Naskah Pilihan Pekan Ini (19-26 Maret): Indonesia Butuh 11 Pemain Naturalisasi untuk ke Piala Dunia

Naskah Pekan Ini

by redaksi

Naskah Pilihan Pekan Ini (19-26 Maret): Indonesia Butuh 11 Pemain Naturalisasi untuk ke Piala Dunia

Sudah memasuki pekan ketujuh usia rubrik “Naskah Pilihan Pekan Ini“. Pada pekan ketujuh inilah, kami memutuskan, sudah tiba saatnya untuk memberi kesempatan kepada penulis yang bukan sehari-hari bergelut dengan tema sepakbola untuk didapuk sebagai kurator tamu.

Sebagaimana yang sudah disampaikan sejak pertama, mengundang kurator tamu yang bukan berlatarbelakang penulis sepakbola menjadi opsi yang akan diambil sesekali. Ini dilakukan, terutama, untuk mengakomodasi keragaman jenis tulisan. Bisa saja merupakan seorang cerpenis, penyair, penulis musik bahkan seorang penulis kuliner sekali pun. Sebab kami percaya, sepakbola memang bisa dinikmati oleh siapa saja.

Untuk membaca naskah-naskah pilihan pada pekan-pekan sebelumnya yang dipilih oleh kurator-kurator tamu lain, anda bisa membacanya di rubrik “Naskah-naskah Pilihan Pekan Ini”.

Kurator tamu yang dipilih adalah Muhidin M. Dahlan. Dia bukan seorang penulis sepakbola, pun bukan penulis olahraga. Ia lebih banyak menulis tema-tema sosial, politik, agama, sastra dan (belakangan) sejarah. Jika anda pernah mendengar tentang https://twitter.com/radiobuku" target="_blank">radio buku dan https://twitter.com/warungarsip" target="_blank">warung arsip, ketahuilah kalau Muhidin M. Dahlan adalah pendiri, otak sekaligus jantung hati dan denyut nadi dua lembaga riset perihal buku dan arsip tersebut.

Karir menulisnya sudah dimulai sejak 1997. Bergabung dengan Ekspresi, lembaga pers mahasiswa salah satu kampus negeri di Yogyakarta, Muhidin dengan cepat mempelajari dunia tulis menulis. Ia bukan hanya kemudian menguasainya, tapi juga menghidupi dirinya melalui dunia tulis menulis. Dari resensi buku, esai hingga novel-novel "durjana" seperti Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur atau Adam Hawa yang sempat diharamkan oleh beberapa lembaga keagamaan, hingga buku-buku kiri yang dibakar oleh massa yang marah (Sosialisme Religius) hingga yang sempat di-banned oleh toko buku (Lekra Tak Membakar Buku).

Bukan berarti ia tak pernah menulis sepakbola. Beberapa kali ia menulis sepakbola, tentu saja dari perspektif yang ia kuasai, biasanya sejarah. Anda bisa membaca beberapa di antaranya: Caleg Orang-orang Bola dari PKI, Dokumentasi Sepakbola Indonesia, atau Korea Utara: Patriot Terakhir Komunisme dalam Sepakbola. 

Tapi ia sebenarnya penggemar sepakbola. Amat biasa ia mentraktir tim riset yang ia pimpin untuk menonton laga sepakbola di stadion, biasanya di Yogyakarta, dari Maguwoharjo, Mandala Krida hingga Stadion Sultan Agung. Ia salah seorang yang rajin pergi menonton Persiba Bantul di Stadion Sultan Agung, kadang pergi sendiri, tak jarang mengajak salah seorang anak lelakinya, Dipa Wani Peninsula. Dia mencintai sepakbola Indonesia, tak ada keraguan sedikit pun untuk perkara yang satu itu.

Berikut pilihan naskah yang menurut Muhidin M. Dahlan layak untuk dibaca, berikut argumentasinya.

world-soccer-dreams-claire-bull

Empat Naskah Pilihan Pekan Ini ala Muhidin M. Dahlan


Ada 13 naskah daring yang masuk di pekan ini untuk saya kurasi -- padahal saya adalah manusia yang sejak taman (k)anak-(k)anak tak pernah tahu bagaimana menendang bola dengan kaki kanan. Saya adalah "kurator" yang tak tahu sisi melik teknika dan mekanika sepakbola. Yang saya kenal adalah cerita sepakbola di Indonesia sudah diantar, meminjam parafrase preambule UUD 1945, "ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia". Selanjutnya? Drama!

