Iki Suroboyo, Cak!

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Iki Suroboyo, Cak!

Naskah Pesta Bola Indonesia Oleh: M. Fahri Fahrezy

“Tak kan pernah ragu, tak ada kata mundur, sebab mundur adalah sebuah pengkhianatan”.

Itu sepenggal lirik chant berjudul “Suara Bonek” ciptaan almarhum Oka Gundul. Yel-yel tersebut sering berkumandang tatkala Persebaya berlaga. Dengan nada yang menggugah dan diiringi tabuhan keras drum. Pekik lirik “Suara Bonek” semakin membakar semangat juang pemain Persebaya yang sedang bertanding.

Sejarah kota Surabaya identik dengan kisah perjuangan para pahlawan merebut kemerdekaan. Juga, disusun oleh narasi-narasi tentang perlawanan sengit rakyat Surabaya demi mempertahankan tanah air. Tujuh puluh dua tahun silam, konfrontasi secara fisik mau tidak mau harus dilakukan. Darah bercucuran. Korban nyawa pun tak sedikit. Namun, dengan semangat militansi khas arek-arek Surabaya, kedaulatan akhirnya diraih.

Seperti pada lirik chant di atas, arek-arek Surabaya tidak pernah mundur menghadapi penjajah. Tidak sejengkal pun. Bonek, yang juga salah satu elemen kota ini, tidak segan melawan jika nama besar Persebaya diinjak-diinjak. Sebab, bagi Bonek, mundur sama saja “berkhianat”.

Degradasi Tahun 2010

Api perlawanan itu mulai terpantik ketika Persebaya sengaja didegradasikan oleh PSSI pada kompetisi Liga Super Indonesia musim 2009/10. Banyak kejanggalan yang dialami persebaya selama semusim berkompetisi. Puncaknya, Persebaya yang hanya menyisakan satu laga hidup mati melawan Persik Kediri harus menelan pil pahit.

Pada waktu itu, Persebaya duduk di peringkat ke-16, sedangkan Persik di urutan ke-17 tabel klasemen sementara. Kedua tim sama-sama membutuhkan poin penuh untuk keluar dari zona degradasi. Persebaya harus mendapat minimal selisih tiga gol, Persik membutuhkan selisih lima gol, untuk bisa menggeser posisi Pelita Jaya (saat itu dimiliki keluarga Bakrie) yang ada di peringkat ke-15.

Tiga kali pertandingan tersebut gagal digelar. Izin kepolisian yang tidak dapat turun menjadi alasannya. Merujuk manual liga saat itu, Persik Kediri sebagai tuan rumah seharusnya sudah mendapat hukuman walk-out.

Namun yang terjadi adalah, PT Liga Indonesia selaku operator liga kala itu, menjadwal ulang pertandingan untuk yang keempat kalinya. Persebaya yang merasa dirugikan berulang-ulang, tidak datang ke stadion. Persik dinyatakan menang walk-out. Dengan kekalahan tersebut, Persebaya, yang menjadi juru kunci klasemen akhir, otomatis terdegradasi.

Membelot dari PSSI dan Dualisme Persebaya

Didasari atas rasa kecewa dan semangat revolusi dalam tubuh PSSI, pada tahun yang sama, Persebaya melakukan perlawanan. Bersama klub-klub lain seperti PSM Makassar, Persema Malang, dan Persibo Bojonegoro. Mereka menggelar kompetisi tandingan, yaitu Liga Primer Indonesia (LPI).

PSSI lantas tak tinggal diam. Tidak ingin kehilangan nama besar Persebaya dan semata untuk menjegal langkah perlawanan Persebaya, mereka membentuk Persebaya baru. Melalui “surat sakti”, PSSI menunjuk ketua DPRD Surabaya pada saat itu, Wishnu Wardhana sebagai manajer. Mereka memboyong pemain klub Persikubar Kutai Barat ke Surabaya.

Langkah PSSI tersebut menjadi pukulan telak bagi Persebaya. Dengan adanya dua Persebaya, kepolisian meminta salah satunya mengubah nama. Karena berstatus sebagai anggota PSSI, Persebaya versi PSSI diizinkan untuk menggunakan nama dan logo Persebaya.

Kemudian, pihak manajemen Persebaya yang membelot menggelar pertemuan dengan Bonek. Dari pertemuan itulah muncul ide memberi nama tambahan pada Persebaya. Awalnya, ada yang mengusulkan nama Persebaya perjuangan, Persebaya asli, dan lain-lain. Tapi akhirnya terpilihlah angka 1927 yang merupakan tahun di mana Persebaya terbentuk.

