Whistleblowing di Sepakbola Indonesia: Sudah Saatnya Semua ikut Meniup Peluit

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Whistleblowing di Sepakbola Indonesia: Sudah Saatnya Semua ikut Meniup Peluit

Oleh: Muhammad Adriansyah*

Peluit adalah salah satu perangkat paling penting yang harus dimiliki oleh seorang wasit yang bertugas di suatu permainan. Dengan adanya peluit, seorang wasit dapat memberikan instruksi kepada para pemain di lapangan. Dengan adanya peluit, seorang wasit juga dapat memberikan peringatan telah terjadinya pelanggaran di lapangan. Lantas, bagaimana jika kita semua memiliki kesempatan untuk memegang dan meniup peluit tersebut?

Jika diibaratkan, sepakbola Indonesia adalah bola yang digulirkan dan dimainkan oleh para pemain di lapangan. Pelanggaran kerap terjadi, namun hanya ada sedikit pemangku kepentingan yang memegang peluit. Para penonton (baca: masyarakat) terus berteriak mengingatkan para pemegang peluit bahwa mereka telah mendeteksi adanya pelanggaran di dalam lapangan. Namun hanya beberapa teriakan mereka yang didengar. Peluit tak kunjung ditiup, penonton berteriak frustrasi, dan pemain curang pun tersenyum.

Untungnya, kita punya media yang baik hati. Media turut serta—bersama pemangku kepentingan lain—dalam mendeteksi dan mengomentari “pelanggaran” tersebut. Hingga pada akhirnya hal ini menjadi perhatian dan mulai ditanggapi secara serius oleh sang pengelola lapangan, yaitu Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI).

Belakangan ini, PSSI sedang diserang oleh isu dugaan pengaturan skor dan suap di Liga 1, Liga 2, dan Liga 3. Menanggapi hal itu, PSSI sempat menyatakan bahwa pihaknya akan serius dalam merespons isu tersebut. PSSI juga mengajak seluruh stakeholder sepakbola bekerja sama memerangi suap dan pengaturan skor di sepakbola Indonesia.

Salah satu yang dilakukan adalah dengan mendukung langkah Kepolisian Republik Indonesia dalam membentuk Satgas Pemberantasan Mafia Sepakbola Indonesia. Satgas ini pulalah yang juga akan menyediakan suatu kanal pelaporan bagi masyarakat di nomor 081387003310.

Dengan adanya saluran ini, Satgas Pemberantasan Mafia Sepakbola Indonesia memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk turut serta memegang dan meniup peluit apabila mendeteksi adanya “pelanggaran”. Dengan kata lain, saluran ini bisa menjadi salah satu langkah awal yang penting untuk membangun sistem whistleblowing, sebagai salah satu instrumen untuk mendeteksi praktik suap dan pengaturan skor di sepakbola Indonesia.

Sistem Whistleblowing dan Praktiknya

Whistleblowing merupakan suatu sistem yang berfungsi untuk memproses setiap pelaporan oleh pelapor (biasanya secara anonim) terkait aktivitas pelanggaran, penipuan, dan kecurangan lainnya, di dalam suatu organisasi. Dalam prosesnya, sistem whistleblowing biasanya memiliki beberapa saluran hotline seperti telepon, SMS/WhatsApp, kotak surat, formulir di situs web resmi, hingga aplikasi khusus. Whistleblower/peniup peluit adalah sebutan untuk subjek yang melapor di dalam sistem whistleblowing.

Dalam praktiknya, sistem whistleblowing memang sering dijumpai di perusahaan swasta. Menurut sebuah survei yang dilakukan oleh Price Waterhouse Cooper pada 2007, ditemukan bahwa para auditor profesional hanya mampu mendeteksi 19% dari seluruh kecurangan yang terjadi di perusahaan swasta. Sementara itu, jumlah kecurangan yang berhasil dideteksi dari laporan para whistleblower mencapai 43%. Tak ayal, keberadaan sistem ini dianggap penting sebagai salah satu instrumen etika dan anti kecurangan di dalam suatu perusahaan.

Apalagi, menurut laporan dari The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) mengenai Global Study on Occupational Fraud and Abuse pada 2018, diketahui bahwa pendeteksian kecurangan di dalam pekerjaan biasanya diketahui melalui tiga sumber: pelaporan, audit internal, dan review manajemen. Dari ketiga sumber tersebut, pelaporan merupakan instrumen pendeteksi kecurangan yang paling sering muncul. Kurang lebih, sebanyak 50% kasus korupsi di organisasi berhasil dideteksi melalui pelaporan.

