Ibu dan Kartu Merah Pique

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Ibu dan Kartu Merah Pique

Karya Isidorus Rio Turangga Budi Satria

Gerard Pique. Tinggi. Kokoh. Kuat. Juara dunia. Juara Eropa. Suami mbak Shakira yang semlohai. He was completely winning on life. Sampai kemudian saya melihatnya menerima kartu merah tak penting di leg kedua Piala Super Spanyol menghadapi Athletic Bilbao.

Saya cuma nonton sekilas prosesi kartu merah Pique karena link streaming yang berjalan lambat mirip perkembangan penulisan bab 4-5 skripsi saya. Esoknya, muncul transkrip laporan pertandingan dari pengadil lapangan dan menjelaskan alasan kenapa Pique diberi kartu merah langsung.

"I`ll shit in your fucking whore mother!"

Konon, itu ucapan Pique ke hakim garis yang berujung kartu merah langsung dan ancaman larangan bertanding 4-12 laga, katanya. Wah! Konon palu hukuman sudah diketuk dan Pique memperoleh hukuman larangan bertanding 4 laga.

Saya ndak mau ndakik-ndakik membahas dampak kartu merah Pique terhadap ambisi sextuple dan kesombongan Luis Enrique yang akhirnya ndlosor di hadapan pemuda-pemuda Basque.

Kenapa sombong? Karena ucapan Enrique selepas laga first leg yang berujung kekalahan 4-0 bagi Barcelona. Dalam laman resmi FC Barcelona, Luis Enrique dengan percaya diri dan sedikit arogan berkata bahwa kalau ada tim yang bisa mengejar defisit 4 gol, tim tersebut adalah Barcelona.

Bagi saya ini takabur dan sedikit arogan. Rafa Benitez pun saya yakin ndak akan ngomong se-bombastis tersebut di kamar ganti saat malam-yang-semua-orang-tahu-sendiri-sejarahnya di Istanbul 2005 itu.

Tapi, topik tulisan saya sebenarnya cuman mau mencermati ungkapan Pique yang menyasar terhadap penghinaan verbal tentang sosok ibu.

Berhubung tanggal 20 Agustus lalu adalah ultah Kanjeng Mami junjungan saya, tulisan ini pun sebagai refleksi betapa (masih) sakralnya peran dan sosok perempuan (ibu) di hidup manusia dalam era di mana perjuangan feminis begitu kuatnya.

Kasus yang paling memorial adalah tandukan Zinedine Zidane terhadap Marco Materazzi di final Piala Dunia 2006 perkara ungkapan Matrix yang menghina ibu dan saudara perempuan Zidane. Matrix kemudian menjadi simbol pesepakbola culas, masuk dalam daftar bersama Sergio Busquets dan Diego Maradona.

Pakde Hersri Setiawan, seorang bekas tapol Buru bersama Pramoedya dkk,. pernah menulis dalam bukunya Awan Theklek Bengi Lemek mengenai esensi pentingnya pandangan per-ibu-an yang seharusnya menjadi acuan dalam berbagai kajian sastra dan bahasa. Bahwa, bumi saja pun konon diberi pemaknaan sebagai "she" bukan "he" karenanya sebutan tanah air tercinta pun diganti katanya dengan ibu pertiwi.

Dalam literasi keagamaan pun kerapkali dijelaskan beberapa kisah mengenai agungnya posisi perempuan, seperti kisah Maria Magdalena yang menemani Yesus hingga puncak Golgota. Bukankah beliau mantan pelacur yang dimuliakan karena rela mendampingi Yesus hingga wafat di kayu salib?

Ibu pula adalah sumber otonomi perempuan. Meminjam ungkapan filsuf dan spiritualis India, Swami Vivekananda yang berteriak lantang terhadap para pria, "Apakah kamu Tuhan Allah, maka kamu hendak menguasai tiap-tiap perempuan dan janda-janda?"

Cukup banyak para filsuf besar, dan sastrawan yang menggunakan personifikasi sosok ibu untuk sebuah simbol yang sakral. Simbol yang terhormat. Simbol yang dimuliakan. Toh, katanya, surga di bawah telapak kaki ibu, kan? Selain itu, ibu adalah simbol kelahiran. Dari rahim seorang ibu kehidupan bermula, walau proses panjangnya memang membutuhkan pria, tapi gerbang awal lahirnya kehidupan semua manusia, kecuali Adam dan Hawa, berawal dari rahim perempuan.

Berangkat dari tulisan Pakde Hersri, saya mengingat kembali dan menyadari vitalnya sosok ibu serta bagaimana kemudian dalam setiap kesempatan tidak jarang emosi kita menyasar terhadap hinaan verbal tentang sosok ibu.

Dulu saat kelas 2 SD, saya pernah benturkan kepala teman sebangku saya ke jendela kelas karena mengolok ibu saya. Makanya, sejak saat itu, hingga masuk di era SMP dan SMA, dimana olok-olok orang tua begitu sporadis dan menjamur, saya prefer untuk lebih mengolok teman saya dengan nama panggilan bapaknya saja (bukan untuk dicontoh).

Tapi olok-olok orang tua adalah fase yang seharusnya tidak perlu dilestarikan para remaja. Maksud saya begini. Saya tidak tahu bagaimana sistem pergaulan anak muda zaman sekarang, namun di zaman saya tumbuh kembang dulu, marak sekali penggunaan nama orang tua untuk mengolok-olok teman bersangkutan. Lambat laun dan seiring saya menjadi waras dan tumbuh dewasa, saya menyadari bahwa penggunaan nama orang tua untuk mengolok teman sangat tidak pantas dan tidak dibenarkan, Walau ironisnya, di beberapa konteks, olok-olok nama orang tua bisa memunculkan eratnya sebuah persahabatan. Paradoks yang lucu juga menyenangkan.

Kartu merah Pique kemarin adalah wujud pembenaran dan kemenangan mutlak seorang "ibu". Bahwa kemudian di 2006 lalu Zidane yang justru jadi pecundang karena terprovokasi Materazzi, kejadian Pique membuat pesona ibu sebagai simbol sakral bagi pria kembali keramat.



Memang seharusnya begitu sih, Malin Kundang saja bisa jadi batu, kok. karena durhaka ke ibunya. Apalah Gerard Pique di hadapan ibunya Malin Kundang. Tak lebih cuma sebatas batu kerikil yang siap ditendang ke arah mana saja dan tenggelam bersama ribuan debu dan pasir jalanan.

Sama seperti kita tiap-tiap anak laki-laki di muka bumi, mungkin kita harta berharga dan kebanggan ibu kita masing-masing, tapi mungkin juga, tanpa hormat dan kasih sayang kepada ibu, kita bisa jadi hanyalah sekelompok batu kerikil di aspal jalan bersama Pique karena berani mendustai sakralnya sosok ibu.

Bermain sepakbola dengan garang memang boleh, tapi hambok sopan ke simbok to yo.

Penulis adalah pria manis pengggemar masak-memasak, bisa dihubungi di @isidorusrio_

Sumber lukisan: A painting of a girl playing football with her mother by a 12-year-old girl from Children`s Village Skopje, Macedonia.

Komentar