Drama yang tak habis-habisnya dalam sejarah Indonesia ini pula saya pada akhirnya memilih empat tulisan yang menjadi perangkat mau bagaimana coraknya sepakbola kita setelah diantar "ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia". Dan terutama sekali siapa yang mengantar.

Saya memilih keempat tulisan ini bukan karena saya sepakat semua dengan isi dan gugatannya, melainkan bagaimana isu ini hampir menjadi "laten" ketika diperhadapkan dengan postur nasionalisme.

Keempat esai ini pun berbicara satu isu, politik "sel punca". Sel punca terbaik itu, tentu Anda tahu semua, adalah ari-ari atau tali pusar. Ini soal darah dan doa prestasi.

Hanya dengan membicarakan ulang tali-pusar ini Anda bisa memberi pemakluman mengapa saya memilih keempat esai daring ini dan menafikan, misalnya, 3 esai yang semuanya membahas senjakala Gerrard dan akhir peradaban Liverpool.

Maha Suci Bio Paulin! Esai Hardiman Koto dan Af Yanda

Belum bergulirnya kompetisi tersuper di NKRI hingga pekan keempat Maret membuat kabar "mualaf"-nya Bio Paulin menjadi berita terpopuler di portal daring bola berbahasa Indonesia.

Alhamdulillah yaolo, Paulin memilih Indonesia sebagai cinta nasion terakhirnya (semoga): cinta tanah air.

Pilihan Paulin itu tentu tak mudah. Sebab di saat yang sama berbondong-bondong rakyat Indonesia memilih mualaf menjadi laskar Islamic State (IS) yang bikin sibuk intel-intel yunior Hendropriyono dan Sang Puteri Indonesia Kristania Virginia yang lebih memilih menjadi mualaf serdadu United Stated (US).

Esai Hardimen Koto, "Milla, Bio Paulin, dan Indonesia", memberi sambutan hangat atas pilihan yang menggetarkan Indonesia Raya dan membuat merah putih kembali basah dengan air mata kesyahduan.Foto yang "menempel" di esai jurnalis senior sepakbola sejak tahun 80-an ini yang jadi sebab "mualaf"-nya Paulin bikin merinding: berpakaian jas putih-celana putih seperti uniform Remy Silado ke mana-mana, tangan kiri memegang kitab yang dipegang pendeta dan tangan kanan terangkat dengan jari membentuk formasi "V", serta ruangan biru laut.

Apa yang membikin Paulin cinta dan memilih "mati" untuk merah putih?

Ini bisa berujung ke "separatisme" kalau saya urai ke sana ke mari. Tapi penjelasan kronikal Hardimen Koto memberikan latar:

"Melewatkan tujuh musim bersama Persipura, Bio sudah mempersembahkan tiga trofi ISL, satu trofi Indonesian Community Shield, satu trofi Indonesian Inter Island Cupdan terakhir menjadi runner-up ISL 2014. Sebuah catatan yang suka atau tidak, kita semua patut angkat topi untuk Bio.

"Kecintaan Bio bersama Papua dan Persipura memang tiada bertara. Ketika kekasihnya, warga Papua,Chintya Wondiwoi melahirkan dua tahun silam, Bio memberi nama depan anaknya seperti nama manajer tim Persipura, Rudi Maswi Paulin Pierre.

"Chintya, Rudi Maswi Paulin Pierre, termasuk juga Rudi Maswi serta sederet punggawa Persipura adalah bagian dari orang-orang yang ikut berbahagia ketika Senin 23 Maret lalu Bio resmi disumpah menjadi Warga Negara Indonesia di Kantor Kementerian Hukum dan HAM Jayapura."


Ya, Papua, ya Papua, yang menjadi "mak comblang" Paulin untuk bisa cinta dan memilih Indonesia. Papua yang terus-menerus diperhatikan dengan cara ditembaki dan mereka bangun solidaritas kebangsaan dan kebanggaannya lewat permainan bola kaki itu yang menggoyahkan "iman" Paulin mengikuti jejak Victor Igbonefo, Raphael Maitimo, Kim Kurniawan, dan Christian Gonzales.