Selain itu, laporan yang sama juga menyebutkan bahwa organisasi yang memiliki hotline/saluran pelaporan khusus, mampu mendeteksi kecurangan (melalui sumber pelaporan) lebih banyak ketimbang organisasi yang tidak memiliki hotline.

Di pemerintahan sendiri, Indonesia sudah punya sarana yang bernama Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat (LAPOR!). LAPOR! berfungsi sebagai saluran partisipasi masyarakat untuk pengawasan pembangunan dan pelayanan publik di Indonesia. Layanan LAPOR! terhubung dengan instansi pemerintahan. Layanan LAPOR! juga memiliki alur kerja yang cenderung sama dengan sistem whistleblowing.

Praktik whistleblowing memang sudah umum diterapkan di berbagai organisasi. Meski demikian, ada banyak tantangan yang mesti dihadapi oleh pengelola, agar sistem ini berjalan dengan baik. Terutama tantangan untuk menjaga dan melindungi para whistleblower, serta tantangan untuk membangun kesadaran para calon whistleblower akan pentingnya melaporkan temuan pelanggaran.

Melindungi para peniup peluit

You told me keep it quiet

That I`d ruin everything

But I`d rather start a riot

Than help you pull these strings

You told me to kneel

Penggalan lirik lagu di atas diambil dari sebuah lagu berjudul “Whistleblower” yang dinyanyikan oleh band rock Thrice pada 2016. Lagu tersebut sebagian terinspirasi dari kisah nyata Edward Snowden, salah satu whistleblower paling terkenal di Amerika Serikat yang pernah membocorkan “dosa” dari National Security Agency (NSA). Di dalam lirik tersebut, ada penggambaran bahwa ancaman dan intimidasi adalah salah satu risiko yang membayangi setiap whistleblower, terutama yang tidak melapor secara anonim.

Bagaimana tidak? Meskipun 43% kecurangan di perusahaan swasta berhasil dideteksi karena adanya kontribusi dari whistleblower, tapi ada konsekuensi tersendiri yang berisiko untuk ditanggung oleh whistleblower.

Menurut penelitian U.S. Merit Systems Protection Board (1993), sebanyak 37% dari whistleblower mengaku mendapatkan ancaman setelah mereka melapor. Ada yang dipecat, diintimidasi, dituduh sebagai pengkhianat, hingga ancaman terhadap keluarga! Tentu dengan pertimbangan tersebut, para calon pelapor akan berpikir berkali-kali sebelum melaporkan suatu tindak kecurangan atau pelanggaran.

Laporan penelitian yang sama juga menemukan bahwa 60% pemangku kepentingan tidak mau melapor karena mereka merasa bahwa laporan tersebut tidak ada gunanya atau tidak ditanggapi secara serius. Selain itu, sebanyak 33% pemangku kepentingan juga tidak berani melapor karena takut terhadap potensi ancaman seperti balas dendam. Ya, meskipun penelitian tersebut sudah lama dilakukan, bukan tidak mungkin dalam praktiknya hal-hal tersebut masih sering terjadi.

Apresiasi patut diberikan bagi kubu Satgas Pemberantasan Mafia Sepakbola Indonesia yang sudah melibatkan masyarakat sebagai salah satu pemangku kepentingan di persepakbolaan nasional untuk turut serta dalam memegang dan meniup peluit. Tantangannya sekarang adalah memastikan bahwa sistem pendeteksian ini akan berjalan secara berkelanjutan dan dikelola secara serius dan profesional. Bukan tidak mungkin, saluran pelaporan ini akan dapat berkembang dan berjalan secara mandiri di masa depan.

Satgas Pemberantasan Mafia Sepakbola Indonesia diharapkan dapat menjamin adanya rasa aman dan melindungi kerahasiaan identitas pelapor guna menjaga sistem ini berjalan dengan positif. Menarik untuk ditunggu bagaimana peran Satgas Pemberantasan Mafia Sepakbola Indonesia dalam membangun kepercayaan dari para pemegang dan peniup peluit.

Selain itu pula, kita sebagai masyarakat juga perlu turut serta melindungi dan menghormati para whistleblower, baik yang identitasnya diketahui maupun yang meniup peluit secara anonim.

Beberapa pihak sudah mulai meniup peluit secara terbuka. Bukan tidak mungkin, mereka saat ini berpotensi untuk mendapatkan ancaman-ancaman dari berbagai pihak. Maka dari itu; mari kita kawal, hormati, dan lindungi para peniup peluit!


*Penulis adalah penikmat sepakbola asal Lhokseumawe, Aceh. Sekarang sedang bekerja sambil belajar di Jakarta Selatan. Dapat dihubungi via twitter di @adrnsyh.

**Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis melalui kolom Pandit Sharing. Segala isi dan opini yang ada dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.

Komentar