Kajian Wisata Stadion Sepakbola di Indonesia: Sudah Sebagus Apa Stadion I Wayan Dipta?

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Kajian Wisata Stadion Sepakbola di Indonesia: Sudah Sebagus Apa Stadion I Wayan Dipta?

Oleh: Minke*

Wisata tur stadion sepakbola adalah hal baru di Indonesia. Sampai saat ini baru Bali United Football Club (BUFC) yang menawarkan tur di Stadion I Wayan Dipta, Gianyar. Padahal, tur stadion jamak dijumpai di negara-negara yang menjadi kiblat sepakbola, khususnya di Eropa, seperti Inggris, Spanyol, Italia, Perancis, Belanda, dan Jerman.

Di Inggris, misalnya, ada stadion Old Trafford milik Manchester United, Anfield milik Liverpool, Stamford Bridge kepunyaan Chelsea, dan Emirates Stadium kepunyaan Arsenal. Sementara itu, di Spanyol ada Santiago Bernabeu dan Camp Nou, masing-masing markas Real Madrid dan Barcelona. Lalu, ada Johan Cruijff Arena di Belanda, Allianz Arena di Jerman, dan Giuseppe Meazza di Italia. Semuanya menjadi salah satu destinasi favorit para wisatawan ketika berkunjung ke negara yang bersangkutan.

Pengembangan stadion menjadi lebih dari hanya tempat pertandingan olahraga adalah cara memastikan keberlanjutan stadion itu sendiri. Saat ini pengelola stadion sudah mengembangkan stadion juga untuk acara konvensi, kegiatan malam, juga bekerja sama dengan hotel (Ginesta, 2017). Tujuannya agar ada pemasukan konstan sepanjang tahun, tidak hanya mengandalkan kegiatan olahraga.

Mengunjungi stadion, baik untuk menonton pertandingan, melakukan tur, maupun sekadar melihat bangunannya dari luar, termasuk dalam aktivitas pariwisata olahraga. Menurut Gibson (1998), secara umum ada tiga aktivitas utama pariwisata olahraga yaitu menonton, partisipasi aktif, dan mengunjungi tempat (bersejarah seperti museum dll.). Dalam tulisannya, Edensor dkk. (2021) menyebutkan bahwa kunjungan ke stadion bagi penggemar sepakbola, khususnya yang tinggal jauh sekali dari markas klub kesukaan, bersifat sakral. Stadion tidak sekadar bangunan, tapi sudah menjelma sebagai tempat untuk ‘naik haji’.

Edensor dkk. menjabarkan empat dimensi pengalaman wisata stadion sepakbola yaitu sebagai (1) museum tempat liburan keluarga, (2) lokasi ziarah/naik haji tempat sakral pendukung sepakbola, (3) venue kegiatan tempat memberikan layanan, dan (4) restoran tempat menyajikan keramahan, makanan, dan minuman.

  1. Sebagai museum: tempat untuk liburan keluarga. Tur stadion menjadi wadah bagi pesertanya belajar tentang sejarah klub. Dalam tur, umumnya peserta bisa melihat kumpulan jersi klub, sejarah pendirian, trofi yang diraih, serta mendapat pengalaman masuk ke ruang ganti, duduk di bangku cadangan, lorong keluar masuk pemain, kotak VIP, dan ruang jumpa pers. Edensor dkk. menambahkan peran penting pemandu tur, yang bisa menambah positif pengalaman peserta, menyajikan edukasi sekaligus hiburan. Satu hal yang disoroti Edensor dkk. adalah wisata keluarga di stadion masih kurang diperhatikan, padahal punya potensi. Sejumlah ulasan di Tripadvisor mengungkap antusiasme anak-anak saat liburan keluarga di stadion.
  2. Sebagai lokasi ziarah/naik haji: tempat sakral pendukung sepakbola. Dalam artikelnya, Gammon (2004) menulis bahwa kunjungan ke stadion sangat berkesan khususnya bagi pendukung yang berjarak jauh dari klubnya. Pengalamannya seperti naik haji ke Mekkah. Kesan mendalam ini bahkan tidak cuma berlaku bagi pendukung, tapi juga pengunjung netral. Dalam merancang pengalaman yang berkesan, pengelola wisata stadion perlu memerhatikan tiga hal: sejarah, kenangan, dan atmosfer.
  3. Sebagai venue kegiatan: tempat memberikan layanan. Beberapa kegiatan yang umum digelar di stadion antara lain konvensi, konser musik, dan acara korporasi. Hal yang membikin pengunjung nyaman adalah aksesibilitas yang bagus, kebersihan, dan efisiensi tata letak. Tentang aksesibilitas, yang penting diperhatikan adalah waktu tempuh, pengaturan lalu lintas, moda transportasi, pengaturan antrean, dan alur keluar masuk massa. Sementara untuk kebersihan, perlu menaruh perhatian terhadap tempat sampah makanan dan minuman, serta kebersihan toilet.
  4. Sebagai restoran: tempat menyajikan keramahan, makanan, dan minuman. Penyediaan makanan masih jarang diperhatikan dengan rinci. Padahal hal ini bisa dihubungkan dengan semakin pentingnya wisata gastronomi. Selain kualitas makanan, yang juga penting adalah kualitas pelayanan di restoran.

