Favela: Geng Bersenjata, Narkoba, Akademi Sepakbola

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Favela: Geng Bersenjata, Narkoba, Akademi Sepakbola

Oleh: Delpedro Marhaen*

Salah jika hanya mengenal favela (pemukiman kumuh padat penduduk di sejumlah wilayah Brasil) sebagai sarang narkoba atau kejahatan. Bagi dunia sepak bola, favela bak akademi sekelas La Masia. Di sana, sederet bintang sepak bola Brasil dilahirkan.

Sepak bola Brasil berhutang banyak pada favela. Pemain sekaliber Antony, Raphinha, Gabriel Jesus, Firmino, Zico, Ronaldo, Romario, hingga Ronaldinho merupakan jebolan favela. Sangat mungkin terbesit tanya: bagaimana kehidupan yang jauh dari taraf layak di favela dapat melahirkan bintang sepak bola?

Di bagian negara manapun bayangan yang terekam soal kawasan kumuh pasti tidak terlepas dari tindakan kriminalitasnya. Film Fast Five memperlihatkan betul gambaran soal favela. Ketika Dominic Torreto (diperankan Vin Diesel) berupaya merampok kartel narkotika besar di Brasil, Hernan Reyes (Joaquim de Almeida), ternyata lokasi itu dilindungi kepolisian. Aksi kemudian disusul adegan perkelahian antar geng dan tembak-tembakan.

Kejadian serupa benar terjadi di favela. Bahkan, perang antar geng bukan hanya terjadi karena persoalan narkoba atau perubatan wilayah, melainkan juga soal sepak bola. Bocah-bocah pemain sepak bola terbaik akan dipaksa untuk masuk ke klub milik dua geng terbesar di sana. Persaingan dalam memboyong tunas muda itu tentu bukan dengan cara baik-baik.

Tetapi, siapa yang peduli soal rebut-rebutan antar geng itu? Toh, “akademi favela” pada akhirnya tetap jadi mesin penghasil bintang pemain sepak bola bagi negeri Samba. Favela-lah yang mengantarkan Brasil dapat meraih lima kali trofi Piala Dunia. Entah bagaimana nasib sepak bola Brasil tanpa favela.

Keluar dari Jerat Kemiskinan

Melansir data Institut Geografi dan Statistik Brasil atau IBGE, terdapat 11,5 juta orang (sekitar 6% warga Brasil) yang bermukim di favela. Rio De Janeiro mencatatkan diri sebagai wilayah dengan penduduk favela terbanyak dengan satu setengah juta orang.

Jumlah yang besar itu berdampak pada kemampuan pemerintah setempat yang kesulitan dalam mengurus surat-surat dan data kependudukan kawasan favela. Alhasil, penduduk favela banyak yang tidak memiliki bukti kepemilikan tanah atas huniannya dan harus bersedia dipaksa pindah kapan saja.

Menurut IBGE juga, favela merupakan kawasan kota di bawah standar normal. Favela tidak memiliki layanan medis, tidak ada air bersih, saluran air yang buruk, dan sampah dimana-mana. Penduduk favela juga kerap kesulitan mendapatkan pekerjaan formal di pusat kota akibat tidak ada transportasi yang terhubung.

Melansir The Player`s Tribune, pemain Manchester United (MU), Antony, menceritakan soal mengerikannya tinggal dan tumbuh besar di tempat yang dijuluki “neraka kecil” itu. Ketika berusia delapan tahun, Antony pernah mendapati mayat yang tergeletak begitu saja di jalanan; entah mati karena perkelahian antar geng, over dosis narkoba, atau kelaparan. Semua bisa terjadi di favela.

Keluarga Antony sendiri sangat miskin. Rumahnya terletak di lingkungan pengedar narkoba yang dalam waktu tertentu aroma ganja bisa datang bertamu. Sistem penyerapan air juga sangat buruk. Setiap air hujan turun, rumah Anthony kerap kebanjiran. Kadang, seisi rumah tidak tidur untuk mengatasi banjir.