Dari sinilah awal mula dualisme Persebaya terjadi. Ada “Persebaya versi PSSI” dan “Persebaya 1927”. Konsentrasi Bonek sengaja dipecah, ada yang mendukung “Persebaya versi PSSI” dengan dalih membawa nama “Surabaya”. Mayoritas Bonek lain membela “Persebaya 1927” dengan alasan sejarah dan revolusi PSSI rezim Nurdin Halid cs.

Masa-Masa Perjuangan

Sejarah telah mencatat bahwa Kota Surabaya sukar ditaklukkan. Jika Belanda saja kewalahan manghadapi semangat juang pemuda Surabaya dalam pertempuran 10 November 1945. Maka, PSSI yang hendak menghapus salah satu keping sejarah kota ini, yaitu Persebaya, tentu akan mendapat perlawanan yang sama.

Sesuai hasil Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI 17 Maret 2013, Persebaya 1927 yang didukung mayoritas Bonek tidak bisa ikut unifikasi liga 2014, karena dianggap Persebaya tandingan oleh PSSI.

Strategi perlawanan mulai disusun oleh Bonek. Spanduk bernada perjuangan terpasang di sudut-sudut kota Surabaya, propaganda melalui sosial media juga masif dilakukan.

Aksi damai digelar pada tanggal 15 April 2013. Bertempat di Balaikota Surabaya, aksi ini diselenggarakan agar wali kota paham apa yang menjadi masalah di dalam klub asal kota pahlawan ini. Aksi berjalan lancar, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini juga menemui Bonek. Namun, malam setelah aksi itu digelar, Andie Peci yang juga salah satu koordinator aksi mendapat penyerangan dari orang tak dikenal.

Andie Peci diserang dengan menggunakan parang hingga menderita luka di bagian lengan. Sampai tulisan ini dibuat, pelaku penyerangan masih belum ditemukan oleh pihak berwenang. Mendapat teror dan intimidasi sedemikian rupa, tidak membuat nyali Bonek luntur. Justru dengan peristiwa itu, semakin membikin semangat juang Bonek berkobar, basis-basis Bonek luar kota Surabaya juga mulai merapatkan barisan.

Aksi-aksi lain digelar setelahnya, mulai dari mendatangi kongres PSSI, hingga beberapa Bonek melakukan aksi simbolis di markas FIFA dan AFC. Jalur hukum juga ditempuh manajemen tim Persebaya 1927 untuk menuntut legalitas.

Secercah cahaya itu mulai nampak ketika Persebaya 1927 (PT. Persebaya Indonesia) memenangi gugatan atas PT. Mitra Muda Inti Berlian (MMIB) yang menaungi Persebaya versi PSSI. Dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, 30 Juni 2016, PT. MMIB dilarang menggunakan nama, logo dan sebagainya yang mencirikan Persebaya.

Dengan bekal kemenangan itu, Bonek kembali melakukan aksi. Kali ini Bonek menggelar aksi yang diberi judul “Geruduk Jakarta”, mereka melancarkan aksi protes pada PSSI dan Kementerian Pemuda dan Olahraga. Aksi itu memperoleh respon positif, Bonek mendapat janji bahwa nasib Persebaya dibahas pada kongres PSSI selanjutnya.

“Geruduk Jakarta Jilid II” dilakukan oleh bonek. Kali ini mereka bertujuan untuk mengawal kongres dan menagih janji kepada PSSI. Dengan bekal pas-pasan, ribuan Bonek rela mendatangi Jakarta, mereka membangun dapur umum dari dana swadaya untuk kebutuhan konsumsi selama beberapa hari di sana. Tak sedikit pula bantuan berupa makanan, minuman, dan lain-lain, dari suporter-suporter yang kotanya dilewati Bonek dalam perjalanan menuju Jakarta.

“Aku tak percaya bapak-bapak anggota dewan, aku lebih percaya kepada dinding toilet”. Tulis Eka Kurniawan dalam cerpen Corat-Coret di Toilet. Ya, janji hanya tinggal janji. PSSI sekali lagi menunjukkan tangan besinya. Bonek kembali dikecewakan.

Dalam Kongres PSSI yang digelar pada tanggal 10 November 2016 di Hotel Mercure, Jakarta, agenda pengesahan status Persebaya Surabaya dan tiga klub lainnya yaitu Arema Indonesia, Persiwangi Banyuwangi, dan Lampung FC batal digelar. Total 84 pemegang hak suara menolak pembahasan agenda tersebut, sementara 10 setuju, dan lima abstain.

“Kami tidak akan pulang sebelum ada kejelasan. Kami menghargai Jakarta yang situasinya sedang konflik sosial, isu SARA dan macam-macam. Kami akan bertarung di Surabaya. Surabaya akan kami gelorakan karena ini momentum hari pahlawan 10 November. Pemerintah dan PSSI tak menghargai momentum hari pahlawan di Surabaya,” begitu komentar Andie Peci seperti dilansir CNN Indonesia.