Menggunakan keempat dimensi tersebut, saya memberikan analisis terhadap kondisi wisata tur Stadion I Wayan Dipta saat ini. Belum ada stadion yang menawarkan hal serupa di Indonesia, sehingga jumlah studi kasus sangat terbatas. Tur Stadion I Wayan Dipta hadir pada 2019 namun sempat vakum saat awal pandemi COVID-19 menyerang Indonesia. Tur stadion baru dibuka kembali oleh manajemen BUFC pada awal 2022.

Satu hal krusial yang membuat terwujudnya wisata tur Stadion I Wayan Dipta adalah kontrak. Belum ada satu pun klub sepakbola Indonesia yang memiliki stadion. Stadion yang dipakai dalam gelaran liga nasional, baik Liga 3 maupun Liga 1, kebanyakan milik pemerintah daerah. Ada pula yang dimiliki lembaga negara lain seperti Gelora Bung Karno yang dimiliki Sekretariat Negara. Sebagian besar klub menyewa jangka pendek stadion yang jadi markas. Umumnya disewa hanya untuk latihan dan pertandingan. Di sisi inilah yang membedakan BUFC dengan klub-klub lain. BUFC tidak mengontrak I Wayan Dipta hanya pada saat pertandingan dan sesi latihan, namun ada juga kontrak untuk pengelolaan stadion. Kontrak itulah yang memungkinkan BUFC membuat tur stadion, karena punya keleluasaan.

Ide tur Stadion I Wayan Dipta datang dari luar. Menurut keterangan manajemen BUFC, awalnya sejumlah wisatawan domestik dan asing ingin melihat ke dalam stadion dan lapangan. Mereka menanyakan juga tentang sejarah BUFC dan kondisi klub saat ini. Berawal dari situ, manajemen membuat program yang lebih bisa memperkenalkan BUFC khususnya kepada wisatawan dari luar Bali. Manajemen ingin BUFC menjadi destinasi pariwisata olahraga di Bali.

Menggunakan kerangka empat dimensi wisata stadion sepakbola yang dirancang Edensor dkk., kita bisa mengkaji sejauh mana praktik wisata tur Stadion I Wayan Dipta:

  • Sebagai museum: manajemen BUFC memiliki target pasar yang sudah sesuai dengan kekurangan yang disebutkan Edensor dkk. dalam penelitian yaitu tur anak sekolah dan keluarga. Untuk wisatawan mancanegara, target pengunjungnya adalah wisatawan Belanda dan Jerman. Dari sejumlah video Youtube terlihat pengunjung diajak pemandu mengunjungi ruang ganti, jalur masuk, studio BUFC TV, royal box (VVIP), ruang jumpa pers, dan bangku cadangan. Lokasi-lokasi yang bisa diakses pengunjung sudah sangat mirip dengan pengalaman penulis saat tur di Estadio Metropolitano di Madrid yaitu ruang ganti, jalur keluar masuk pemain ke lapangan, ruang jumpa pers, ruang pamer jersi dan trofi, serta bangku cadangan tim. Tur stadion tidak hanya tentang belajar sejarah klub tapi juga memberi kesempatan pengunjung pengalaman lebih jauh dan mengena seperti merasakan ruang ganti, lorong masuk. Hal ini membuat pendukung merasa semakin dekat dengan klub.

  • Sebagai lokasi ziarah: Belum terjadi karena BUFC baru berdiri pada 2015 dan basis pendukungnya masih terbatas di Bali. Kendati sudah mengantongi dua gelar juara liga, namun popularitas BUFC masih ada di belakang klub-klub seperti Persebaya, Persib, Persija, dan Arema. Catatan BUFC menyebutkan, sebanyak 20% pengunjung datang bersama keluarga, sementara 80% merupakan pengunjung yang datang bersama teman. Jumlah pengunjung dari luar Indonesia sejumlah 90%, sisanya dari luar Bali. Tidak ada pengunjung dari Bali, namun fenomena ini tidak asing. Ihwal minat berwisata stadion dari luar ini juga dituliskan Edensor dkk. (2021) dalam penelitiannya. Jumlah pelaku tur stadion dari luar kota atau luar negeri jauh mendominasi pengunjung dari kota markas sebuah klub. Fans lokal jauh lebih jarang melakukan tur stadion daripada fans internasional atau nasional. Untuk memperkenalkan BUFC ke khalayak lebih luas, manajemen juga membuat toko merchandise tempat para pengunjung membeli pernak-pernik klub. Pada satu kesempatan, penulis pernah menemui salah satu warga Belanda yang memakai jersi BUFC, hasil oleh-oleh dari kakaknya yang berlibur ke Bali.