Antony dan ayahnya juga harus berbagi kasur karena tidak punya kamar tidur. Tak jarang, Antony hanya tidur di kursi. Di tengah kondisi serba sulit itu, ayahnya tidak pernah terbesit untuk mendukung Antony menjadi pesepakbola. Untuk beli sepatunya saja, ayahnya tidak mampu. Kendati demikian, Antony tetap bulat memiliki tekad seperti anak muda Brasil kebanyakannya: mengejar kesuksesan seperti Neymar atau Ronaldo.

Sepak bola jadi pilihan Antony untuk keluar dari kehidupan yang berbahaya itu. Pilihannya tidak salah. Hanya empat tahun setelah jalani debut profesional bersama Sao Paulo, ia bergabung dengan MU, tampil di Piala Dunia 2022, dan dapat memberikan kehidupan yang layak untuk keluarganya.

Senada dengan Antony, penyerang sayap Barcelona, Raphinha, mengatakan sepak bola telah menyelamatkannya dari kehidupan di favela. Jika dirinya tidak mengenal sepak bola, barangkali kini ia sudah menjadi bandar atau pecandu narkoba. Raphinha mengaku menyaksikan sendiri rekan-rekan seumurannya yang terjerumus ke dalam dunia narkoba hingga harus meregang nyawa.

Selama tinggal di favela, pemain kelahiran 14 Desember 1996 itu merasa seperti terputus dari negara; tidak ada hukum, apalagi jaminan kehidupan yang layak. Kini, ia berharap dapat jadi inspirasi bagi anak-anak yang mengalami kehidupan berat di favela.

Penyerang Arsenal, Gabriel Jesus, juga salah satu pesepakbola ternama yang berasal dari favela. Ketika pulang ke tempat tinggalnya dulu di Jardim Peri, Sao Paulo, Ia sempat tersenyum lebar dan berswafoto di depan mural besar bergambar dirinya. Di balik senyumannya, Ia mungkin kagum pada mural tersebut, atau menyadari bahwa kehidupannya sekarang sudah jauh lebih baik.

Petualangan Jesus untuk menjadi pesepakbola terkenal seperti sekarang tidaklah mudah. Ia sudah ditinggal oleh ayahnya sejak masih di dalam kandungan. Ibunya kemudian membesarkan Jesus dan empat anak lainnya seorang diri. Di usia remajanya, Jesus pernah mengecat jalanan untuk persiapan Piala Dunia 2014 yang digelar di Brasil.

Gabriel memutuskan sepak bola sebagai jalan pedang yang dipilihnya. Dirinya memilih menjauh dari kehidupan jalanan karena sosok sang ibu. Hari-harinya semasa kecil dilalui dengan berlatih sepak bola di sebuah lapangan yang dekat dengan penjara.

Penyerang Liverpool, Roberto Firmino, juga tumbuh besar di kawasan favela. Ia relatif sedikit lebih beruntung karena dapat berlatih sepak bola di akademi klub amatir Flamenguinho. Tetapi hal itu dijalani bukan tanpa tantangan, demi berlatih Firmino harus mencari cara agar tidak terkena hujan perlu dari para gangster yang sedang berkonflik.

Sama seperti pemain bintang jebolan favela lainnya, Firmino kecil hidup sangat miskin. Ayahnya hanya pedagang kaki lima yang menjajakan air kemasan di depan lapangan sepak bola, sementara ibunya memilih tinggal di rumah. Barangkali, itu yang jadi alasan Firmino untuk tetap berlatih meskipun bisa terkena peluru nyasar, ketimbang harus hidup menderita di favela.

Anthony, Raphinha, Gabriel Jesus, dan Firmino hanya gambaran kecil dari banyaknya pemikiran anak muda yang tinggal di favela untuk dapat keluar dari kemiskinan akut, yakni meniti karier sebagai pesepakbola. Mimpi mereka sama: bermain untuk klub lokal, hijrah ke Eropa, dan menandatangani kontrak dengan klub besar, atau bahkan sekedar membawa keluarganya keluar dari favela sebelum mati tergeletak di jalanan tanpa diketahui apa penyebabnya.

