Di Bawah Lindungan Stadion

Editorial

by redaksi

Di Bawah Lindungan Stadion

Stadion sebagai Cermin Paradoksnya Sepakbola

Heysel di Belgia, Hilsborough di Inggris atau Al-Masry di Mesir adalah tragedi yang tak mungkin dilupakan. Bagi keluarga mendiang, stadion-stadion itu mungkin saja menerbitkan semacam topo-phobia, rasa cemas yang terkait sebuah tempat yang menerbitkan kenangan sedih yang tak terpermanai.

Tak bisa disangkal, stadion kadang kala menjadi "tempat pembantaian". Kisah terbunuhnya suporter dalam kekerasan di tribun bukanlah cerita langka. Setiap tahun, ada saja cerita sedih nan berdarah yang lahir dari tribun-tribun stadion. Tak usah jauh-jauh merujuk stadion-stadion di negeri yang jauh, tengok saja stadion di tanah air sendiri.

Stadion Sultan Agung, yang menjadi tempat bernaung para pengungsi korban gempa pada 2006, akan dikenang dengan rasa pedih oleh keluarga almarhum Jupita, yang harus menghembuskan nafas terakhirnya usai bentrokan antarsesama suporter Persiba Bantul beberapa hari lalu. 

Stadion Sultan Agung di Bantul, dengan cara yang getir, menjelaskan bagaimana fungsi "merawat kehidupan" dan "menamatkan kehidupan" bisa berlangsung di tempat yang sama: stadion sepakbola.

Saat agresivitas sedang menghumbalang di tribun, stadion menjadi ladang persemaian naluri nekrophilia -- hasrat yang menggelorakan intimitas pada kematian. Saat atap-atap tribun menjadi tempat berlindung para pengungsi, stadion seakan menguarkan aroma biophilia – hasrat yang ingin merawat kehidupan.

Barangkali, posisi stadion seperti itu dengan caranya sendiri mengungkapkan watak sepakbola yang memang paradoks: menyatukan sekaligus memisahkan, agresivitas yang coba dikendalikan oleh sportivitas, mempertemukan sistem dan taktik permainan yang terancang dengan pemujaan atas skill individu yang tak terduga, mempertautkan semangat komunitarian di tribun dengan ideologi kapitalisme di kantor-kantor klub….

Saya teringat pada karakter Gonzales dalam novel Albert Camus berjudul The Plague. Gonzales adalah imigran di kota Oran yang berprofesi sebagai pemain bola. Akan tetapi, begitu wabah sampar pelan tapi pasti mencabut nyawa warga Oran satu per satu, Gonzales bersalin rupa: dari pemain bola menjadi tukang catut yang malah sibuk mengumpulkan uang dengan menjadi penyelundup. Saat orang-orang menderita, dia malah sibuk jadi pengepul harta.

Saat wabah sampar semakin tak bisa dibendung, otoritas kota memutuskan mengisolasi para pengidap agar tidak menularkan penyakitnya. Mereka, para pengidap sampar yang sedang menghitung hari-hari terakhirnya, dikarantina di stadion sepakbola terbesar di kota Oran.

Salah satu scene paling sublim dari The Plague adalah ketika Gonzales bersedia menjadi sukarelawan. Dan dia memilih menjadi sukarelawan justru di tempat yang paling beresiko sekaligus tempat yang paling sentimentil baginya: stadion sepakbola.

Gonzales tiba di stadion untuk memulai tugasnya sebagai sukarelawan pada satu senja di akhir pekan, pada jam-jam di mana dirinya (dalam kata-kata Gonzales) "biasanya sedang berganti pakaian untuk memulai pertandingan". Dengan penuh penyesalan, Gonzales mengangkat hidungnya ke atas sambil membayangkan bau ramuan pijatan di kamar ganti, tribun yang sesak oleh penonton, riuh rendah dengungan suporter yang tak henti-hentinya bernyanyi, seragam yang berwarna menyala di lapangan yang rumputnya agak kecoklatan, jeruk yang dibagikan saat jeda pertandingan….

Bagi Gonzales agaknya sudah jelas: stadion menjadi penemuan kembali kemanusiaannya yang akhirnya memilih untuk mencoba merawat kehidupan sebisa-bisanya. Melalui pilihan akhir Gonzales itu, Camus dengan lembut mengungkapkan apa yang kelak menjadi salah satu kutipannya yang paling masyhur sekaligus telah menjadi klise: "Untuk segala yang saya ketahui tentang moralitas dan tanggungjawab, saya berhutang pada sepakbola."

Tapi pada saat yang sama, sejak hari itu, ingatan Gonzales tentang stadion di kota Oran juga diselimut aura getir yang tak akan bisa dilupakan: sampai kapan pun dia akan ingat orang-orang sekarat yang satu per satu menghembuskan nafas penghabisan di lorong-lorong stadion, di bangku-bangku tribun dan di atas hamparan rumput.

Saya ingin mengingat stadion sebagai tempat yang indah. Saya tak sudi terkenang hal-hal muram saat memasuki sebuah stadion. Itu saya. Entah dengan Anda. Lagipula, terkadang, hal buruk atau hal baik datang sekonyong-konyong tanpa sempat memberi kita pilihan.

====

* Penulis adalah chief editor @panditfootball . Akun twitter: @zenrs

Komentar