Janggut Veron dan Bogem Mentah Untuk Bapak

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Janggut Veron dan Bogem Mentah Untuk Bapak

Oleh: Muhammad Reza Rachmadhani*

Setelah kekalahan Argentina dari Arab Saudi pada fase grup Piala Dunia 2022. Bapak menceritakan kisah menyedihkan ini pada saya. Begini ceritanya.

Kisah menyedihkan tersebut terjadi pada Piala Dunia 2002. Saat itu bapak sangat mengidolakan Juan Sebastian Veron, gelandang serang yang pernah bermain untuk Manchester United sekaligus kapten timnas Argentina itu. Kesukaannya pada Veron sebenarnya sangat tidak berhubungan dengan keahliannya sebagai seorang pesepakbola. Ia mengagumi Veron lantaran model janggut milik Veron sama dengan bulu hitam lebat yang menyelimuti bagian wajahnya.

Bapak memiliki kebanggaan tersendiri dengan janggutnya. Ia bisa menghabiskan waktu sejam dalam sehari hanya untuk mengurusi bulu-bulu peliharaan itu agar selalu bersih dan terlihat necis. Namun, janggut kesayangannya pernah mendatangkan malapetaka dan nyaris menghilangkan nyawanya.

Peristiwa itu terjadi pada saat Piala Dunia 2002 yang digelar di Korea Selatan dan Jepang. Di waktu yang sama, Pemerintah Indonesia sedang sibuk mengirim bala tentara ke Aceh untuk melawan orang-orang yang mereka sebut sebagai para pemberontak.

Ketika itu, Aceh tengah dilanda konflik berkepanjangan setelah Hasan Tiro mendeklarasikan perlawanannya terhadap pemerintah Indonesia di Gunong Halimon, Pidie. Hampir di setiap titik terjadi kontak tembak antara militer Indonesia dengan kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Semua akses dibatasi, razia di mana-mana, penculikan dan pembunuhan bisa terjadi kapan saja. Setiap orang bisa saja dicurigai sebagai cuak – orang yang bekerja sebagai mata-mata Militer Indonesia.

Dalam keadaan semacam ini, sulit bagi setiap orang yang bermukim di Aceh menemukan tempat yang aman. Khusus bagi penikmat sepak bola, untuk menyaksikan atau nonton bareng Piala Dunia di malam hari, nyaris tidak mungkin terjadi. Itu sama halnya dengan menghantarkan diri secara sukarela ke pintu kematian.

Meski saat itu belum berlaku darurat militer dan aturan jam malam secara formal, sebagian besar masyarakat tidak punya cukup keberanian untuk keluar rumah setelah azan magrib berkumandang. Pengecualian di pusat-pusat kota yang intensitas ketegangannya sedikit lebih rendah.

Kondisi yang demikian tentu sangat menyiksa semua orang, ditambah lagi dengan razia dan patroli dadakan yang dilakukan kedua kelompok. Mereka saling mengintai satu sama lain. Dalam kondisi yang lebih tragis, bisa saja terjadi kontak tembak di tempat-tempat umum yang mengakibatkan jatuhnya korban dari masyarakat sipil. Suasana semacam itu sudah lazim terjadi saat perang, tidak terkecuali di kampung Bapak, daerah terpencil di kaki pegunungan Aceh bagian timur.

Veron Diganti, Bapak Kehilangan Gigi

Pada periode muram itu, keberuntungan tidak memihak pada bapak sama sekali. Kejadian berawal saat Bapak sedang menyaksikan pertandingan terakhir fase grup antara Argentina dan Inggris di salah satu warung kopi di simpang kampungnya. Pada pertandingan itu, Argentina kalah dari Inggris dan harus angkat kaki dari Piala Dunia.

Entah apa yang merasuk Bapak pada malam yang nahas itu. Ia menggebrak salah satu meja di depannya dengan begitu keras, seperti sebuah ledakan mercon. Suara semacam itu terasa sangat ganjil di tengah kesunyian malam di daerah yang sedang di selimuti suasana konflik, di saat semua orang memilih tidur dan berdiam diri di rumahnya.

Aksi tercela itu dilakukan bapak setelah mengetahui bahwa Veron, pemain idolanya, ditarik keluar oleh pelatih Marcelo Bielsa pada jeda babak pertama. Bielsa menggantikannya dengan Pablo Aimar.

Gebrakan meja mendadak membuat seluruh pengunjung warung kopi yang berjumlah empat orang termangu. Seketika suasana muram nun mencekam menyelimuti seisi ruangan kayu yang di setiap dindingnya dipenuhi poster-poster pemain bola dan ayat-ayat suci Al-Quran.

Keempat orang tersebut memperhatikan bapak seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Mereka terpaku. Bapak termenung penuh penyesalan, seolah baru saja tersadar dari kerasukan jen jok -- makhluk jahat yang dipercaya dalam mitologi orang Aceh sebagai jin yang bersemayam di dalam pohon ijuk.