Indonesia-Favela: Beto, Jacksen Tiago, dan Regenerasi Sepak Bola Indonesia

Sepakbola Indonesia sendiri punya hubungan yang cukup erat dengan favela. Seperti pesepakbola Brasil lain, beberapa dari mereka yang berlaga di liga Indonesia juga berasal dari lingkungan favela. Salah satunya adalah Beto Goncalves yang lahir di Belem, dari negara bagian Para, utara Brasil. Karier sepak bolanya naik-turun hingga akhirnya berlabuh di Indonesia, lalu membela Timnas Indonesia.

Selain Beto, ada juga pelatih Jacksen Tiago yang banyak menghabiskan karier sepakbolanya di Indonesia. Ia datang ke Indonesia pada tahun 1994. Kondisi keuangan yang kembang-kempis dan krisis ekonomi yang melanda Brasil menjadi dorongan untuk Jacksen berkarir sampai ke Indonesia. Mata uang Brasil pada saat itu nilainya terus turun. Sedangkan, jika berkarir di Indonesia, Jacksen mendapatkan gaji dengan mata uang dolar AS.

Pria yang pernah ditangkap oleh kepolisian Brasil karena merampok bus pada usia remaja itu menorehkan catatan gemilang di Liga Indonesia. Sebagai pemain, Jacksen berhasil mengantarkan Persebaya juara liga Indonesia musim 1996/1997 dan jadi top skor. sebagai pelatih, ia total meraih tiga titel juara liga (Persebaya Surabaya pada 2004 dan Persipura Jayapura pada 2009, 2011, 2013).

Selain Beto dan Jacksen, kaitannya Indonesia dengan favela adalah soal pesepakbola yang datang dari keluarga miskin, lingkungan kumuh, padat penduduk, dan penuh tindak kriminal. Sayangnya, pengelola sepakbola di Indonesia tidak memberikan ruang, fasilitas, dan kesempatan bagi pesepakbola jalanan atau akademi amatir untuk menjadi dapur pacu sepak bola dalam negeri seperti “akademi favela” di Brasil.

Masa Depan Favela dan Bagaimana Sepak Bola Indonesia Meniru

Di Rio, tepatnya di Rocinha – favela terbesar di Brasil – pemerintah setempat memfasilitasi lapangan berumput sintetis dengan perlengkapan sepatu dan seragam. Fasilitas tersebut dipergunakan setiap harinya oleh anak-anak dan remaja di Rocinha untuk berlatih.

Laga uji coba atau persahabatan dengan klub-klub dari favela lain, bahkan klub sepak bola profesional pun kerap digelar di sana. Pemain dari klub lokal di Brasil, seperti Flamengo dan Botafogo, sering mendatangi lapangan-lapangan sekitar favela untuk melakukan hal seperti itu. Bahkan, asosiasi sepak bola Belanda, Koninklijke Nederlandse Voetbalbond (KNVB), turut ambil bagian membantu dengan memberikan latihan dan perlengkapan. Mereka yang berlatih di lapangan itu pun diwajibkan untuk bersekolah. Inisiatif itu mendukung mimpi anak muda di Brasil untuk hidup dari sepak bola ketimbang harus tercebur ke dunia gelap favela.

Kita sama-sama memimpikan ada inisiatif seperti itu dilakukan di Indonesia. Bayangkan, jika para pesepakbola jalanan dari kawasan Tambora, Jakarta Barat atau Tanjung Priok, Jakarta Utara dapat perhatian dari, misalnya, Persija Jakarta berupa pelatihan secara cuma-cuma. Bahkan, dari klub Liga 2 pun rasanya sudah cukup.

Barangkali, pemain seperti Anthony, Jesus, Raphinha, atau Firmino sebenarnya dapat ditemui di kawasan-kawasan kumuh. Tetapi, mereka tidak pernah terjamah oleh pengelola sepak bola kita. Sepak bola kita lebih menitikberatkan pada sekolah-sekolah sepak bola formal dan beken. Belum lagi soal titip-menitip pemain muda untuk dapat porsi lebih. Intinya, mafia juga yang mengatur soal regenerasi dan distribusi sepak bola Indonesia.

