pemaknaan mereka atas lagu ciptaan sendiri, bahwa “Three Lions” bercerita tentang harapan, bukan kejayaan. Namun, mereka tak bisa memaksakan tafsir dan mengubah pemaknaan orang lain.

Satu yang jelas, legasi lagu “Three Lions” amatlah besar. Orang-orang dari negara lain juga mengapresiasinya. Jika suporter Inggris menjadikannya sebagai dendang kejayaan pun lumrah belaka. Dan suara optimistis itu akan semakin nyaring bila Inggris berhasil menjuarai Piala Eropa 2020.

Sumber foto: Marca

Komentar