Menyoal Kegagalan Eksodus Pemain Serie A ke Premier League

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Menyoal Kegagalan Eksodus Pemain Serie A ke Premier League

Karya Ibham Veza

Buat pesepakbola, adaptasi adalah faktor yang menentukan. Jangankan pindah liga, pindah klub saja memiliki risiko kegagalan yang tinggi. Pesepakbola pun seolah mengemban pesan tersirat untuk tak kembali sebelum berhasil.

Tidak sedikit alumnus Serie A yang merasakan kutukan tanah Britania Raya. Mereka mesti angkat koper lebih cepat dan kembali berkompetisi di negara lain, atau kembali ke Italia.

Memang, ada nama-nama sukses seperti Gianfranco Zola (Parma), Thierry Henry (Juventus), dan Marcell Desailly (AC Milan). Mereka meninggalkan kebintangan Serie A yang waktu itu tengah gemerlap-gemerlapnya. Publik pun heran atas keputusan mereka karena pindah ke Liga Inggris.

Zola bergabung dengan Chelsea pada 1996. Dua tahun kemudian Desailly mengikuti jejaknya. Sementara itu, Henry menandatangani kontrak bersama Arsenal satu tahun sebelum akhir milenia.

Apa yang kita saksikan setelah itu adalah sejarah.  Pada November 2004, setelah merumput selama tujuh tahun dengan total 229 penampilan dan 59 gol untuk Chelsea, Zola dianugerahi  gelar OBE (Honorary of the Order of the British Empire) oleh Pemerintah Inggris. Setelah kepergiannya, tidak ada lagi pemain Chelsea yang diberikan nomor punggung “25” milik Zola sebagai penghormatan bahwa ia akan selalu ada di tengah-tengah Stamford Bridge.

Desailly, yang berposisi sebagai sweeper dan bek tengah sempat dipercaya menjadi kapten Chelsea. Desailly memenangi enam trofi bergengsi bersama Chelsea selama enam tahun (1998-2004) dengan total 158 penampilan dan enam gol. Desailly adalah generasi emas tim nasional Perancis yang memenangi Piala Dunia 1998, Piala Eropa 2000, dan Piala Konferedasi 2001 bersama Thierry Henry.

Henry datang dengan status “tak terpakai” di Juventus. Namun, Wenger berhasil memaksimalkan potensinya dan bahkan membuatnya sebagai pencetak gol terbanyak Arsenal sepanjang masa.

Legenda Arsenal lain yang pernah merasakan gegap gempitanya Liga Italia adalah Dennis Bergkamp. Ia pernah memperkuat Inter Milan sebelum menjadi legenda The Gunners dengan 357 penampilang dan 87 gol dari 11 tahun bersama Arsenal.

Kini, cerita manis eksodus pemain-pemain Serie A tidak lagi seindah dulu. Mario Ballotelli, Stevan Jovetic, Erik Lamela, dan Juan Cuadrado memiliki alur cerita yang lain.

Karakter unik Balotelli menjadi satu kasus tersendiri. Sangat sulit mengambil kesimpulan kegagalan produk Italia di tanah Inggris jika hanya berkaca pada kasus Balo. Suka duka telah dilewatinya bersama Manchester Biru, salah satunya adalah assist bersejarahnya kepada Sergio Aguero pada 2012 yang mengunci titel juara Premier League buat City.

Semuanya kini tinggal masa lalu, episode hijrah kedua Balotelli ke Inggris sangat mengenaskan. Akibat penampilan buruknya, Liverpool telah sepakat dengan AC Milan untuk meminjamkan Balotelli selama satu musim ke San Siro. Liverpool tampaknya begitu putus asa untuk mengeluarkan Balotelli dari Anfield, sampai-sampai pihak Merseyside tidak meminta biaya peminjamannya sepersenpun dan bahkan membayar sejumlah uang yang cukup besar agar ia bisa pindah ke Milan.

Baca juga: Perbedaan gaya mendukung suporter Serie A dan Liga Primer Inggris.

Pada musim ini, beberapa pemain baru Serie A belum juga menunjukkan performa apik. Duo mantan Fiorentina, Stevan Jovetic dan Juan Cuadrado bahkan harus kembali ke Italia setelah gagal berbuat banyak di Manchester City dan Chelsea. Sementara itu, Tottenham dikabarkan hanya membiarkan begitu saja mantan winger AS Roma, Erik Lamela, untuk dipinang oleh Marseille. Pemain asal Argentina ini sebenarnya tidak bermain buruk di White Hart Lane, tapi publik belum melihat replikasi penampilan terbaiknya ketika memperkuat Roma pada musim 2012/2013. Kritik keras publik Inggris terhadap Balotelli akhirnya juga dirasakan oleh Lamela. Ia dianggap kurang bergerak dan mudah kehilangan bola untuk level Premier League. Hal yang sama juga dialami oleh Jovetic.

Meskipun demikian, berita baik masih berhembus dari nama Matteo Darmian dan Phillipe Coutinho. Darmian hengkang dari Torino dan memulai debutnya secara mengesankan di Manchester United. Coutinho, yang tidak pernah digadang-gadangkan menjadi pemain bintang selama setengah dasawarsa kariernya di Inter Milan, justru terus meningkatkan performanya di Liverpool. Tetapi, selain mereka berdua, kiprah jebolan Serie A di sepakbola modern Inggris sangat mengecewakan.