Pemerintah Indonesia juga seharusnya sadar akan dampak positif dari skema tata kelola tersebut. Menumpas peredaran narkoba dari satu kota adalah ilusi. Berapa banyak pun razia digelar di kawasan penghasil narkoba, hasilnya tetap sama: tak akan benar-benar bersih dari narkoba. Daripada anak-anak muda di wilayah miskin dan padat penduduk masuk jebakan maut dunia narkoba, lebih baik difasilitasi minat dan bakatnya, salah satunya menyediakan sarana sepak bola.

Tindakan yang dilakukan pemerintah setempat memang bukan solusi untuk menumpas kemiskinan, kejahatan, ataupun kepadatan penduduk, tetapi cukup untuk mencegah seorang anak muda mati di jalanan tanpa alasan dan penyebab yang jelas. Jika tuhan berkehendak, mereka bisa jadi pesepakbola profesional dan berkecukupan untuk membiayai keluarga.

Singkat kata, iklim, kondisi sosio-budaya, dan infrastruktur Brasil hampir mirip dengan Indonesia Tetapi, mengapa mereka dapat melahirkan regenerasi pesepakbola yang ciamik di setiap generasi dan tidak demikian halnya dengan kita? Kuncinya adalah keseriusan dan ketulusan para pengurus dan pemangku kepentingan.


*Penulis merupakan asisten peneliti di sebuah organisasi hak asasi manusia yang bisa dihubungi di akun Instagram @delpedrom

*Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis melalui kolom Pandit Sharing. Segala isi

dan opini yang ada dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.

Referensi

Teguh, Stefanus. “Piala Dunia”. Tempo.co. 2014. Diakses pada 4 Desember 2022 di https://pialadunia.tempo.co/read/591072/favela

Knipp, Kersten. “Favela dan Harapan Barunya. Deutsche Welle. 2014. Diakses pada 4 Desember 2022 di dw.com/id/favela-dan-harapan-keluar-dari-kemiskinan/a-17541998

Gerendo, Benediktus. “Kisah Kehidupan Antony yang Mengguncang: Melangkahi Mayat di Jalanan Favela, Paul Scholes pun Tak Bakal Bisa Mengerti”. Bola.net. 2022. Diakses pada 4 Desember 2022 di https://www.bola.com/inggris/read/5126832/kisah-kehidupan-antony-yang-mengguncang-melangkahi-mayat-di-jalanan-favela-paul-scholes-pun-tak-bakal-bisa-mengerti

“Berasal Dari Favela, Raphinha: Sepak Bola Menyelamatkan Saya”. Msportid.com. 2022. Diakses pada 4 Desember 2022 di https://msportsid.com/news/berasal-dari-favela-raphinha-sepak-bola-menyelamatkan-saya

Firdiansyah, Abrar. “Mural Gabriel Jesus dan Masa Lalunya di Favela”. Kumparan.com. 2018. Diakses pada 4 Desember 2022 di https://kumparan.com/kumparanbola/mural-gabriel-jesus-dan-masa-lalunya-di-favela/full

Hermawan, Reynaldi. “Roberto Firmino Kecil Harus Hindari Peluru Demi Latihan Sepak Bola”. Inews. 2022. Diakses pada 4 Desember 2022 di https://www.inews.id/sport/soccer/roberto-firmino-kecil-harus-hindari-peluru-demi-latihan-sepak-bola

Goncalves, Beto. “Beto Goncalves: Favela, Neymar, dan Kejutan Bela Timnas”. CNN Indonesia. 2022. Diakses pada 4 Desember 2022 di https://www.cnnindonesia.com/olahraga/20221101202952-142-868256/beto-goncalves-favela-neymar-dan-kejutan-bela-timnas/2

Tiago, Jacksen. “Favela dan Penjara yang Mengubah Jacksen Tiago”. CNN Indonesia. 2019. Diakses pada 4 Desember 2022 di https://www.cnnindonesia.com/olahraga/20191210160348-142-455748/favela-dan-penjara-yang-mengubah-jacksen-tiago

Komentar