Bonek yang ada di Surabaya pun geram, mereka menggelar aksi spontan dengan turun ke jalan, membanjiri jalan-jalan protokol Surabaya sesaat setelah PSSI merampungkan kongres. Aksi ini dikenal dengan sebutan “Surabaya Membara”.

Uniknya, Bonek yang dikenal sebagai biang rusuh, tidak pernah sekalipun menyebabkan chaos dalam setiap aksinya. Meskipun berkali-kali dikecewakan PSSI, Bonek telah melawan dengan sehormat-hormatnya dan sebaik-baiknya.

Pengakuan PSSI dan Juara Liga 2

Langit gelap sepakbola di Surabaya telah menjadi terang melalui kongres PSSI tanggal 8 Januari 2017 di Bandung. Status Persebaya kembali dipulihkan menjadi anggota PSSI. Ribuan Bonek yang juga ikut mengawal jalannya kongres, langsung sujud syukur. Pekik kemenangan pun menggema. Tak sedikit pula yang menitikkan airmata.

Persebaya berhak menjadi peserta di kompetisi level kedua, hal ini berkaca pada status Persebaya sebelum membelot dari PSSI. Menyandang nama besar dengan sejarah panjang di persepakbolaan nasional, Persebaya menjadi incaran beberapa pengusaha yang berniat membeli sahamnya.

Selasa, 7 Februari 2017, menjadi babak baru Persebaya. Klub kebanggaan Bonek itu memiliki investor baru. Jawa Pos dengan PT Jawa Pos Sportainment (JPS) mengakuisisi saham PT Persebaya Indonesia sebesar 70 persen, bersama Koperasi Surya Abadi Persebaya (KSAP) dengan saham 30 persen. JPS menjadi pemilik Persebaya.

Kompetisi Liga 2 berguir, Iwan Setiawan ditunjuk sebagai nahkoda tim. Jebolan kompetisi internal Persebaya dan beberapa pemain yang sudah berpengalaman di kompetisi profesional direkrut. Persebaya yang baru saja bangkit dari tidurnya membuat kejutan. Piala kompetisi pramusim bertajuk “Dirgantara Cup” berhasil diboyong ke Surabaya.

Akan tetapi, ketika kompetisi resmi (Liga 2) benar-benar bergulir, Persebaya tidak menunjukkan performa apiknya. Dibumbui insiden adu mulut antara Iwan Setiawan dengan Bonek, pihak manajemen akhirnya memutus kontrak sang pelatih.

Alfredo Vera dipercaya sebagai caretaker menggantikan Iwan Setiawan. Jajaran pelatih lain juga dirombak. Amunisi baru direkrut, beberapa pemain dirotasi posisinya. Di bawah tangan dingin Vera, permainan Persebaya berangsur membaik. Gaya main bola-bola pendek diperagakan, karakter ngeyel khas Surabaya mulai nampak. Di musim pertamanya berkompetisi, piala Liga 2 tahun 2017 menjadi milik Bajol Ijo.

Pencapaian itu tidak bisa dipandang sebelah mata. Kerja keras pemain dan manajemen terbayar, gelar ini pula tidak dapat dilepaskan dari andil Bonek. Perjuangan panjang itu tidak sia-sia. Sejarah akan mencatat bahwa ada kelompok suporter yang tetap setia mencintai klub kebanggannya, meskipun klub kebanggaan itu “tidak ada”. Mereka rela mengorbankan tenaga, harta benda, hingga nyawa untuk memperjuangkan nasib sebuah klub sepakbola.

***

Minggu, 25 Maret 2018, menjadi hari yang bersejarah bagi Persebaya dan Bonek. Sebab, pada hari tersebut, menjadi awal klub berjuluk “Bajol Ijo” kembali ke divisi tertinggi kompetisi sepakbola tanah air setelah 7 tahun berkutat dengan konflik dan semusim berjuang di Liga 2.

Kembalinya Persebaya di kompetisi level teratas tidak didapat secara mudah, tidak pula diraih dengan sederhana, ada proses panjang nan rumit yang harus dilalui. Bonek, juga para stakeholder sepakbola di Surabaya, harus benar-benar “bertempur” untuk mengembalikan eksistensi Persebaya.


Penulis adalah seorang mahasiswa yang berdomisili hanya 5 km dari Gelora Bung Tomo. Dapat dihubungi lewat sur-el rezynord27@gmail.com. Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis lewat rubrik Pandit Sharing, dalam rangka Pesta Bola Indonesia 2018. Isi dan opini tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis.

Komentar