"Kejadeh mate tanyo malam nyo (jadilah kita mati malam ini).” Sebuah suara terdengar dari balik lemari kayu kecil – lemari yang berisi berbagai macam makanan ringan, seperti kacang dan kue kering, sekaligus sebagai tempat penyangga TV tabung keluaran 1997 yang sedang menyiarkan pertandingan Argentina vs Inggris.

Suara tersebut adalah suara pemilik warung kopi yang juga kepala desa di kampung bapak. Ia sadar bahwa telah melakukan kesalahan dengan membuka warung pada jam rentan terjadi pemeriksaan. Dan, hal yang dilakukan bapak beberapa waktu lalu akan mendatangkan masalah besar.

Bak gayung bersambut, dugaannya terbukti dengan kedatangan lima pria berpakaian militer lengkap yang baru saja selesai melakukan patroli di seputaran kampung. Malam itu, mereka sedang mengobrol di seberang jalan tepat di depan warung ketika suara dentuman meja terdengar.

Sejurus kemudian, salah satu pria berpakaian militer menendang keras pintu warung dari arah luar hingga terbuka lebar-lebar.

"Hooi, pesta kalian rupanya di sini? Kalian pikir udah merdeka?" ujar mereka.

Semua orang di dalam warung tercengung. Wajah mereka pucat dan tegang seperti tersengat aliran listrik.

"Babi mana yang tadi memukul meja?" bentak si pria penendang pintu.

Semua pengunjung melihat kearah bapak. Dengan wajah pucat pasi, bapak berdiri. "Saya, pak."

Tanpa sempat membela diri, dari jarak lima meter datang satu tamparan keras yang mendarat tepat sebelah kiri wajah Bapak. Ia meringis sakit.

Belum sepenuhnya tersadar, tiba-tiba satu tendangan sabit menyentuh paha kiri yang membuat Bapak terduduk di kursi kayu di belakangnya.

"Keluar semua kalian dari sini, baris di depan!" perintah salah satu pria berpakaian militer.

Bapak dan seluruh pengunjung warung yang ketakutan patuh atas perintah tersebut. Mereka semua keluar dan berbaris seperti gerombolan domba yang sedang diangon tuannya.

Jarum jam telah menuju pukul 2.45 dini hari. Suasana dingin seakan bersikap sama kejamnya saat menusuk kulit dan tulang-tulang kelima orang malang ini. Mereka dipaksa menanggalkan pakaian. Selain perasaan takut, yang tersisa hanyalah celana yang menutupi bagian bawah tubuh mereka.

Mereka telah di bariskan selama 20 menit di bawah bulan yang enggan bersinar terang. Ia seperti mengetahui hal yang menyedihkan sedang terjadi malam itu.

Di saat bapak dan keempat pria malang berdiri kaku tanpa gerakan sedikitpun, salah seorang pria berpakaian militer sibuk menggunakan pesawat selulernya. Ia terlihat sedang membicarakan suatu hal penting dan serius. Tiada satupun yang mengetahui Ia sedang berbincang dengan siapa. Dia hanya menunjukkan gerakan patuh dengan mengangguk-angguk beberapa kali.

Setelah 10 menit berbincang, Ia menutup pesawat seluler dan memasukkannya ke dalam saku baju. Sambil menuju ke arah bapak, ia memerintahkan kelima orang malang itu untuk menunjukkan identitas kependudukan atau KTP (saat itu belum berlaku KTP merah putih. KTP merah putih baru berlaku pada Juni 2003, setelah Aceh ditetapkan sebagai daerah darurat militer pada pertengahan Mei).

"Mana punyamu?" pria pengguna pesawat seluler bertanya pada bapak dengan nada mengancam.

Dengan terburu-buru, bapak mengambil dompet kulit tua berwarna hitam di dalam saku celananya. Belum selesai bapak mengeluarkan KTP, bagian belakang senjata M16 mendarat tepat di perutnya. Napasnya tersenggal, seolah akan ambruk. Seketika bapak kembali bediri dan mengumpulkan kembali kesadarannya sembari menahan rasa sakit.

"Cepat sedikit, anjing!" paksa pria tersebut.

Bapak menyerahkan KTP dengan tangan bergetar. Pria itu mengambilnya dengan kasar, kemudian membacanya dengan teliti. Setelah itu, ia menyerahkan KTP kepada salah satu pria lain di belakangnya. Hal serupa juga dilakukan kepada empat orang lainnya.

Penderitaan bapak pada malam itu belum berakhir, puncak deritanya hadir ketika kelima pria berpakaian militer tersebut mencurigai bapak sebagai salah satu Pimpinan GAM wilayah Batee Iliek (salah satu daerah yang menjadi pusat operasi GAM) . Dia adalah orang yang terus mereka buru selama satu tahun belakangan.