  • Sebagai venue kegiatan: BUFC memanfaatkan I Wayan Dipta untuk memberi layanan pre-wedding dan konser musik. Menyoal aksesibilitas, Stadion I Wayan Dipta berjarak 37 km dari Bandara Ngurah Rai, dan bisa ditempuh dengan berkendara selama 60-70 menit. Persoalan utama aksesibilitas stadion ini adalah kurangnya tranportasi umum, sebagaimana kasus di stadion-stadion lain di Indonesia. Penyediaan transportasi umum bukanlah tanggung jawab BUFC, melainkan pemerintah daerah di Bali. Namun, BUFC bisa mencontoh praktik di Belanda. Saat ada pertandingan atau kegiatan penarik kerumunan massa lain, pengelola stadion berkoordinasi dengan pemda guna menyediakan transportasi umum khusus dari dan ke stadion. Waktu operasionalnya antara 2 jam sebelum acara dan 3 jam setelah acara.

  • Sebagai restoran: BUFC memiliki Bali United Café, kafe dengan konsep sport cafe yang bisa digunakan nonton bareng. Kafe ini dilengkapi layar LED, sound bar, dan band untuk mengadakan acara tertentu. Kafe punya pemandangan langsung ke lapangan untuk pengalaman lebih berkesan. Pengunjung dapat menikmati pertandingan BUFC dari dalam kafe. Hadirnya Bali United Café bertujuan untuk menunjukkan ke warga Bali bahwa datang ke stadion menonton pertandingan adalah gaya hidup, menonton bersama keluarga itu nyaman dan aman.

Menggunakan keempat dimensi di atas, dapat kita lihat bahwa wisata tur stadion yang ditawarkan BUFC dirancang dengan baik dan memerhatikan hal-hal yang sudah ditawarkan oleh stadion-stadion yang sudah lebih mapan dalam hal tur stadion. Lokasi-lokasi dalam stadion yang dikunjungi mirip dengan tur di Estadio Metropolitano di Madrid dan Johan Cruijff Arena di Amsterdam. Manajemen BUFC pun sudah menyadari potensi segmen pasar keluarga sebagaimana disorot Edensor dkk. dalam penelitian. Namun, sebagai klub sepakbola yang usianya belum genap 10 tahun, tur ke Stadion I Wayan Dipta masih sulit dilihat sebagai laku ziarah/naik haji, sebagaimana kunjungan ke stadion sakral lain semisal Old Trafford di Manchester, San Siro di Milan, ataupun Camp Nou di Barcelona.

Pasar Liga Indonesia masih terbatas di dalam negeri. Pengunjung dari luar negeri atau luar Bali belum melihat I Wayan Dipta sesakral seorang fans Madrid dari Indonesia saat mengunjungi Santiago Bernabeu. Belum lagi fakta yang ditemukan Edensor dkk. bahwa fans lokal jauh lebih jarang melakukan tur stadion daripada fans yang tinggal jauh dari markas klub.

Dalam usaha menarik kunjungan ke tur stadion, BUFC sudah bekerja sama dengan ASITA (Asosiasi Agen Perjalanan Wisata Indonesia) untuk mempromosikan program mereka tersebut. Langkah ini sudah sesuai dengan saran Edensor dkk. tentang pentingnya bekerja sama dengan pemangkut kepentingan industri pariwisata dalam mempromosikan wisata tur stadion sepakbola.

Kendati manajemen BUFC menawarkan Stadion I Wayan Dipta sebagai lokasi konser musik, namun konser musik besar di Indonesia sejauh ini jarang memilih Bali sebagai lokasi utama, terlepas Bali adalah tempat berlibur nomor wahid di Indonesia. Sejumlah konser besar tahun ini dan tahun depan, sebut saja konser Seventeen, NCT, Stray Kids, Blue, Black Pink, dan Sheila on 7 digelar di Jabodetabek.

Kemudian, perihal aksesibilitas, sejauh ini dukungan pemerintah daerah di Bali masih minim, jika tidak mau dibilang absen. Terakhir, niat BUFC menjadikan kafe mereka sebagai etalase positif menonton pertandingan sepakbola langsung di stadion adalah gaya hidup, bahwa menonton bersama di stadion merupakan hal menyenangkan, membutuhkan kerja teramat keras, apalagi setelah Tragedi Kanjuruhan. Memantau percakapan di media sosial sejak awal Oktober, semakin banyak orang yang mengurungkan niat menonton sepakbola langsung di stadion karena khawatir terhadap keamanan dan keselamatan diri.

*Penulis bisa dikontak di akun Twitter @ATM_GarisLunak

*Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis melalui kolom Pandit Sharing. Segala isi

dan opini yang ada dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.

Komentar