Sederetan nama-nama itu yang sejak 2011 melahirkan istilah baru di jagat sepakbola Indonesia: "naturalisasi". Lebih keren dan jamak istilah itu dipakai jurnalis bola ketimbang istilah "mualaf" yang saya pakai yang terdengar seperti Anda di rumah cuma berlangganan satu koran: Republika dan satu majalah: Sabili.

Oleh Af Yanda dalam esai "Dilema Naturalisasi" mengingatkan kita pada harapan PSSI dan kenyataan di atas rumput ijo Ebbiet G Ade.

"Langkah untuk mengeluarkan kebijakan naturalisasi ini sebenarnya patut dipertanyakan, alasan mengizinkan adanya pemain naturlisasi didalam skuad Timnas sejatinya untuk memajukan prestasi sepakbola Indonesia (dalam waktu singkat), namun fakta dilapangan membuktikan bahwa keberadaan para pemain naturalisasi ditubuh Timnas saat ini tidak memiliki pengaruh besar untuk kemajuan dan prestasi sepakbola nasional beberapa waktu belakangan ini."

Af Yanda seperti mencakar harapan PSSI yang menggiring memori ratusan juta warga pendamba kejayaan sepakbola nasional dengan proyek mualaf "naturalisasi" ini.

Memori apa? PSSI ingin semua warga penonton bola ini eling pada tali pusar yang ditanam pemerintah Hindia Belanda bahwa kalau mau sampai di altar Piala Dunia, ya jangan pakai satu pun pemain boemiputera, tapi pakailah sebelas pemain “naturalisasi” yang tak ada bagian fisiknya sama seperti Semaun dan Mas Marco. Toh, baru lima pemain yang sukses dinaturalisasi, bukan?

Ya, ya, selalu saja peristiwa akbar para pemain mualaf "naturalisasi" ini yang dirujuk pemangku kebijakan saat mentok untuk menunjukkan kehebatan Timnas di pentas dunia. Begitu pula saat sejarah prestasi sepakbola Indonesia diulur ke "pada zaman dahulu kala".

Tapi yakinlah, Indonesia tidak sendirian. Dilema soal ari-ari ini juga dialami paling tidak Italia. Maka untuk menggenapi isu "ari-ari sepakbola" ini saya memilih dua esai.

Oriundi di Italia: Esai https://twitter.com/edy_pram" target="_blank">Edy Pramana dan https://twitter.com/yogacholandha" target="_blank">Yoga Cholandha

Di Indonesia dikenal istilah "naturalisasi", di Italia dikenal "Oriundi". Edy Pramana di esai "Polemik Oriundi, Ditentang Tapi Bikin Terbang" di paragraf dua dan tiga memberikan pengertian frase "Oriundi":

"Bagi Gli Azzurri, diperkuat pemain yang tak lahir di Italia, khususnya negara-negara Amerika Latin, bukan hal yang baru. Di Italia, mereka disebut sebagai Oriundo atau imigran asing. Untuk bentuk jamak disebut Oriundi. Istilah ini lantas berkembang untuk menyebut para pesepak bola yang lahir di Amerika Latin, memiliki darah Italia dari leluhurnya, atau menikah dengan wanita berdarah Italia."

Jelas, sebagaimana "naturalisasi", "oriundi" juga fokus pada soal "ari-ari". Tinggal digelincirkan sedikit saja menggunakan "siasat Derrida", istilah itu menjadi "ARI-undi".

"Di Italia sendiri, khususnya di sepak bola, penggunaan oriundi jelas bukan merupakan barang baru," tulis Yoga Cholandha di esai "Ribut-Ribut Oriundi".

Kedua penulis ini kemudian menukil sejauh-jauhnya ke "zaman dahulu kala" bagaimana Gli Azzuri memakai jasa para "oriundo" untuk mencapai performa terbaik di panggung sepakbola dunia.

Sebagaimana di Indonesia, fenomena "ARIundi" ini selalu mengundang -- pinjam istilah Yoga Cholandha -- keributan. Sebab ari-ari adalah darah. Dan darah berjalinan dengan narasi nasionalisme.

“Jika Camoranesi bisa membela timnas Italia, aku juga bisa bermain untuk Argentina. Ada apa dengan nasionalisme? Aku sungguh tidak mengerti," kata legenda Gli Azzurri, Roberto Baggio sebagaimana dikutip Edy Pramana.