Ada beberapa alasan mengapa beberapa pemain asal Serie A tidak mampu memenuhi harapan penggemar fanatiknya dan gagal bersinar di Premier League. Sistem bermain Italia dan Inggris memang sedikit berbeda dan ini menjadi suatu perkara yang tidak terbantahkan selama bertahun-tahun. Serie A dengan cattenacio-nya dan Premier League dengan kick and rush-nya.

Sebenarnya, Serie A kini tidak lagi didominasi sistem permainan parkir bus. Rata-rata gol adalah  2,69 gol per pertandingan atau nomor dua paling produktif setelah Bundesliga di antara lima liga top Eropa musim lalu.

Sejatinya, Serie A lebih menekankan kejeniusan taktik dan kejelian strategi dimana Liga Premier Inggris lebih mengandalkan permainan fisik dengan benturan yang tak terelakkan dan tekel-tekel keras sebagai ciri khasnya. Perbedaan prinsip ini membuat proses adaptasi dari kedua liga menjadi momok yang menakutkan. Lamela sendiri mengaku mengalami kesulitan menyesuaikan diri selama beberapa bulan setelah ia pindah ke Tottenham pada musim panas 2013 dari AS Roma.

Pemain baru di Premier League harus beradaptasi dengan kecepatan dan tempo tinggi. Sedangkan mereka yang baru bermain di Serie A dibuat bingung dengan taktik yang terus dinamis berubah-ubah. Pelatih sekaliber Jose Mourinho sekalipun pernah mengatakan bahwa Liga Italia sangat menguras otak dan energinya, hal ini karena setiap tim termasuk tim yang baru promosi bisa berganti-ganti strategi dan taktik dalam hitungan menit. Jika tidak mampu membaca situasi dan bereaksi dengan tepat, segalanya bisa berubah 180 derajat.

Namun, ketidakcocokan gaya bukan satu-satunya alasan mengapa beberapa produk impor dari Serie A gagal diterima di Liga Primer. Cuadrado, misalnya, sebenarnya sangat cocok untuk sepak bola Inggris ketika Chelsea memuji gaya permainannya di Fiorentina. Cuadrado dikenal memiliki gaya membawa bola yang dinamis, langsung ke kotak penalti lawan tanpa segan untuk memanfaatkan lebar lapangan. Sebuah gaya bermain yang diprediksi akan bersinar di Inggris. Setelah kepindahannya ke Chelsea terealisasi, faktanya sangat bertolak belakang.

Sepak bola Italia memang jarang menghasilkan banyak pemain-pemain sayap berkualitas. Ini karena formasi yang banyak diadaptasi adalah 3-5-2. Formasi ini tidak mengenal penyerang yang memanfaatkan lebar lapangan. Secara trasisional, Serie A sangat terobsesi dengan penguasaan bola di lini tengah. Pemain bertipe direct seperti Cuadrado bukanlah ciri khas Italia, jadi wajar saja jika pemain Kolombia itu begitu menonjol di Serie A. Di Premier League, gaya permainan seperti Cuadrado bukan barang langka. Alhasil, dia hanya menjadi buih di lautan yang besar, gagal memberikan kontribusi berarti buat Chelsea.

Alasan utama mengapa Balotelli, Lamela, Jovetic dan Cuadrado tidak mampu berbuat banyak seperti para pendahulunya adalah perihal perbedaan kualitas Serie A dan Liga Premier yang ada saat ini. Ketika Zola, Henry, Desailly, Bergkamp, Ravanelli, Vieira, dan Gullit pindah ke daratan Inggris, mereka turun kelas dari liga terkuat di dunia ke sebuah negara yang baru mulai membenahi liga domestiknya. Beberapa tahun setelah itu, Liga Premier telah menyusul popularitas Serie A. Akibatnya, perlahan tapi pasti, liga utama Inggris kemudian tampak lebih menarik dan menjanjikan bagi pemain-pemain bintang untuk merumput. Untuk sebuah liga, pemain berkelas adalah magnet. Ada pemain bintang, ada kualitas.

Musim panas ini, total ada tiga belas pemain yang beralih dari Serie A ke Liga Premier Inggris. Sedangkan sebaliknya, ada nama-nama seperti Giaccherini, Mohamed Salah, Balotelli, Cuadrado dan Jovetic yang kembali ke Italia. Salah nampak tajam di lini depan Roma dalam dua pertandingan pertama musim ini, sementara Jovetic telah menunjukkan giginya dengan menorehkan tiga gol untuk Inter sejauh ini. Sangat menarik untuk menantikan aksi-aksi Gokhan Inler (Leicester), Pedro Obiang (West Ham) dan Jose Holebas (Watford) untuk bisa berbuat banyak ketika senior-senior mereka dari Serie A telah gagal untuk melakukannya.

foto: dailymail.co.uk

*Penulis adalah seorang dosen teknik mesin, alumni sebuah institusi teknologi di kota bandung. Sempat kuliah di Inggris dan tinggal nomaden di sekitaran Arsenal dan Chelsea. Penulis dapat dihubungi via email melalui ibham.veza@yahoo.com

Komentar