Kecurigaan itu bukanlah hal yang dibuat-buat. Wajah bapak memang memiliki kemiripan dengan orang yang masuk dalam DPO mereka. Telah banyak orang meminta bapak untuk mencukur habis janggut miliknya, salah satunya adalah Ibu.

Ibu beranggapan bahwa janggut yang saban hari dirawat bapak, membuat wajahnya lebih mirip dengan salah satu pimpinan GAM dibanding dengan Juan Sebastian Veron. Menurut ibu, janggut itu berbahaya untuk keselamatan bapak.

Bak berkepala batu, bapak tidak menghiraukan nasihat Ibu. Itu semua disebabkan keidolaannya terhadap Veron. Ia menutup telinga atas syak wasangka yang disampaikan ibu padanya.

Kemudian, untuk membuktikan kecurigaan mereka, para pria berpakaian militer terus mengintimidasi dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang mengarah pada sangkaan bahwa bapak adalah orang yang mereka buru selama ini. Sambil bertanya, beberapa bogem mentah terus mendarat ke arah wajah bapak yang menyebabkan seluruh area wajahnya bengkak. Akibat pukulan tersebut, wajah bapak terlihat seperti ikan buntal.

"Bukan, pak. Saya bukan dia. Saya telah tinggal disini selama 20 tahun lebih. Saya bekerja sebagai supir angkutan. Saya tidak pernah terlibat dengan kelompok itu. Jika tak percaya, tanyakan saja pada Pak Keuchik,” jari bapak menunjuk kearah pemilik warung kopi.

Dengan wajah gugup dan suara lirih, pemilik warung membenarkan penjelasan bapak. "Betul, pak. Dia warga kami, sejak remaja dia sudah tinggal di sini dan menikahi salah satu gadis di kampung ini".

Setelah mendengar penjelasan pemilik warung, Kelima pria berpakaian militer itu saling memandang, mereka melihat ke arah wajah bapak dan sesekali menukar pandang pada KTP yang diserahkan sebelumnya.

Seolah masih tidak percaya, ia mengancam pemilik warung kopi sambil mengacungkan senjata ke arah wajahnya. "Kalau kau bohong, kau yang kucari, aku akan ledakkan pantatmu dengan senjata ini, dengar kau?"

Dengan tubuh gemetar, pemilik warung kopi mengangguk, "Dengar, pak. Saya keuchik (kepala desa) di sini, saya yang tanggung jawab.”

Udara dingin semakin menyeruak masuk ke dalam pembuluh darah kelima orang malang yang tanpa pakaian ini. Dalam suasana dingin mereka masih tidak diizinkan untuk mengenakan baju.

Setelah dibariskan di depan warung kopi, pada pukul tiga dinihari, bapak dan keempat orang malang itu kemudian digiring ke daerah perbatasan desa yang di penuhi pohon-pohon kelapa.

Karena telah melakukan pelanggaran, mereka dihukum menurunkan seluruh bendera Bulan Bintang yang sore tadi dinaikkan oleh anggota GAM dengan cara dilempar menggunakan batu. Bendera itu berada di pucuk pohon kelapa yang tingginya mencapai tiga puluh meter. Ada sekitar dua puluh bendera, itu artinya mereka harus memanjat dua puluh batang pohon kelapa dalam waktu satu malam. Mereka baru dapat menyelesaikan hukuman itu saat azan subuh telah berkumandang.

Dalam keadaan lelah, bapak dan keempat orang malang itu menuju meunasah (surau) untuk membersihkan diri. Terlihat goresan-goresan merah di dada mereka. Goresan itu akibat memanjat pohon kelapa dalam kondisi bertelanjang dada. Itu terlihat mengerikan, mereka seperti baru saja diperkosa harimau betina.

Setelah selesai membersihkan diri, bapak hendak berwudhu untuk melaksanakan shalat subuh. Ia berkumur. Bapak terkejut saat melihat dua gigi gerahamnnya telah keluar dari mulut bersama air kumurannya.

"Papma!" Bapak mencela.

***

MALAM TELAH LARUT, suara serangga malam memenuhi suasana rumah yang dikelilingi pohon-pohon besar. Sebelum meminta izin untuk menyudahi ceritanya, Bapak meninggalkan pesan seperti ini.

"Jangan sesekali mengulangi kesalahan Bapak. Jangan pernah mendukung Argentina, terlalu banyak kemalangan untuk itu. Kemarin, Raja Salman baru saja mengumumkan hari libur Nasional setelah kemenangan timnas Arab Saudi dari Argentina. Memalukan sekali, kan?”

*Penulis adalah sarjana pendidikan Bahasa Inggris dari Universitas swasta di Aceh. Saat ini, aktif di salah satu LSM lokal di Aceh yang berkonsentrasi pada isu-isu kebudayaan. Penulis dapat dikontak melalui akun Twitter dan Instagram @murerach

*Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis melalui kolom Pandit Sharing. Segala isi

dan opini yang ada dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.

Komentar