Nama Camoranesi yang dimaksud Baggio itu adalah jalan masuk dua esai ini sehingga sama-sama menulis topik yang sama dengan perspektif yang sama pula di pekan terakhir Maret ini.

Salam ARIundi! Kapan terakhir kali kamu menziarahi kuburan ari-ari di pojok rumahmu?

====================

Mengapa kami membuat rubrik “Naskah Pilihan Pekan Ini“?

oleh Zen RS, managing editor Pandit Football Indonesia

Pandit Football Indonesia akan secara rutin mengeluarkan daftar tulisan sepakbola pilihan dalam sepekan. Tulisan-tulisan sepakbola yang dipilih (1) ditulis dalam bahasa Indonesia, (2) berbentuk non-berita (kecuali feature), (3) dan ditulis oleh siapa saja kecuali oleh staf Pandit Football. Siapa pun, kecuali staf penulis Pandit Football Indonesia, berhak dikurasi karya tulisnya mengenai sepakbola untuk masuk ke dalam naskah pilihan pekan ini.

Semua jenis tulisan sepakbola, kecuali berita, dimungkinkan untuk dikurasi. Dari mulai tulisan taktik, finansial, sejarah, musik, film, jersey, sepatu bola, hingga cerita pendek atau puisi. Selama masih bisa dianggap sebagai atau berkaitan dengan sepakbola, baik berkaitan langsung atau tidak langsung. Tulisan bisa diunggah di portal berita, forum-forum (seperti kaskus dan yang lain), blog pribadi, blog komunitas, kompasiana bahkan notes di facebook dan di mana pun. Maaf, kami tidak bisa memasukkan kultwit, baik yang sudah di-chirpstory maupun yang belum. :)

Kami akan berusaha mengundang para penulis tamu sebagai kurator yang akan menyeleksi naskah-naskah yang layak dianggap sebagai naskah pilihan dalam sepekan. Hanya dalam kondisi mendesak saja salah satu dari penulis Pandit Football Indonesia yang akan menjadi kurator naskah.

Untuk mengakomodasi keragaman jenis tulisan, bukan tidak mungkin kurator yang dipilih bukan seorang penulis sepakbola. Bisa saja merupakan seorang cerpenis, penyair, penulis musik bahkan seorang penulis kuliner sekali pun. Sebab kami percaya, sepakbola memang bisa dinikmati oleh siapa saja.

Melalui rubrik “Naskah Pekan Ini”, kami hendak memberikan apresiasi yang besar kepada orang-orang yang (konsisten atau pun tidak) sudi mengerahkan kemampuannya untuk menuliskan sepakbola. Kami percaya, genre penulisan sepakbola sudah berkembang sedemikian pesat, tidak kalah massifnya dengan para penulis perjalanan, kuliner, otomotif, politik, sastra, film atau musik. Dan penting kiranya untuk bisa memotret pola-pola dan kecenderungan-kecenderungan terbaru dari genre penulisan sepakbola ini.

Melalui rubrik ini pula, sesungguhnya, kami sedang mengakui keterbatasan kami sendiri. Tidak semua hal bisa, sempat atau sanggup kami tuliskan. Kami percaya, banyak penulis di luaran sana yang bisa menghasilkan tulisan-tulisan dengan mutu yang baik dan terus membaik.

Kami berharap anda sudi membantu proyek kecil-kecilan ini. Caranya mudah: tiap kali anda menulis sebuah artikel sepakbola atau baru saja membaca sebuah artikel sepakbola yang dirasa memuaskan mutunya, silakan mention kami melalui akun @panditfootball atau mengirimkan tautannya melalui email panditfootball@gmail.com. Ini penting agar tidak ada naskah bermutu yang terlewatkan untuk dikurasi oleh kurator yang bertugas.

Kami juga sangat terbuka dengan masukan-masukan. Jika anda punya usul terkait proyek komunal ini, silakan ditaruh di kolom komentar. Anda juga bisa menggugat pilihan kurator, juga dengan berargumentasi di kolom komentar.

Keterangan Lukisan

Title: World Soccer Dreams
Artist: Claire Bull
Medium: Painting - Acrylic On Canvas


Komentar